Jumat, 09 November 2012

PRESIDEN PERTAMA YANG MENOLAK GAJI



FERNANDO LUGO MENDEZ 
bukan konglomerat atau politisi bergelimang uang. Mantan uskup ini hanya pekerja sosial yang kere. Tapi sungguh tak disangka, penganut sosialisme yang mendalami ajaran Pancasila ini malah menolak mendapat gaji selaku Presiden Paraguay, yang diumumkannya pada malam sebelum pelantikannya.

Keputusan Lugo ini adalah keajaiban terbesar di dunia politik, sepanjang sejarah demokrasi di jagat raya ini. Sendirian dia melawan arus besar yang berlaku di semua negara, termasuk di AS, di mana jabatan presiden memberikan privilese serta kesempatan memperkaya diri dan kelompok. Keputusan Lugo yang mencengangkan itu disambut gembira oleh ribuan pendukungnya.
Namun, Presiden Ekuador Rafael Correa mengingatkan dengan cemas, ”Begitu Lugo mulai mengubah berbagai hal, serangan akan dimulai.” Serangan dimaksud bakal berasal dari kalangan kapitalis, termasuk kekuatan politik yang berkiblat ke AS. Bukanlah kebetulan jika semua pemimpin sosialis Amerika Latin hadir dalam acara pelantikan Fernando Lugo, yang berlangsung sederhana di ibukota Asuncion.. Mereka dipersatukan oleh semangat anti-Amerika Serikat, atau setidak-tidaknya berani melawan dan mengatakan TIDAK terhadap negara adi kuasa itu. Sebaliknya negara-negara yang dipimpin para politisi konservatif yang pro Amerika, yaitu Meksiko, Kolumbia, Peru, hanya mengirim utusan. Para presiden beraliran sosialis yang hadir dalam pelantikan “presiden kaum miskin” itu antara lain Hugo Chavez dari Venezuela, Luiz Inacio Lula da Silva (Brasil), Cristina Kirchner (Argentina), Michelle Bachelet (Cili), Evo Morales (Bolivia), dan Rafael Correa (Ekuador).
Kehadiran mereka membuat acara pelantikan tersebut menjadi semacam perayaan kebangkitan sosialisme gaya baru di bumi Amerika Latin. Fernando Lugo, 56 tahun, memenangkan pemilu presiden Paraguay pada April lalu. Sebelumnya dia bekerja sebagai uskup Katolik di wilayah-wilayah miskin negara yang bertetangga dengan Brasil, Argentina, dan Bolivia itu. Dia mendapat izin cuti sementara dari Vatikan, memenangkan pemilu, dan menjadi uskup pertama di dunia yang berhasil memenangkan pemilihan presiden.
Gaji presiden Paraguay lebih kecil dibanding gaji anggota DPR-RI. 
TAHUKAH Anda berapa gaji seorang presiden di Paraguay ? Menurut kantor berita Associated Press, gaji presiden Paraguay adalah sebesar 4.000 dolar AS atau sekitar Rp.37 juta per bulan. Sangat kecil dibandingkan gaji anggota DPR-RI, yaitu sebesar Rp.49 juta per bulan. Dan makin kecil lagi dibandingkan gaji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekitar Rp.150 juta per bulan.
Dengan menolak mendapat gaji, pengagum pemikiran Bung Karno ini akan benar-benar menjadi relawan di tampuk kekuasaan Paraguay. Lugo akan menjadi satu-satunya pimpinan negara di dunia yang murni volunteer alias bekerja tanpa mendapat upah. Luar biasa! Memang, dia naik ke puncak kekuasaan di negara itu, berkat dukungan kaum miskin, terutama para petani tanpa tanah dan serikat buruh.
Mungkin keputusannya itu adalah wujud solidaritas paling nyata kepada kalangan miskin, yang mencapai 35,6 persen dari total populasi. Tindakan mulia Fernando Lugo ini cocok betul dengan semboyan kampanye Sutrisno Bachir : karena hidup adalah perbuatan. Sekarang giliran Sutrisno dan para pemimpin Indonesia lainnya untuk mencontoh tindakan nyata Lugo : karena hidup adalah perbuatan nyata! Hidup adalah melayani…
Petani tak memiliki tanah. 
PARAGUAY adalah negara paling miskin di kawasan Amerika Latin. Pendapatan utama negara ini bersumber dari produk-produk pertanian, terutama kedelai dan produk turunannya yang menyumbang lebih dari setengah hasil ekspornya, yang pada tahun 2007 tercatat 2.390 juta dolar AS. Tingkat pertumbuhan ekonominya sebenarnya cukup bagus, yaitu 6,4 persen per tahun. Dengan jumlah penduduk “hanya” 6,5 juta jiwa, negara dengan luas wilayah 406.762 km persegi ini seharusnya bisa memakmurkan rakyatnya. Namun karena negara salah urus; sempat dikuasai oleh kediktatoran selama 39 tahun, korupsi dan nepotisme merajalela, dan lebih dari sepertiga penduduknya adalah petani tanpa tanah; maka label negara termiskin di kawasan itu terpaksa disandangnya.
Cobaan di hari pertama berkuasa : obat dan BBM menghilang dari pasar
KEMENANGAN Lugo yang mengejutkan telah mengakhiri dominasi Partai Colorado selama 61 tahun di negeri yang cantik itu. Tapi bukan tidak mungkin, “Golkar”-nya Paraguay itu akan kembali berkuasa, jika pemerintahan koalisi yang dipimpin Lugo gagal meredam anarkisme yang timbul akibat euforia di kalangan petani miskin. Segera setelah memastikan Lugo menang dalam pemilu, para petani tanpa tanah langsung menyerobot tanah-tanah pertanian yang dikuasai perusahaan-perusahaan besar. Pada saat yang sama pememerintahan Lugo yang baru berusia sehari sudah langsung digoyang oleh para kapitalis, dengan cara menimbun BBM yang mengakibatkan barang vital itu menghilang dari pasar. Obat-obatan juga raib dari rak-rak apotik. Ini bisa menimbulkan krisis. (babesajabu)

Kamis, 08 November 2012

Cakradewa

Cakradewa adalah seorang Prabu, Raja yang sakti, tetapi yang menonjol adalah ia seorang yang mengingkari keberadaan dewa-dewa, oleh karena itulah ia bergelar Prabu Sanghyang Cakradewa, saat itu  ia beragama sunda wiwitan, secara maknawi cakra berarti menolak, dan Sanghyang berarti wafat tak meninggalkan jasad.
Prabu Sanghyang Cakradewa anak dari Prabu Sanghyang Lembu Sampulur Panjalu Luhur I, Neneknya Sanghyang Ratu Permana Dewi, Ratu kerajaan Panjalu yang menikah dengan Raja Rangga Gumilang dari kerajaan karangtenan Gunung Sawal.


Dengan demikian kerajaan Panjalu  adalah gabungan antara kerajaan gunung bitung (Soko Galuh) dan kerajaan karangtenan Gunung Sawal, karena Ratu Permana Dewi  anak dari Prabu Sanghyang Cipta Permana Dewa, Raja kerajaan Gunung Bitung.

Prabu sanghyang Cakradewa ini punya enam anak yaitu Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II, Prabu Sanghyang Borosngora, Sanghyang Panji Barani, Mamprang Kancana Artas Wayang, Ratu Punut Agung dan terakhir Angga Runting. Putri kedua terakhir ini, kabarnya menikah dengan Prabu Siliwangi.


Raja Cakradewa karena tidak percaya atas keberadaan dewa, memerintahkan putranya Prabu Borosngora untuk mencari ilmu yang bisa menjawab keraguan yang menyelimuti dirinya. Pada awalnya, Prabu Borosngora mencari ilmu bela diri. Tetapi, ilmu yang telah dikuasainya ternyata bukan yang diharapkan orangtuanya. Akhirnya, Borosngora kembali keluar dari kerajaan. Tetapi kali ini, Raja Cakradewa memberi syarat. Borosngora harus membawa gayung untuk membawa air saat pulang. Hanya gayung itu harus dilubangi, sehingga tidak memungkinkan Borosngora berhasil membawa air.

Meski perintah/ syarat tsb tidak logis, tapi karena titah sang raja, Prabu Borosngora berangkat juga untuk mencari ilmu. Di perjalanan, di sebuah padang pasir, ia kabarnya bertemu dengan seseorang. Orang itu mengaku bernama Sayidina Ali. Dalam pertemuan itu, Prabu Borosngora menyampaikan keinginannya untuk mencari guru yang punya ilmu tinggi.


Menurut Atong, (RH Atong Tjakradinata), seorang keturunan Raja Panjalu yang semasa hidupnya pernah menjabat sebagai kuwu (kepala desa) selama 40 tahun mengungkapkan mitos dan bukti arkeologis yang mendukung mitos tersebut ketika Pembaruan berkunjung ke kediamannya di Desa Panjalu, Ciamis. Ia mengungkapkan, rute perjalanan Borosngora ini pernah diteliti oleh para ahli sejarah dan berdasarkan penelitian tersebut, ia memang pergi ke Padang Arafah di Arab Saudi. "Di sana, Borosngora bertemu Ali bin Abu Thalib yang merupakan khalifah Nabi Muhammad SAW yang juga berstatus menantu sekaligus keponakan Nabi. Borosngora kemudian dibawa ke Mekkah dan menjadi muslim," katanya.

Dalam penelitian tersebut, Borosngora hidup antara tahun 600-700 Masehi, sama dengan Ali bin Abu Thalib, jadi pertemuan mereka memang menurut Atong, nyata terjadi. Setelah sekian lama berguru pada Ali, Borosngora diminta pulang ke negerinya, sebab Ali merasa ayah dan ibu Borosngora sudah merindukan anaknya. Borosngora sendiri menyatakan sudah ingin pulang, namun tidak berani bila belum bisa membawa air di dalam gayung yang bolong bagian dasarnya tersebut.

Mendengar penuturan tsb, Borosngora diajak berjalan-jalan. Di sebuah tempat, orang tersebut sengaja menancapkan tongkatnya dan meminta untuk diambilkan. Borosngora awalnya menganggap keinginan orang yang baru dikenalnya sebagai hal yang mudah. Ia mungkin berpikir, apa sulitnya mencabut sebatang tongkat yang ditancapkan tidak begitu dalam. Tetapi, kenyataannya di luar dugaan. Meski sudah berusaha sekuat tenaga, bahkan mencucurkan keringat, tongkat tsb jangankan berhasil dicabut, bergoyang pun tidak. Borosngora akhirnya menyerah.

Orang yang mengaku salah satu sahabat Nabi itu mendekati Borosngora. Sambil membaca Bismillah, hanya dengan satu tangan, ia dengan mudah mencabut tongkatnya. Melihat pemandangan di luar dugaannya, Borosngora kaget, bahkan memutuskan untuk berguru.

Setelah bertahun-tahun berguru, dia berniat pulang ke Panjalu. Namun sebelum pulang, Borosngora diberi ilmu untuk memenuhi permintaan ayahnya, Raja Cakradewa. Sehingga ketika tiba di Kerajaan Panjalu, ia berhasil membawa air dengan gayung sekalipun berlubang.

Melihat kedigjayaan anaknya, Raja Cakradewa memerintahkan anaknya agar membendung daerah Legok Jambu. Dan, air yang berada dalam gayung disiramkan di daerah itu. Ajaib, setelah semua dilakukan, Legok Jambu menjadi situ yang diberi nama Situ Panjalu.

Prabu Borosngora punya anak bernama Prabu Haryang Kancana, yang sekarang dikenal sebagai mbah Panjalu. Makamnya berada di tengah situ lengkong atau lebih dikenal dengan Nusa Gede. Keturunan lainnya dari Prabu Hariang Kancana yaitu Parbu Hariang Kuluk Kunang Teko, Prabu Hariang Kadali Kancana, Prabu Hariang Kada Cayut Martabaya, lalu turun lagi ke Prabu Hariang Kunang Natabaya. Makam-makam raja ini sekarang ditemukan di beberapa tempat di daerah Panjalu.




Keterangan gambar :
Danau Situ Lengkong dipercaya airnya berasal dari mata air Zamzam di Arab Saudi yang dibawa oleh Sanghyang Borosngora pada abad ketujuh. Peziarah yang datang ke Situ Lengkong, membawa air dari danau ini sebagai buah tangan.

Senin, 05 November 2012

Shohibul Hikam



Kelahiran Shohibul Hikam
masjid Ibnu 'atho'illah as-sakandari

Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasaldari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H. Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan As-Syadili -pendiri Thariqah As-Syadziliyyah- sebagai mana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya Lathoiful Minan : Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”. Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkattinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbaral-Judzami. Kota Iskandariyah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi olehbanyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannyaterus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuatkakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya. Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” :“Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alimfiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketikaorang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau,maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabimengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orangyang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”. Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa : Masa pertama Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu danlain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini IbnuAtho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”.Pendapat saya waktu itu bahwa yang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementaradzahir syariat menentangnya”. Masa kedua Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupansang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak iabertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.

Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan.Dia bertanya-tanya dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbasal-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf. Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyata Al Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”. Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi. Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”. Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin.Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”.
Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”. Masa ketiga Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya danmenjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap denganuzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapankhalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan,kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.
Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalahyang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya.Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H,menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.
Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan temayang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu.Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”. Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “IbnuAtho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar,dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangatmengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akanperkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempatmengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliaumempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangansebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu,mantiq, falsafah sampai khitobah. Karomah Ibn Athoillah Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyahmengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besarini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara merekaada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalamliang kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak adadiantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti iniIbnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illahketika meninggal kelak.
Karomah dan Keutamaan
Pengarang kitab al-Hikam ini, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Disana si murid itu melihat IbnAthoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya padateman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”.Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?”lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku disana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya”.

Wafatnya Sheikh Ibn Atho’illah

makam Ibnu 'atho'illah as-sakandari
Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia fana ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlahjasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.
Ya Allah, curahkan dan limpahkanlah keridhoan atasnya dan anugerahilah kami dengan rahasia-rahasia yang Engkau simpan padanya, Amin.

Minggu, 04 November 2012

Pohon Kurma Sang Nabi


Di ceritakan pada suatu hari Rasulullah saw sedang berpuasa dan apabila tiba waktu untuk berbuka puasa satu makanan pun tidak ada untuk di makan oleh baginda.

Malaikat Jibril yang melihat keadaan Rasulullah saw merasa sedih lalu ia memohon kepada Allah swt supaya mengurniakan sesuatu makanan untuk rasul kesayanganNya berbuka puasa, lalu Allah swt yang sememangnya Maha Mengetahui segalanya memperkenankan permintaan Jibril tersebut dan diberikanlah buah kurma yang istimewa ini untuk Rasulullah saw berbuka puasa.
Biji buah kurma tersebut kemudiannya ditanam oleh Rasulullah saw. Bermula dari peristiwa itulah pokok kurma ‘Ajwa ni membesar di kawasan Madinah. Disebutkan kurma ‘Ajwa tidak akan hidup dan berbuah di mana-mana tempat selain Madinah. Wallahu a’lam.

Jadi ‘Ajwah ni kawan-kawan, sejenis kurma berbentuk hampir bulat kurang bagus bentuknya, mengering dan agak kecil dengan warna kehitaman selain teksturnya tebal lembut dan kering. Rasa manisnya sedap.

Pada salah satu tuntunan sang Nabi, resep dari Nabi Muhammad SAW wabarak’alaih: “Man tashobbaha kulla yaumin sab’a tsamarootin ‘ajwatan”Barang siapa yang makan dipagi hari tujuh butir kurma ajwah ” lam yadhurrohu fi dzalikalyaumi summun wa laa sihrun” Dihari itu dia tidak akan dicelakai oleh racun dan sihir” 

Tujuh butir kurma ajwah, bukan kurma biasa.Kurma yang ditanam langsung oleh tangan Rasulullah SAW, ditanam langsung di Madinatul Munawarah oleh tangan sang Nabi, muncullah 100 pohon kurma yang ditanam sendiri oleh tangan sang Nabi butir demi butir, membawa keberkahan, membuat ternetralisirnya sihir dan racun, kalau kita bicara racun barangkali, kurma ajwah ini mempunyai satu kandungan tersendiri yang menjadikan semacam serum ditubuh kita, tapi kalau sihir, bukankah itu dari alam gaib? Menunjukkan keberkahan langsung dari Robbul’alamin untuk kurma yang ditanam langsung oleh tangan Muhammad Rasulullah SAW, hingga sihir dan racun tidak bisa menyecoh dan mencelakainya dihari itu, tujuh butir kurma ajwah dipagi hari akan membuatnya terjaga dari sihir dan racun, alangkah hebatnya keberkahan sunnah Nabi Muhammad SAW, alangkah indahnya sebatang pohon yang ditanam langsung oleh tangannya Rasulullah, 14 abad pohon itu terus bertumbuh, terus membawa keberkahan, terus menyingkirkan segala sihir dan racun dari tubuh orang yang memakannya, ini baru kurma yang ditanam oleh tangan sang Nabi, lebih-lebih lagi jiwamu yang mencintai sayyidina Muhammad SAW, keberkahannya abadi, bukan sekedar sihir dan racun, keberkahannya kekal, hingga menghancurkan bukan hanya sihir dan racun, tapi dosa-dosa, kehinaan, musibah dan lain sebagainya, akan sirna  dengan kebahagiaan yang kekal.



*Sekarang banyak yang jual dalam bentuk kemasan modern untuk memenuhi takaran 7 butir baca saja keterangan di label.



Jumat, 02 November 2012

Gus Nizam yang "gak repot - repot"

Gus Nizam ga ada keinginan tuk terkenal, takdirnya karyanya dulu, Syi'ir Tanpo Waton menjadi terkenal setelah Gusdur wafat yang di kira orang karya beliau, baru mungkin (atau tidak terkenal) pengarangnya, tapi Gus Nizam gak peduli mau terkenal pa gak? ya Gus?

Sebagai pencipta dan pelantun syiir tanpo wathon ini, Gus Nizam bersyukur sekali syiir ini beredar luas dimasyarakat dengan kebesaran nama Guru Bangsa kita yaitu Gus Dur. Kuatnya label kewalian Gus Dur yang samakin hari semakin berjubel, puluhan ribu peziarah terus memadati makam Almaghfirullah Gus Dur. Gus Nizam juga mengaku senang sekali jika syiir ini ditempelkan atau nisbatkan ke Gus Dur. Karena Gus Nizam sendiri mengakui bahwa Gus Dur merupakan salah seorang waliyullah. Itu terbukti disetiap pengajiannya hadiah Al-Fatihah selalu dikirimkan ke Almagfirullah Gus Dur untuk mendapatkan keberkahannya.

Suara gusdur saat muda ini mirip sekali dengan suara khas Gus Nizam (KH. Mohammad Nizam As-Shofa, Lc) cucu dari guru mursyid tarekat (almarhum) Hadhratus as-Syaikh al-Mukarram KH. Sahlan Thalib, Krian, Sidoarjo. KH. Sahlan merupakan seorang guru mursyid yang telah menelorkan beberapa orang wali seperti Almaghfirullah Mbah ‘Ud Pagerwojo, Sidoarjo dan juga Almaghfirullah KH. Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al-Mahbub Rahmat Alam (Pengasuh Ponpes Salafiyah Bihaaru Bahri ‘Asali Fadlaailir Rahmah) Turen, Malang.

Syiir tanpo Waton sejatinya sudah diciptakan jauh hari sebelum Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009. Nizam menyebut syair itu tercipta pada 2004. Atau saat usianya menginjak pada 30 tahun. Penciptaannya pun butuh proses yang tidak pendek.

Kiai yang baru berusia pada 38 tahun tersebut mengungkapkan, lirik dan lagunya diciptakan dalam kurun waktu dua minggu. Syiir itu saya ciptakan saat saya sedang khalwat (menyepi untuk bermunajat kepada Allah) di dalam kamar. Khalwat itu sendiri sudah menjadi kebiasaan dalam keluarga saya, paparnya. Nizam mengatakan, masa khalwat dalam tradisi keluarganya paling lama 40 hari. Tapi ada pula yang melaksanakannya 20 hari, 10 hari, dan paling pendek 3 hari.

Lirik Syiir tanpo Waton terinspirasi oleh keprihatinan Nizam atas perilaku umat saat ini. Terutama bermunculannya aliran garis keras. Juga semakin mudahnya orang mengumbar kekerasan serta prihatin dengan ringannya orang mengecap orang lain kafir.

Padahal, Islam itu mengajarkan perdamaian serta mengutamakan toleransi dan silaturahmi. Saat khalwat pada 2004 itu, saya pun mencoba menuliskan keprihatinan saya. Saya memakai bahasa Jawa campuran. Liriknya sebagian saya ambil dari kalimat kakek saya, Kiai Sahal Sidorangu, Krian, beber kiai yang pernah empat tahun menimba ilmu di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, tersebut.


Setelah diciptakan, Syiir tanpo Waton tersebut juga langsung dilantunkan Nizam dalam pengajian Rabu malam di pondoknya. Saat itu Pondok Ahlus-Shofa Wal-Wafa masih berada di daerah Tanggul, Wonoayu. Pondoknya tak seberapa luas. Dalam pengajian Rabu malam, Syiir tanpo Waton yang dilantunkan Nizam selalu direkam pengurus pondok dan jamaahnya.

Begitu seterusnya. Sehingga syair tersebut bisa dihafal para jamaah pengajian Rabu malam Gus Nizam yang jumlahnya berkisar 2.000 orang. Mungkin lagunya jadi begitu enak didengar karena direkam di pondok yang tidak luas sehingga suaranya begitu padat, ucap kiai yang dikaruniai tiga putri tersebut. Soal suara saya yang terdengar lebih tua daripada usia saya, itu karena saya bisa berubah menjadi tua, juga bisa berubah menjadi muda, kelakarnya.

Hasil rekaman Syiir tanpo Waton juga menyebar ke masyarakat luas di luar jamaah Nizam. Kiai kelahiran Sidoarjo, 23 oktober 1973, itu mengingat, kali pertama rekaman Syiir tanpo Waton diputar secara luas oleh Masjid Agung Kota Malang sesaat setelah wafatnya Gus Dur. Setelah itu syair tersebut semakin tersebar luas menyusul pengenalan orang-orang bahwa syair itu merupakan syiir Gus Dur.

Kini Syiir tanpo Waton sudah terdaftar secara resmi di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Ditjen HKI Kemenkum HAM). Nama KH Mohammad Nizam pun tercantum sebagai penciptanya. Sebenarnya saya tidak memedulikan hal itu. Tapi, diam-diam jamaah saya ternyata mendaftarkan. Kalau tahu, saya pasti tidak mengizinkannya, tegas Nizam.


Sungguh Gus "yang gak repot-repot!."