Kamis, 08 November 2012

Cakradewa

Cakradewa adalah seorang Prabu, Raja yang sakti, tetapi yang menonjol adalah ia seorang yang mengingkari keberadaan dewa-dewa, oleh karena itulah ia bergelar Prabu Sanghyang Cakradewa, saat itu  ia beragama sunda wiwitan, secara maknawi cakra berarti menolak, dan Sanghyang berarti wafat tak meninggalkan jasad.
Prabu Sanghyang Cakradewa anak dari Prabu Sanghyang Lembu Sampulur Panjalu Luhur I, Neneknya Sanghyang Ratu Permana Dewi, Ratu kerajaan Panjalu yang menikah dengan Raja Rangga Gumilang dari kerajaan karangtenan Gunung Sawal.


Dengan demikian kerajaan Panjalu  adalah gabungan antara kerajaan gunung bitung (Soko Galuh) dan kerajaan karangtenan Gunung Sawal, karena Ratu Permana Dewi  anak dari Prabu Sanghyang Cipta Permana Dewa, Raja kerajaan Gunung Bitung.

Prabu sanghyang Cakradewa ini punya enam anak yaitu Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II, Prabu Sanghyang Borosngora, Sanghyang Panji Barani, Mamprang Kancana Artas Wayang, Ratu Punut Agung dan terakhir Angga Runting. Putri kedua terakhir ini, kabarnya menikah dengan Prabu Siliwangi.


Raja Cakradewa karena tidak percaya atas keberadaan dewa, memerintahkan putranya Prabu Borosngora untuk mencari ilmu yang bisa menjawab keraguan yang menyelimuti dirinya. Pada awalnya, Prabu Borosngora mencari ilmu bela diri. Tetapi, ilmu yang telah dikuasainya ternyata bukan yang diharapkan orangtuanya. Akhirnya, Borosngora kembali keluar dari kerajaan. Tetapi kali ini, Raja Cakradewa memberi syarat. Borosngora harus membawa gayung untuk membawa air saat pulang. Hanya gayung itu harus dilubangi, sehingga tidak memungkinkan Borosngora berhasil membawa air.

Meski perintah/ syarat tsb tidak logis, tapi karena titah sang raja, Prabu Borosngora berangkat juga untuk mencari ilmu. Di perjalanan, di sebuah padang pasir, ia kabarnya bertemu dengan seseorang. Orang itu mengaku bernama Sayidina Ali. Dalam pertemuan itu, Prabu Borosngora menyampaikan keinginannya untuk mencari guru yang punya ilmu tinggi.


Menurut Atong, (RH Atong Tjakradinata), seorang keturunan Raja Panjalu yang semasa hidupnya pernah menjabat sebagai kuwu (kepala desa) selama 40 tahun mengungkapkan mitos dan bukti arkeologis yang mendukung mitos tersebut ketika Pembaruan berkunjung ke kediamannya di Desa Panjalu, Ciamis. Ia mengungkapkan, rute perjalanan Borosngora ini pernah diteliti oleh para ahli sejarah dan berdasarkan penelitian tersebut, ia memang pergi ke Padang Arafah di Arab Saudi. "Di sana, Borosngora bertemu Ali bin Abu Thalib yang merupakan khalifah Nabi Muhammad SAW yang juga berstatus menantu sekaligus keponakan Nabi. Borosngora kemudian dibawa ke Mekkah dan menjadi muslim," katanya.

Dalam penelitian tersebut, Borosngora hidup antara tahun 600-700 Masehi, sama dengan Ali bin Abu Thalib, jadi pertemuan mereka memang menurut Atong, nyata terjadi. Setelah sekian lama berguru pada Ali, Borosngora diminta pulang ke negerinya, sebab Ali merasa ayah dan ibu Borosngora sudah merindukan anaknya. Borosngora sendiri menyatakan sudah ingin pulang, namun tidak berani bila belum bisa membawa air di dalam gayung yang bolong bagian dasarnya tersebut.

Mendengar penuturan tsb, Borosngora diajak berjalan-jalan. Di sebuah tempat, orang tersebut sengaja menancapkan tongkatnya dan meminta untuk diambilkan. Borosngora awalnya menganggap keinginan orang yang baru dikenalnya sebagai hal yang mudah. Ia mungkin berpikir, apa sulitnya mencabut sebatang tongkat yang ditancapkan tidak begitu dalam. Tetapi, kenyataannya di luar dugaan. Meski sudah berusaha sekuat tenaga, bahkan mencucurkan keringat, tongkat tsb jangankan berhasil dicabut, bergoyang pun tidak. Borosngora akhirnya menyerah.

Orang yang mengaku salah satu sahabat Nabi itu mendekati Borosngora. Sambil membaca Bismillah, hanya dengan satu tangan, ia dengan mudah mencabut tongkatnya. Melihat pemandangan di luar dugaannya, Borosngora kaget, bahkan memutuskan untuk berguru.

Setelah bertahun-tahun berguru, dia berniat pulang ke Panjalu. Namun sebelum pulang, Borosngora diberi ilmu untuk memenuhi permintaan ayahnya, Raja Cakradewa. Sehingga ketika tiba di Kerajaan Panjalu, ia berhasil membawa air dengan gayung sekalipun berlubang.

Melihat kedigjayaan anaknya, Raja Cakradewa memerintahkan anaknya agar membendung daerah Legok Jambu. Dan, air yang berada dalam gayung disiramkan di daerah itu. Ajaib, setelah semua dilakukan, Legok Jambu menjadi situ yang diberi nama Situ Panjalu.

Prabu Borosngora punya anak bernama Prabu Haryang Kancana, yang sekarang dikenal sebagai mbah Panjalu. Makamnya berada di tengah situ lengkong atau lebih dikenal dengan Nusa Gede. Keturunan lainnya dari Prabu Hariang Kancana yaitu Parbu Hariang Kuluk Kunang Teko, Prabu Hariang Kadali Kancana, Prabu Hariang Kada Cayut Martabaya, lalu turun lagi ke Prabu Hariang Kunang Natabaya. Makam-makam raja ini sekarang ditemukan di beberapa tempat di daerah Panjalu.




Keterangan gambar :
Danau Situ Lengkong dipercaya airnya berasal dari mata air Zamzam di Arab Saudi yang dibawa oleh Sanghyang Borosngora pada abad ketujuh. Peziarah yang datang ke Situ Lengkong, membawa air dari danau ini sebagai buah tangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar