Rabu, 31 Oktober 2012

Mitos Sunda - Jawa


Betapa pentingnya Akhlaq (etika yang baik  ke sesama manusia & alam) dan 'adab (etika yang baik terhadap Tuhan) berperan dalam keberhasilan manusia, hingga kemudian menghasilkan tata krama yang dibukukan dan dibakukan berlaku di lingkungan sosial manusia dijadikan pijakan moral. bahwa tak hanya cukup niat baik tanpa ada diiringi dengan etika.
Dalam agama Islam bagian ini adalah Ihsan dengan Ilmu tasawuf dengan pengamalnya (sufi/ahli Thoriqoh) yang menekankan Akhlaq dan 'Adab sebagai penentu  keberhasilan cita-cita.

Kisah berikut ini sebagai contoh yang pernah terjadi di sejarah kerajaan nusantara, yaitu perang bubat yang kemudian menghasilkan mitos yang dipercaya di kalangan masyarakat sunda dan jawa hingga sekarang.

Mitos tersebut hingga kini masih dipegang teguh beberapa gelintir orang. Tidak bahagia, melarat, tidak langgeng dan hal yang tidak baik bakal menimpa orang yang melanggar mitos tersebut. 
Lalu mengapa orang Sunda dan Jawa dilarang menikah dan membina rumah tangga. Tidak ada literatur yang menuliskan tentang asal muasal mitos larang perkawinan itu. Namun mitos itu diduga akibat dari tragedi perang Bubat.

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.

Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. 

Maharaja Linggabuana lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit. 

Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.

Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Versi lain menyebut bahwa Raja Hayam Wuruk ternyata sejak kecil sudah dijodohkan dengan adik sepupunya Putri Sekartaji atau Hindu Dewi. Sehingga Hayam Wuruk harus menikahi Hindu Dewi sedangkan Dyah Pitaloka hanya dianggap tanda takluk.

"Soal pernikahan itu, teori saya tentang Gajah Mada, Gajah Mada tidak bersalah. Gajah Mada hanya melaksanakan titah sang raja. Gajah Mada hendak menjodohkan Hayam Wuruk dengan Diah Pitaloka. Gajah mada Ingin sekali untuk menyatukan antara Raja Sunda dan Raja Jawa lalu bergabung. Indah sekali," tegas sejarawan sekaligus arkeolog Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar.

Hal ini dia sampaikan dalam seminar Borobudur Writers & Cultural Festival 2012 bertemakan; 'Kontroversi Gajah Mada Dalam Perspektif Fiksi dan Sejarah' di Manohara Hotel, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jateng, Selasa (30/10).

Pihak Pajajaran tidak terima bila kedatangannya ke Majapahit hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai taklukan. Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. 

Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. 

Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat. 

Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.

Hayam Wuruk pun kemudian meratapi kematian Dyah Pitaloka. Akibat peristiwa Bubat ini, bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Mahapatih Gajah Mada dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri. 

Tragedi perang Bubat juga merusak hubungan kenegaraan antar Majapahit dan Pajajaran atau Sunda dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.

Pangeran Niskalawastu Kancana, adik Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil dan menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana. 

Kebijakan Prabu Niskalawastu Kancana antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran (beristri dari luar), yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki 'Prabu Wangi' (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.

Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama 'Gajah Mada' atau 'Majapahit'. Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.
Sumber: Kisah dikutip dari Merdeka .com

Selasa, 30 Oktober 2012

Aufklarung


Kita bisa berada di  masa pencerahan (aufklarung), jika senatiasa berusaha  dalam upaya yang terus- menerus (istiqomah) tuk mengenal diri sendiri. yaitu antara lain:
1. Kenal  diri bahwa kita ini obyek kekuasaan (maqdur) dari Tuhan yang Maha Berkuasa / Super Power    (Al-Qodir). 
2..Kenal diri bahwa kita ini obyek yang hidup dipenuhi ketundukan sebagai hamba (marbub) dari Tuannya (Rabb),
3. Kenal diri kita sebagai obyek kasih (marhum) dari Yang Maha Kasih (Ar-Rahman).

Sebenarnya lebih dari 3 posisi kenal diri karena kita ini adalah obyek seluruh sifat Tuhan, dari ketiga hal tersebut diatas penjelasannya adalah :

Jika kita sadar, kita ini obyek, kita akan pasrah (Istislam) dalam genggaman kekuasaannya (dengan terus ikhtiar menuju perubahan dengan iringan doa / permintaan, sebab tak mungkin juga melawan "The Real Super Power" ), Bermula Tuhan melihat dulu ada - tidaknya tekad kita / niat kita untuk berubah, berarti Tuhan melihat kita mempunyai rasa optimisme dan harapan atau tidak putus harapan akan kasih (rahmat) Tuhan untuk memberikan kesuksesan dalam kehidupan yang bermanfaat bagi diri dan sesama, inilah kemudian berlaku makna: "setiap amal tergantung niat".
Ikhlas (hanya untuk menyenangkan Tuhan), agar kita pun jadi  Ridlo' (senang) hingga hati takkan tersakiti oleh perasaan gundah akibat pemberontakan diri kita sendiri akibat rasa tak suka / tak senang akan kondisi yang tak men-enak kan ( uncomfortable zone) yang sedang kita alami sekarang.

Sadarilah teman -teman ! dalam genggaman kekusaan-Nya ada kasih Sang Maha Pengasih. Mungkin dalam keterpurukan kita Tuhan sedang mendewasakan kita, dalam keterbatasan kita Tuhan sedang membentuk jiwa kita sebagai Pejuang (Fighter). Dan dalam kenikmatan tak kan membuat kita lupa diri, lupa orang lain / sesama, dan lupa Tuhan, dalam kenikmatan mungkin Tuhan mengajari kita pandai berterima kasih.

Semoga terus dalam aufklarung !


Minggu, 28 Oktober 2012

Sebuah Pernyataan Tak Ku Mengerti maksudnya.




Statemen Sahabat  Sang Nabi :
"Orang yang kikir, berani muka."
Apa sih hakikat maknanya?
Sebuah pernyataan yang tak kumengerti


Ini sebuah bukti kenyataan bahwa aku bodoh
ternyata kesadaran diri mengungkap kelemahan
terbentuk karena terus berupaya
terus dalam bingkai pembelajaran
wisdom # 5

Keterpaksaan



Malaikat (Angel) adalah mahluk "keterpaksaan",
yang di kuasai kekuatan yang memaksa dia melakukan tugas-tugas.

Manusia adalah mahluk "keterpaksaan",
yang dikuasai kekuatan yang memaksa dia melakukan kewajiban-kewajiban.

Manusia adalah mahluk bebas (merdeka),
manakala melakukan kebajikan-kebajikan yang variatif untuk sesama (Kemanusiaan),
dan untuk Tuhannya (amalan sunnah).

Tetapi janganlah lepaskan identitas sebagai mahluk "yang terpaksa",
jika tak mau Tuhan melepaskan kamu sebagai hambaNya,
dengan menanggalkan perlindungan dan pengaturanNya
dari dirimu.

Dan itulah musibah terbesar bagi mahluk. 
wisdom # 4

Dermawan


Anak kecil yang memberikan sesuatu dari tangan nya
bukan di sebut kedermawanan,
tapi karena kelemahannya.

Seorang yang dewasa yang paripurna akalnya
memberikan sesuatu kepada orang lain
barulah disebut dermawan
Wisdom #3

Pengorbanan Nida


Seorang ibunda mengorban dirinya berpisah jauh dari anak dan keluarga besarnya
andai disini dapat rupiah lebih besar, ia tak-kan ke negeri kuning
demi masa depan buah hatinya agar hidup lebih layak

Lihat lah dari sudut pandang hakikat pengorbanan kesenangannya
Ia telah berkorban melebihi korban 20 ekor kambing
sama seperti sang nabi mengorbankan anak

Sabtu, 27 Oktober 2012

Life is beautiful


Hidup itu indah bila ada orang lain yang hidup bersamamu.
bila ada bersyukurlah!, dengan tidak melukai hatinya.
wisdom # 2

Kamis, 25 Oktober 2012

Azra kecilku

"...Kedatangan nya sepulang sekolah,
siang itu!.
Seperti angin yang sejuk
memberikan kesegaran bagi jiwaku
yang gelisah dalam api
karena ketak-sukaan akan suatu ketetapan.

Tuhan rupanya masih mentolerirku dengan sebuah hiburan bagi jiwa!"

Orang - Orang Kurus


Aku melewati sekumpulan orang-orang kurus kering dan warna kulitnya berubah
lalu aku bertanya pada mereka : " Apa yang membuat kalian jadi demikian?"
Mereka menjawab karena "takut".

Lalu suatu saat aku lewati sekelompok orang yang lebih kurus dan warna kulitnya berubah
 menghitam dan kering,
kemudian aku bertanya : " Kenapa kalian begini?
karena "rindu" jawab mereka.

...dan yang kujumpai berikutnya sekelompok orang lebih kurus dan keadaannya lebih mengenaskan
lalu aku bertanya pada mereka apa yang membuat mereka begitu,
karena "rindu" dan "cinta."

Aku berdoa "Tuhan Puaskan Mereka!.

Nyaman



Tak ada yang membuatku merasa nyaman,
dari pada keadaan sedang tidak mengurusi urusan orang lain.
my wisdom #1