Batang-batang bambu

Suluk Abdul Jalil

Yang dikutuk yang dipuji
LANGIT hitam dipadati gumpalan awan kelabu. Nusa Jawa yang terapung di permukaan laut bergetar dalam selimut kabut ketakutan, kegelisahan, keresahan, dan kecurigaan yang menebar di segenap penjuru hingga ke sudut-sudutnya. Terang matahari dan cahaya rembulan purnama tidak mampu lagi mengusir kabut tebal yang menerkam ujung terdalam jiwa manusia yang hidup di atasnya.
Bagaikan gembala memelihara ternak di tepi hutan yang banyak harimau dan sengala, demikian para penghuni Nusa Jawa saling melirik dan mencuri pandang dengan sorot mata penuh curiga, seolah-olah menghadapi ancaman hewan buas.Seiring melesatnya waktu, langit pun terang tanpa awan biru. Berbeda dengan langit biru terang tanpa awan. Di permukaan Nusa Jawa, kabut masih kuat dan pekat menutupi seluruh penjuru kehidupan para penghuninya. Bayangan-bayangan hewan buas dan hantu-hantu yang mengerikan berkeliaran di tengah gumpalan kabut, menyeringai, meraung, melolong, melenguh, dan menggeram bagai makhluk haus darah mengintai mangsa. Gerangan apakah yang terjadi di negeri subur dan makmur berkelimpah padi, buah-buahan, susu, dan madu itu?Lebih sewindu lalu, menurut cerita burung yang menyebar dari mulut ke mulut, terjadi prahara yang mengerikan dan menabur kebinasaan di Nusa Jawa. Pra­hara itu akibat benturan dahsyat dua angin berkekuatan besar yang membadai, yang satu adalah badai merah yang datang dari arah barat, sedang yang lain adalah badai putih yang datang dari timur. Padahal, kedua badai itu pada awalnya sama, yakni angin sejuk dan segar yang berembus sepoi-sepoi membasahi pepohonan, rerumputan, serta bebatuan.Penyebutan nama badai merah yang berembus dari barat dinisbatkan kepada sang penebar badai, Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar (Tanah Merah), yang digolongkan sebagai pembangkang. Lantaran itu, para pengikutnya disebut golongan Abangan yang memiliki makna pengikut Syaikh Siti Jenar. Dengan adanya sebutan Abangan maka kesukaan orang Jawa untuk menyama-nyamakan dan mengaitkan satu hal dengan hal lain pada gilirannya memunculkan sebutan golongan Putihan, yang selain dihubungkan dengan pakaian mereka yang serba putih juga dikaitkan dengan kata patuh (bahasa Arab = Muthi'an).Munculnya sebutan golongan Putihan membawa perkembangan yang lain lagi. Jika sebelumnya golong­an Abangan dinisbatkan sebagai pengikut Syaikh Siti Jenar maka dengan pemaknaan patuh bagi golongan Putihan menimbulkan asumsi tidak patuh alias membangkang pada golongan Abangan. Demikianlah, para pengikut Syaikh Siti Jenar dicap sebagai golongan pembangkang, bahkan murtad.Menurut cerita, benturan dua badai berlawanan arah itu puncaknya terjadi di Kesultanan Demak, pusat kekuasaan Islam yang paling awal di Nusa Jawa. Tragisnya, prahara yang merupakan bagian dari drama di atas panggung kehidupan itu adalah benturan antara angin Islam dan angin Islam sendiri. Tragedi anak manusia apakah yang sedang berlangsung di zaman itu?Pada perempat awal abad ke-16 Masehi, angin sejuk Islam yang dibawa oleh para penyebarnya sedang ber­embus kencang dan membadai di pantai utara Nusa Jawa. Bagaikan tiupan dari tengah samudera melanda gugusan pantai, demikianlah angin hijau yang semula sepoi-sepoi membasahi kegersangan jiwa para penghuni negeri yang telah letih dipanggang hingar-bingar tungku peperangan itu, berangsur-angsur menjadi badai yang menggetarkan. Hal itu berlangsung ketika menara gading Majapahit yang pernah menebarkan zaman keemasan di segenap penjuru negeri telah tak berdaya lagi. Padam. Terpuruk menjadi reruntuhan puing yang dihuni tikus, anjing geladak, burung gagak, rayap, dan kuman penyakit.

Di tengah meredupnya cahaya kekuatan Majapahit itulah angin sejuk Islam secara menggelombang mulai bertiup di pesisir utara Nusa Jawa. Bermula dari Gresik, Tuban, Ampel Denta, dan Bintara, angin sejuk itu menumbuhkan benih-benih kehidupan di reruntuhan negeri yang gersang. Bagaikan angin penggiring awan yang menurunkan rinai hujan, begitulah ia membasahi kegersangan jiwa penghuni negeri dengan sitaman air ruhaniah. Setapak demi setapak, tunas-tunas kehidup­an ruhani mulai tumbuh menghijau di tanah kerontang. Dan gumpalan awan pembawa hujan semakin berarak ke segenap penjuru negeri.

Pada saat yang hampir bersamaan, di bagian barat Nusa Jawa, tepatnya di Lemah Abang, di tlatah nagari Caruban, bertiuplah angin sejuk Islam yang membawa gumpalan kabut. Menerobos dan menembus hutan, lembah, gunung, bukit, jurang, dan persawahan yang kering dicekik kemarau panjang. Gumpalan kabut yang memuat butir-butir air itu membasahi setapak demi seta­pak hamparan lembah, bukit, gunung, ngarai, dan ju­rang kemanusiaan yang sudah gersang tanpa makna. Menara gading Galuh dan Pajajaran yang pernah me-mancarkan warna keemasan telah tidak berdaya kini; terpuruk menjadi reruntuhan puing kemanusiaan yang menyedihkan.
Embusan angin sejuk Islam yang bertiup makin kencang dari dua arah yang berlawanan itu ternyata tunduk pada hukum alam. Saat mereka bertemu pada satu pusaran tiba-tiba berubah menjadi puting beliung berkekuatan raksasa yang berpusar dahsyat melanda dan membinasakan segala yang diterjangnya. Keduanya bertumbuk. Dorong-mendorong pun berlangsung seru. Namun, kekuatan dahsyat angin dari timur terbukti memenangkan pergulatan sehingga angin prahara Islam yang membawa gumpalan kabut itu terdorong ke arah barat.
Bagaikan al-Maut menggiring wadyabala, begitu­lah prahara kemanusiaan itu tanpa kenal ampun melanda pedesaan, meluluhlantahkan rumah, sawah, pasar, kebun, kandang hewan, hutan, lembah, bukit, dan gu­nung. Dan di tempat-tempat di mana angin itu menderu, terhamparlah citra kebinasaan al-Maut; kepala terpisah dari tubuh, luka menganga, darah mengalir, air mata membanjir, derita menggenang, kegelisahan mencakar, keresahan menerkam, ketakutan mencekik, kepanikan merajalela, dan kematian mengintai di setiap sudut kehidupan.
Kebinasaan tampaknya belum cukup mengukir tragedi kehidupan anak manusia. Iblis, anasir kegelapan yang terlaknat dan terusir, beserta wadyabala bagaikan kawanan gagak pemakan bangkai yang memencar ke segala penjuru negeri seusai badai berlalu. Demikianlah, kawanan gagak hitam perwujudan iblis itu beterbangan sambil berkaok-kaok mengerikan. Menebar fitnah. Memangsa siapa saja yang ditemuinya. Memunguti serpihan daging dari mayat-mayat yang bergelimpangan.
Langit biru terang tanpa awan. Badai telah berlalu. Terangnya langit biru dan berlalunya angin praha­ra yang menebar kebinasaan ternyata tidak serta merta mengusir gumpalan kabut dari Nusa Jawa. Sejauh mata memandang dari ufuk timur ke barat, hanya ada puing-puing reruntuhan jiwa manusia yang berserakan tanpa daya. Kesunyian menghampar. Kesenyapan tergelar. Hanya tangisan bocah-bocah yang menjadi yatim yang sayup-sayup terdengar memecah hening.
Syaikh Siti Jenar, sang penebar badai, konon mati di tengah amukan prahara itu. Tak seorang pun tahu di mana kuburnya. Menurut cerita, ada orang yang menyaksikan mayat Syaikh Siti Jenar berubah menjadi bangkai anjing. Sebagian menyatakan bangkai itu dihanyutkan ke sungai. Sebagian lagi menyatakan bangkai itu dikubur di Mantingan. Sedang menurut kesaksian yang lain, bangkai anjing jelmaan Syaikh Siti Jenar dimakamkan di belakang mihrab Masjid Agung Demak. Aneh, bangkai anjing dikubur di belakang mihrab masjid.
Lebih aneh lagi ada yang menyaksikan bangkai Syaikh Siti Jenar menebarkan bau wangi semerbak. Para pengikut setia Syaikh Lemah Abang, seperti Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Tingkir Banyubiru, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, Sunan Panggung, dan Ki Lonthang dari waktu ke waktu mengalami nasib tak jauh dari gurunya, terhempas oleh pusaran angin prahara. Tidak satu pun di antara mereka pemah diketahui kubumya. Dan bagi pengikut-pengikut dari kalangan kawula alit, tidak ada yang tersisa dari prahara dahsyat itu kecuali rasa takut, resah, gelisah, dan curiga yang menerkam jiwa.
Ketakutan, kegelisahan, keresahan, dan kecuriga-an yang melanda kawula alit pengikut Syaikh Siti Jenar atau mereka yang dianggap berhubungan karena ikatan darah maupun perkawanan, pada dasarnya bersumber pada fitnah dahsyat yang disebarkan oleh ka­wanan gagak jelmaan iblis. Bagaikan ulat menggerogoti daging, demikianlah fitnah itu ditebar, memisahkan daging dari tulang. Daging-daging yang dianggap busuk hendaknya dikelupas dari tulang dan dibakar derni memelihara kesucian. Demikianlah, para peng­ikut Syaikh Siti Jenar tidak saja digolongkan sebagai busuk yang membahayakan kesucian tulang, tetapi dianggap bukan bagian dari tulang. Para pengikut Syaikh Siti Jenar dianggap telah murtad dan kebenaran Agama Rasulullah. Kawula alit yang terkena cap sebagai wong Abangan dianggap sebagai bukan bagian dari umat Islam dan darah mereka halal ditumpahkan.
Akibat yang ditimbulkan oleh fitnah itu sangat memilukan. Begitu kelam. Pekat, Gelap. Dan semua itu akibat ketidakmampuan manusia mengendalikan segala nafsu duniawinya, sehingga terjadilah tragedi: manusia memakan sesamanya.
Kisah-kisah dramatis tentang manusia memakan sesamanya ini dengan cepat meluas di kalangan kawula alit. Bagaikan cerita menakutkan tentang hantu-hantu yang bergentayangan, hati meteka diliputi rasa takut, gclisah, resah, dan curiga mendengarkan betapa mengerikan kisah orang-orang tak bersalah yang binasa akibat dituduh menjadi pengikut Syaikh Sitijenar. Ada kisah tentang orang-orang kaya yang binasa dan hartanya dijadikan jarahan. Ada pula kisah tentang orang-orang beristri cantik yang dimakan fitnah sebagai wong Abangan kemudian istri-istri mereka dijadikan rebutan. Atau tentang para nayakapraja yang kehilangan jabatan akibat fitnah dari kawan-kawan yang mengincar kedudukan mereka.
Hari dan pekan berlalu. Bulan dan tahun pun berganti. Namun rasa takut, gelisah, resah, dan curiga yang mencekam relung-relung jiwa para penghuni Nusa Jawa masih tetap bercokol kuat. Sebab kawanan gagak jelmaan iblis masih terus beterbangan menebar fitnah. Mereka selalu mengikuti ke arah mana serigala-serigala haus darah mencari mangsa. Dan saat kawanan serigala meninggalkan sisa-sisa daging mangsanya, datanglah kawanan gagak yang dengan kerakusan tiada tara memunguti serpih-serpih daging yang sudah basah oleh liur. Itulah upah mcraka sebagai penebar fitnah.
Giri Amparan Jati, sebuah pesantren yang terletak di lereng gunung Sembung, di tlatah Kasunanan Cirebon Girang. Pada paro pertama abad ke-16 Giri Amparan Jati merupakan pusat pendidikan Islam yang menjadi tujuan bagi para musafir penuntut ilmu dari berbagai penjuru negeri. Tidak berbeda dengan tempat-tempat lain di Nusa Jawa, di pesantren yang telah berusia hampir satu abad itu para penghuninya tak luput dari intaian rasa takut, gelisah, resah, dan curiga akibat hempasan angin prahara yang menebar malapetaka. Bahkan di sana berlaku peraturan aneh yang dikenakan kepada para santri dan seluruh warga pesantren, yakni larangan untuk menanyakan segala sesuatu yang berkaitan dengan santri-santri generasi pertama yang diasuh oleh almarhum Syaikh Datuk Kahfi, pendiri pesantren.
Karena yang menetapkan larangan itu adalah Syaikh Maulana Jati, Syarif Hidayatullah, pengasuh pesantren Giri Amparan Jati yang juga Susuhunan Cirebon Girang, maka peraturan yang aneh itu dipatuhi begitu saja selama bertahun-tahun tanpa ada yang berani menanyakan alasannya. Bahkan di kalangan nayaka dan abdi Kasunanan Cirebon Girang pun tidak ada yang berani bertanya ini dan itu tentang peraturan aneh tersebut. Mereka seolah sepaham bahwa melanggar peraturan berarti mendatangkan laknat dan malapetaka.
Manusia adalah manusia. Semakin kuat dilarang akan semakin kuat ia melanggar. Seperti kisah Nabi Adam dan istrinya, Hawa, keturunan mereka pun cenderung melanggar sesuatu yang dilarang. Itu sebabnya, meski dipatuhi di permukaan, di belakang justru dilanggar. Para santri Giri Amparan Jati, misalnya, dengan mencuri-curi berusaha mencari tahu latar di balik peratur­an itu. Diam-diam mereka menjadikan peraturan itu sebagai bahan pembicaraan kasak-kusuk, terutama ketika sedang melakukan pekerjaan di luar waktu belajar. Di sela-sela kegiatan mengambil air untuk mengisi bak mandi, beristirahat usai berlatih silat, mencari kayu bakar, bahkan menjelang tidur.
Bertolak dari pernbicaraan di lingkungan pesantren yang diikuti oleh nayaka dan abdi di Kasunanan Cirebon Girang, beredarlah kisah-kisah menakutkan yang terkait dengan para santri dari generasi pertama. Dan di antara semua cerita yang simpang-siur itu hampir semuanya terpusat pada satu tokoh utama bemama Syaikh Datuk Abdul Jalil yang juga disebut Syaikh Siti Jenar alias Syaikh Lemah Abang. Ternyata dari peraturan aneh itu muncul keanehan pula, di mana berbagai kisah buruk dan nista bergumul dengan berbagai kisah terpuji dan mulia tentang tokoh utama yang merupakan santri generasi pertama itu.
Pada satu sisi banyak beredar cerita kelam dan hitam tentang Syaikh Datuk Abdul Jalil. Misalnya, ada kisah yang menuturkan bahwa ia semula merupakan santri taat yang berubah menjadi jahat dan murtad karena mengikuti ajaran sesat setelah tinggal di Baghdad. Konon, di sana ia. berguru kepada raja jin. Ada puk kisah yang menyatakan bahwa ia sesat karena mempelajari ilmu dari para tukang sihir Baghdad. Kisah sejenis yang lain lagi menuturkan bahwa santri pertama itu adalah anak yang durhaka terhadap orang tuanya sehingga diusir dan hidup dalam kesesatan. Ada lagi yang me-nyebutnya sebagai anak seorang resi yang masuk Islam, namun kemudian memilih jalan sesat hingga murtad kembali. Bahkan muncul pula kasak-kusuk yang mengatakan bahwa Syaikh Datuk Abdul Jalil sebenarnya bukan dari golongan manusia. la adalah jelmaan cacing menjijikkan. Karena itu, kemuliaan Islam tak membawa manfaat apa-apa baginya kecuali kesesatan yang menuju ke kenistaan dan kehinaan. Bukti bahwa ia bukan manusia adalah saat mati mayatnya menjelma menjadi anjing.
Sementara pada sisi lain muncul pula kisah yang menempatkannya sebagai orang yang terpuji dan mulia. Ada satu kisah memaparkan bahwa ia adalah adik sepupu Syaikh Datuk Kahfi. Syaikh Datuk Abdul Jalil dikenal sebagai seorang alim yang berilmu luas bagai samudera. la lama tinggal di Baghdad dan menjadi syaikh besar di sana. Ada pula yang menuturkan bahwa ia merupakan seorang wali Allah yang keramat yang tanpa kenal pamrih menyebarkan Islam di bumi Pasundan dan Jawa. Bahkan beredar pula kisah yang berisi bahwa Syaikh Maulana Jati, Syarif Hidayatullah, adalah putera menantunya. Karena, istri ketiga beliau, Nyai Kara Baghdad, adalah puteri Syaikh Datuk Ahdul Jalil.
Pembicaraan kasak-kusuk yang bertentangan itu membuat para santri turut merasakan getar ketakutan, kegelisahan, keresahan, dan kecurigaan ketika mereka sampai pada berita-berita yang menyatakan bahwa orang-orang yang menjadi pengikut atau diduga menjadi pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil dikucilkan dan dibenci masyarakat. Bahkan beredar pula kisah bahwa mereka dibunuh oleh orang-orang tak dikenal. Para santri tidak pernah bertanya apakah peristiwa-peristiwa itu terjadi di dataran Cirebon Girang atau di tempat lain. Mereka hanya meyakini begitu saja berita-berita itu sebagai kebenaran yang menakutkan.
Berbagai kisah simpang-siur tentang Syaikh Datuk Abdul Jalil, yang semula hanya menjadi bahan pembicaraan kasak-kusuk, berubah menjadi persoalan serius ketika di Pesantren Giri Amparanjati hadir se­orang santri baru yang dihormati: Raden Ketib.
Raden Ketib adalah putera Pangeran Surodirejo, Adipati Palembang. Pangeran Surodirejo merupakan putera Raden Kusen, Adipati Terung. Raden Kusen adalah putera Ario Damar, Adipari Palembang terdahulu. Jadi, Raden Kusen adalah saudara tiri Adipati Demak Bintara, Raden Fatah. Dengan dernikian, santri baru bernama Raden Ketib itu adalah putera saudara sepupu Sultan Demak, karena ayahandanya merupakan sepupu Sultan Tranggana.
Ihwal kehadiran Raden Ketib ke Giri Amparanjati pada mulanya bukan sepenuhnya untuk menuntut ilmu keislaman kepada Syaikh Maulana Jati. Sebab, ayah-anda Raden Ketib mengirimnya ke Giri Amparanjati atas permintaan kakeknya, Raden Kusen.
Ceritanya, setelah Majapahit runtuh oleh serangan pasukan tombak yang dipimpin Susuhunan Kudus dan Pangeran Pancawati, Raden Kusen yang menjadi panglima perang Majapahit ditawan. Namun, karena Raden Kusen adalah paman Sultan Tranggana maka dia kemudian dibawa ke Demak. Setelah beberapa waktu tinggal di sana, Raden Kusen dipindahkan ke Kudus. Kepindahan ini ada kaitannya dengan hubungan keluargaan antara Raden Kusen dan Susuhunan Kudus. Sebab, puteri Raden Kusen adalah istri Susuhunan Kudus. Selanjutnya, panglima tua itu dibawa ke Cirebon Girang dan tinggal di sana dengan menggunakan nama Pangeran Pamelekaran. Dia diambil menantu oleh Susuhunan Cirebon Girang, Syaikh Maulana Jati, dengan menikahi puterinya yang bemama Nyai Mertasati. Meski didampingi istri yang cantik dan muda, jiwa Pangeran Pamelekaran tetap hampa. Sebab bagi orang setua dia, kehadiran cucu yang bisa mendengarkan dengan bangga kisah-kisah keperwiraan dan kebesarannya di masa lampau adalah daya hidup yang dahsyat baginya. Itu sebabnya, dia meminta Pangeran Surodirejo agar mengirimkan salah satu puteranya untuk menuntut ilmu di Giri Amparan Jati sekaligus akan diasuh dan dididik sendiri di ndalemPamelekaran.
Menyadari bahwa ayahandanya adalah perwira unggul yang selalu jaya di medan tempur dan dikenal sebagai ahli tata praja sehingga menduduki jabatan Pecat Tandba (pejabat yang mengurus pajak dan bea cukai) di Terung, maka Pangeran Surodirejo pun me­ngirimkan putera sulungnya, Raden Ketib. la mengharapkan Raden Ketib kelak menjadi penggantinya se­bagai Adipati Palembang. Pangeran Surodirejo yakin di bawah asuhan dan didikan kakeknya, Raden Ketib akan menjadi pemimpin yang ulet, tegas, teguh pendirian, dermawan, adil, dan dicintai rakyat.
Saat dikirim ke Giri Amparan Jati, Raden Ketib adalah pemuda berusia enam belas tahun. Sedikitpun ia tidak pernah mengetahui maksud lain ayahanda­nya mengirim dirinya ke Pesantren Giri Amparanjati. la mengira kehadirannya di pesantren itu semata-mata untuk menuntut ilmu atas petunjuk kakeknya. Itu sebabnya, meski keluarga pesantren sangat menghormatinya sebagai cucu Pangeran Pamelekaran, ia berusaha menjadi santri yang tidak menginginkan keistimewaan apa pun. Bersama-sama dengan santri yang lain, ia mencari kayu bakar, mengisi bak mandi, berlatih silat, dan tidur berama-ramai di gubuk bambu beratap daun talas.
Usai mengerjakan tugas-tugasnya sebagai santri, biasanya di malam hari, Raden Ketib, sesuai pesan ayah­andanya, datang ke ndalem Pamelekaran untuk menimba berbagai ilmu pengetahuan dari kakeknya, terutama ilmu keprajuritan dan tata praja. Namun berbeda dengan harapan ayahandanya, Raden Ketib ternyata tidak tertarik dengan ilmu keprajuritan dan tata praja. la lebih suka mendengarkan cerita tentang kenakalan-kenakalan kakeknya semasa remaja atau tentang pengalaman kakeknya mengarungi samudera kehidupan. Dan Pangeran Pamelekaran yang sudah tua itu tampaknya lebih suka bercerita tentang berbagai pengalamannya daripada mengajari cucunya dengan ilmu keprajuritan dan tata praja.

Raden Ketib merupakan pemuda yang rendah hati. Itu tampak dari kegemarannya mengajak kawan-kawannya sesama santri untuk berkunjung ke ndalem Pamelekaran mendengarkan cerita-cerita menakjubkan yang pemah dialami kakeknya. la juga dikenal dermawan sehingga tak jarang uang saku yang diperoleh dari kakeknya habis dibagi-bagikan untuk kawan-kawannya. Sering juga ia ikut berkunjung ke rumah salah seorang kawannya yang ayahnya hanya seorang gedeng atau malah kuwu.

Bermula dari keakraban dengan kawan-kawan sesama santri, ia mengetahui tentang peraturan aneh serta kasak-kusuk itu. Raden Ketib tidak pernah menduga bahwa cerita yang pernah ia dengar tentang Syaikh Siti Jenar yang sesat dan murtad dari guru mengajinya itu ternyata berasal dari pesantren di mana ia menimba ilmu sekarang ini. Namun berbeda dengan kisah-kisah yang pernah ia dengar selama di Palembang, ternyata di Giri Amparan Jati ada beberapa kisah yang menggambarkan syaikh murtad itu sebagai orang yang terpuji dan mulia. Bahkan yang membuat keningnya berkerut adalah bisik-bisik yang menyatakan bahwa istri Syaikh Maulana Jati adalah puteri Syaikh Siti Jenar.
Kesimpangsiuran itu menumbuhkan rasa ingin tahu Raden Ketib. Cerita-cerita itu begitu menakjubkan. Ia sangat ingin menyingkap kabut yang menyelimuti kehidupan santri Giri Amparan Jati generasi pertama itu. Benarkah Syaikh Datuk Abdul Jalil sesat dan murtad? Benarkah dia berguru kepada tukang sihir Baghdad? Benarkah dia anak durhaka? Benarkah dia bukan manusia, melainkan seekor cacing tanpa ayah dan ibu? Benarkah dia ayahanda Nyai Rara Baghdad? Benarkah dia adik sepupu Syaikh Datuk Kahfi, Sunan Jati Purba, pendiri pesantren Giri Amparan Jati? Be­narkah dia wali Allah yang menyebarkan Islam tanpa pamrih di nagari Galuh, Kretabhumi, Sumedanglarang, Sadawarna, Subang, Luragung, Bantarkawung, Demak, Majenang, Pasir, Mataram, hingga Pengging?
Kecamuk tanda tanya yang berjejal-jejal di kepala Raden Ketib menjadi bara api penasaran yang membakar hati dan benaknya, terutama setelah ia menghadapi jalan buntu ketika berusaha menguak lebih dalam tentang keberadaan Syaikh Datuk Abdul Jalil yang membingungkan itu. Jalan buntu itu bermula dari kecurigaan yang mencuat dari setiap orang yang ditanyainya. Santri Giri Amparan Jati, nayaka, dan abdi Kasunanan Cirebon Girang tampaknya sama-sama memahami bah­wa Raden Ketib adalah cucu Pangeran Pamelekaran. Ia juga kemenakan Sultan Demak. Itu sebabnya, mereka diam-diam menaruh curiga bahwa sangat mungkin Raden Ketib dikirim ke Giri Amparan Jati dan Kasunanan Cirebon Girang dilatari tujuan untuk mencari sisik-melik yang berkaitan dengan ajaran sesat Syaikh Datuk Abdul Jalil.
Menghadapi jalan buntu itu sempat terbersit di benak Raden Ketib niat untuk menanyakan langsung hal tersebut kepada ramanda gurunya, Syaikh Maulana Jati. Namun, sebagai seorang yang sejak kecil dididik di lingkungan Kadipaten Palembang yang menanamkan nilai-nilai penghormatan dan pemuliaan terhadap guru, maka niat itu dibatalkannya. Apalagi dalam hal itu ada kasak-kusuk yang menyatakan bahwa ramanda gurunya adalah menantu Syaikh Datuk Abdul Jalil. Tentunya hal itu sangat kurang ajar dan tidak mengenal tata krama bagi seorang santri yang wajib memuliakan gurunya.
Ketika mendengarkan cerita-cerita kakeknya, sem­pat pula terbersit keinginan di benak Raden Ketib untuk menanyakan tentang kisah Syaikh Datuk Abdul Jalil. Namun, keinginan itu lagi-lagi terpaksa ditahan. Raden Ketib sadar bahwa kakeknya menetap di Cirebon Girang baru beberapa tahun saja. Sementara Syaikh Datuk Abdul Jalil saat tinggal di Cirebon Girang sudah puluhan tahun silam. Di samping itu, ia tidak ingin menyinggung perasaan kakeknya karena bagaimanapun Sultan Demak yang mendiamkan saja pembunuhan Syaikh Abdul Jalil oleh Sunan Kudus itu adalah kemenakannya. Terlebih lagi, Sunan Kudus sendiri adalah menantunya.
Keinginan kuat Raden Ketib untuk menguak rahasia Syaikh Datuk Abdul Jalil temyata makin meningkatkan kecurigaan para santri, nayaka, dan abdi Kasu­nanan Cirebon Girang. Dengan cara terang-terangan atau samar, mereka berusaha menghindar setiap kali didekati Raden Ketib. Sebagai orang yang tanggap de­ngan keadaan, ia cepat menyadari bahwa dirinya diam-diam telah dikucilkan dari kehidupan pesantren maupun kasunanan.
Menyadari bahwa dirinya tidak melihat kemungkinan memperoleh sesuatu dari pesantren maupun kasunanan maka dengan semangat tetap membara ia ber­usaha mencari penjelasan dari tempat kin. Diam-diam pada waktu senggang ia berkeliling ke desa-desa di sekitar Giri Amparan Jati. Berangkat dan pengalaman di pesantren dan kasunanan, Raden Ketib tidak mena­nyakan langsung segala sesuatu yang berkait dengan Syaikh Datuk Abdul Jalil. la biasanya memulai pembicaraan dengan menanyakan ihwal keberadaan desa yang disinggahinya, baik berkait dengan nama desa, pendiri, asal usul surau, dan berbagai hal yang menyangkut desa tersebut.
Hari dan pekan berlalu. Perjuangan gigih Raden Ketib untuk menguak rahasia kebenaran di balik ceri­ta-cerita tentang Syaikh Datuk Abdul Jalil mendatang-kan hasil juga, meski berserakan dan tidak utuh. Misalnya saja, ketika memperoleh penjelasan bahwa pada awal didirikan oleh Syaikh Datuk Kahfi, Giri Amparan Jati dinamakan padepokan. Sebutan pesantren baru dilakukan oleh seorang santri dari generasi keempat bernama Raden Sahid asal Tuban yang bergelar Syaikh Malaya, setelah Syaikh Datuk Kahfi wafat. Dia menyarankan kepada Syaikh Maulana Jati agar nama padepokan diganti menjadi pesantren.

Lain dari itu, Raden Ketib beroleh pula penjelasan tentang siapa saja di antara santri-santri Giri Amparan jati generasi pertama yang kemudian menjadi pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil. Di antara mereka itu, menurut cerita yang didengar Raden Ketib, adalah Ki Gedeng Pasambangan, cucu Ki Gedeng Tapa, Ki Gedeng Tegal Alang-Alang, Ki Gedeng Babadan, Ki Gedeng Surantaka, dan Ki Gedeng Singapura. Mereka itu adalah kawan-kawan akrab Syaikh Datuk Abdul Jalil sejak usia lima tahunan di bawah asuhan Syaikh Datuk Kahfi. Mereka tumbuh bersama di lingkungan yang sama hingga dewasa. Itu sebabnya, mereka mengetahui benar kelebihan-kelebihan sekaligus kekurangan sahabat yang akhirnya menjadi guru ruhani mereka.
Manusia boleh berencana dan berusaha, namun Tuhanlah penentu keputusan akhir. Rencana dan usaha Raden Ketib untuk menguak rahasia jati diri Syaikh Datuk Abdul Jalil ternyata harus terhenti di tengah jalan. Para santri Giri Amparan Jati generasi pertama yang diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang cerita-cerita sahabat mereka ternyata telah banyak yang meninggal dunia. Hanya Ki Gedeng Pasambangan yang masih hidup. Sayangnya, dia telah pergi ke Banten Girang dan tidak diketahui kapan kembalinya.

Bagi pemuda remaja yang haus pengetahuan dan ingin beroleh kebenaran, menelusuri jejak-jejak kehidupan Syaikh Datuk Abdul Jalil yang penuh liku-liku merupakan tantangan yang mempesona. Bagai orang kehausan meminum air laut, begitulah Raden Ketib terus berusaha mencari titik terang tentang tokoh aneh yang dikutuk sekaligus dipuji itu. Dan semakin ditelusuri semakin ditemukan keanehan-keanehan dari jejak-jejak yang ditinggalkan oleh Syaikh Datuk Abdul Jalil. Para sahabat karibnya yang sudah meninggal dunia, misalnya, tidak ada satu pun yang diketahui di mana kuburnya. Pihak keluarga yang ditanya tentang ketidaklaziman itu umumnya hanya memberi penjelasan bahwa para sahabat dan murid Syaikh Datuk Abdul Jalil jika akan meninggal dunia selalu meninggalkan wasiat yang menyatakan bahwa kubur mereka hendaknya tidak diberi batu nisan atau tanda apa pun. Alasannya, mereka tidak mau diberhalakan oleh anak dan cucunya.
Kenyataan ini benar-benar membingungkan Raden Ketib. Selama hidup di Kadipaten Palembang, ia terbiasa membaca surat yasin, tahlil, dan kenduri untuk memperingati orang yang meninggal dunia. Ternyata upacara itu tidak satu pun dilakukan oleh sahabat sahabat dan murid-murid Syaikh Datuk Abdul Jalil.
Padahal, sejak ia tinggal di Giri Amparan Jari, kebiasaan semacam itu juga dilakukan orang. Kenyataan ini, pikir Raden Ketib, sungguh teramat aneh.
Tanpa terasa, telah tiga tahun Raden Kerib tinggal sebagai santri di Giri Amparan Jati. Tanpa terasa pula usianya bertambah. Keakraban antara Raden Ketib dan kakeknya makin erat manakala Nyai Mertasari, istri kakeknya, melahirkan putera yang diberi nama Raden Santri. Raden Ketib yang hampir dua puluh usianya itu harus memanggil 'paman' kepada bayi yang baru lahir. Aneh sekali rasanya seorang pemuda memanggil bayi dengan sebutan paman.
Sebenarnya, jika ditelusuri lebih jauh, hal yang dialami oleh Raden Ketib itu tidak kalah aneh dibanding silsilah kakeknya. Pangeran Pamelekaran yang bernama Raden Kusen itu kedudukannya adalah adik tiri sekaligus kemenakan Raden Fatah, Adipati Demak Bintara. Bagaimana hal rumit itu bisa terjadi?
Ceritanya, Raden Kusen adalah putera Ario Damar. Ario Damar sendiri adalah putera Prabu Kertawijaya Wijaya Parakramawarddhana, Maharaja Majapahit. Ario Damar kemudian dianugerahi seorang perempuan Cina bernama Retno Subanci oleh ayahandanya. Saat itu Retno Subanci adalah salah seorang selir ayahandanya yang sedang hamil muda. Ario Damar diwanti-wanti agar tidak menyentuh Retno Subanci sebelum bayi yang dikandungnya lahir. Tak lama kemudian lahirlah bayi laki-laki yang diberi nama Raden Fatah. Kemudian, Retno Subanci dinikah oleh Ario Damar. Lalu lahirlah Raden Kusen yang menurunkan beberapa putera dan puteri, di antaranya Pangeran Surodirejo, ayahanda Raden Ketib.
Berawal dari mempertanyakan keanehan-keanehan silsilah keluarganya itulah Raden Ketib tanpa pernah direncanakan sebelumnya, tiba-tiba menyinggung hal ihwal keanehan cerita-cerita yang menyangkut Syaikh Datuk Abdul Jalil. Dan satu hal yang tak pernah diduga oleh Raden Ketib, ternyata kakeknya pernah bertemu dengan Syaikh Datuk Abdul Jalil meski sangat singkat. "Dia memanggil aku dengan sebutan paman karena dia putera angkat Ki Danusela, putera Eyang Prabu Kertawijaya. Dia mengira aku adalah adik dari Rakanda Raden Fatah. Itu tidak salah, tetapi dia sebenarnya juga bisa menyebutku rakanda karena aku ada­lah kemenakan Ki Danusela," katanya sambil tertawa.
Merasa bahwa kakeknya hanya kenal sepintas saja dengan Syaikh Datuk Abdul Jalil, Raden Ketib kemu­dian menuturkan betapa selama ini ia berusaha mencari tahu tentang tokoh aneh itu. Pangeran Pamelekaran mengerutkan kening mendengar penuturan cucunya, tetapi, sesaat kemudian dia menyatakan akan memanggil Ki Gedeng Pasambangan, putera Ki Gedeng Tapa, yang merupakan kawan Syaikh Datuk Abdul Jalil. "Biarlah Ki Gedeng Pasambangan menuturkan segala sesuatu yang diketahuinya kepadamu," kata Pangeran Pamelekaran datar.
"Tapi Eyang," sahut Raden Kerib takzim, "bagaimana jika cerita Ki Gedeng Pasambangan nanti menyinggung perasaan Eyang?"
"Menyinggung perasaanku?" Pangeran Pamelekaran mengerinyitkan kening.
"lya, Eyang," sahut Raden Ketib, "sebab menurut cerita-cerita yang saya dengar, yang berperan penting dalam kematian Syaikh Datuk Abdul Jalil adalah Susu­hunan Kudus, yaitu menantu Eyang. Kemudian, sultan yang mendiamkan saja pembunuhan itu adalah kemenakan Eyang."
"Ha... ha... ha," Pangeran Pamelekaran terbahak. Setelah itu dengan suara serius dia berkata, "Kebenaran harus diungkap apa adanya. Itu prinsipku. Aku tak pernah tersinggung. Bahkan engkau harus tahu bagaimana sikapku terhadap Susuhunan Kudus, menantuku itu. Ketahuilah, saat penyerbuan awal pasukan Demak ke Majapahit yang dipimpin oleh Susuhunan Ngudung, ayahanda Susuhunan Kudus, yang tak lain adalah besanku, akulah yang menjadi manggalayuddha Majapahit. Dalam pertempuran itu, aku harus berhadapan dengan dia selaku panglima Demak. Aku tikam lehernya dengan keris. Meski dia sudah mengenakan pusaka kutang antakusuma, toh mati juga ditanganku. Itulah kenyataan, Ngger.Aku tidak akan tersinggung jika diungkap bahwa aku telah tega membunuh besanku demi mempertahankan kerajaan kafir Majapahit."
"Dalam peristiwa itu banyak orang menyalahkan aku. Namun, aku tidak peduli. Karena, aku sudah berkali-kak mengingatkan bahwa aku adalah murid yang setia dan teguh memegang amanat guru. Telah berkali-kali kukatakan bahwa aku tetap memegang amanat guruku, Raden Ali Rahmatullah, Susuhunan Ampel Denta, yang menitahkan aku agar mengabdi pada Majapahit apa pun yang terjadi, demi melindungi pemeluk-pemeluk Islam di pedalaman. Tetapi, mereka tidak peduli. Mereka tidak menghargai prinsip hidupku. Dan mereka baru sadar setelah semuanya terjadi."
Raden Ketib menarik napas dalam-dalam mendengar kisah kakeknya. Namun terlepas dari keberpihakannya kepada Pangeran Pamelekaran, Raden Ketib menangkap sasmita bahwa kakeknya itu berpendirian teguh dan tidak mudah menyerah. Itu sebabnya, ka­keknya hanya bisa disejajarkan dengan tokoh Bisma dalam cerita Mahabharata, yakni berani menanggung resiko apa pun demi memegang teguh prinsip yang diyakini kebenarannya.
Janji Pangeran Pamelekaran untuk mengundang Ki Gedeng Pasambangan ternyata dipenuhi kira-kira sehari setelah sahabat Syaikh Datuk Abdul Jalil itu kembali dari Banten Girang. Raden Ketib yang tidak menduga bakal secepat itu bertemu dengan Ki Gedeng Pasambangan, tak bisa berkata-kata ketika tiba di ndalem Pamelekaran, kecuali mencium dengan takzim lutut kakeknya dengan hati berbunga-bunga. Dan bagi Pangeran Pamelekaran sendiri merupakan suatu kebahagiaan tak terhingga jika dia bisa memenuhi hasrat dan keinginan cucunya.
Malam itu, setelah memperkenalkan Raden Ketib sebagai cucu tercintanya, Pangeran Pamelekaran mengajak Ki Gedeng Pasambangan untuk mengingat saat-saat menegangkan ketika mereka menyerbu Pakuwuan Caruban dan kemudian menghadang pasukan Pajajaran yang dipimpin Terong Peot di pantai Muara Jati. Ki Gedeng Pasambangan yang saat itu merupakan santri Giri Amparan Jati tentu masih mengingat peristiwa itu dengan jelas. Dia kemudian menuturkan kepada Raden Ketib betapa gagah dan beraninya Pangeran Pamelekaran ketika itu. Namun, saat menyinggung nama San Ali, yakni nama kecil Syaikh Datuk Abdul Jalil, Ki Gedeng Pasambangan tampak sekali berusaha menghindar.
Sebagai orang yang sudah kenyang menelan pahit dan getir kehidupan, Pangeran Pamelekaran memahami kecanggungan Ki Gedeng Pasambangan ketika menyinggung hal sahabat dan guru tercintanya. Itu sebabnya, dia langsung meminta Ki Gedeng Pasambangan untuk menuturkan apa adanya segala sesuatu yang diketahuinya tentang Syaikh Datuk Abdul Jalil. "Engkau tak perlu ragu dan curiga, Ki. Engkau mestinya telah tahu betapa aku memiliki pnnsip yang sama dengan Abdul Jalil tentang penyerangan ke Majapahit. Engkau juga tentu tahu bahwa di tanganku ini pula besanku Susuhunan Ngudung melayang jiwanya. Karena itu, Ki, ceritakan apa adanya tentang San Ali, kemenakanku itu. Cucuku sangat besar hasratnya untuk mengetahui kisah San Ali yang sampai kini simpang-siur," kata Pangeran Pamelekaran dengan suara berat.
"Abdi akan laksanakan titah Yang Mulia," kata Ki Gedeng Pasambangan takzim.
Beberapa jenak setelah Pangeran Pamelekaran berpamitan hendak beristirahat, Ki Gedeng Pasambangan yang duduk berdua berhadap-hadapan dengan Raden Ketib memulai ceritanya. Dia bercerita berdasarkan kesaksian pribadi, penuturan Syaikh Datuk Abdul Jalil, fatwa dan kisah dari Syaikh Datuk Kahfi, cerita dari kawan-kawannya sesama santri, penuturan kakeknya, yaitu Ki Gedeng Tapa, dan cerita dari Haji Abdullah Iman, yakni Pangeran Walangsungsang Cakrabuwana, Kepala Nagari Cirebon, yang tak lain adalah saudara sepupunya.
Berdasar cerita-cerita itu, Ki Gedeng Pasambangan menuturkan kisah kehidupan Syaikh Datuk Abdul Jalil secara luas dan mendalam sejak awal kelahiran, pengembaraan, silsilah keluarga, pandangan-pandangan, ajaran-ajaran, hingga ke masa memilukan saat la terhempas angin prahara fitnah yang mengerikan.

Anak Yatim Piatu
DALAM bayangan pohon Kelapa, di bawah pancaran sinar matahari di pinggiran sungai kecil berair deras, di lingkaran rimbunan hutan dan belukar tak jauh dan Padepokan Giri Amparan Jati, di lereng gunung Sembung, tlatah nagari Caruban, San Ali, putera Ki Danusela sang Kuwu Caruban, menuntut ilmu agama bersama sahabat-sahabatnya di bawah asuhan Syaikh Datuk Kahfi.
Laksana permata manikam memancarkan gemerlap keindahan, begitulah San Ali menjadi perhiasan padepokan karena kecerdasan, ketekunan, semangat, kesetiaan, dan kecintaannya yang tulus. Sebagai penghuni padepokan sejak usia lima tahun, ia tumbuh menjadi pemuda yang sangat akrab dengan lingkaran keprihatinan: membersihkan padepokan, mengisi bak mandi dan tempat wudhu, memasak dan mencuci pakaian, mencari kayu di hutan; menghapal pelajaran, menandai pelajaran dengan sah-sahan, mengkaji kitab; berpuasa, menjalankan riyadhoh, iktikaf, ber-dzikir, bersalawat; berlatih pencak silat, olah kanuragan, menghafal hizb-hizb, dan mengamalkan aurad. Berbeda dengan murid-murid padepokan yang lain, bila ada waktu senggang ia gemar menjelajahi desa-desa di sekitar gunung Sembung, memasuki hutan, melintasi pegunungan, menyusur sungai, menerobos hutan bakau, ke muara, dan menyusur pantai. Sepanjang perjalanan ia menyaksikan berbagai pemandangan yang menggugah ketenangan jiwanya. Hiruk pikuk pasar desa, petani yang bekerja di sawah, nelayan yang melaut mencari ikan, orang berkelahi, orang berjudi, lintah darat memeras penduduk desa, petani-petani membawa hasil bumi ke padepokan, pendeta menyiapkan sesaji di pura, brahmana bersamadi di sanggar pamujaan, orang menderita sakit, dan orang mati baik yang dikubur maupun dibakar.
Semua pemandangan selama mengikuti langkah kakinya itu telah menerbitkan gumpalan awan tanda tanya di cakrawala pemikirannya yang belum dewasa. Ketika tanda tanya itu tak terjawab, gumpalan awan itu semakin memadari cakrawala di benaknya.
Ketika ia memberanikan diri untuk menanyakan pelbagai macam kehidupan manusia kepada Guru Agung Syaikh Datuk Kahfi, sering kali tanda tanya justru semakin berjejal-jejal menggumpali isi kepalanya. Memang, jika murid-murid yang lain selalu mengiyakan penjelasan guru agung tentang kehidupan manusia yang bermuara ke alam akhirat, yakni neraka dan surga, maka San Ali kebalikannya. la tidak gampang puas dengan jawaban-jawaban yang lazimnya diberikan kepada anak-anak seusianya. Misalnya tentang perbedaan antara kehidupan orang-orang durhaka dan celaka, seperti penjudi, pemabuk, pencuri, perampok, pelacur, penipu, pembunuh, pezina, dan pemuja berhala yang bakal menempati neraka, dan orang-orang saleh dan beruntung yang bakal menghuni surga. San Ali melihat persoalan ini hanya masalah penundaan waktu belaka. Intinya, keduanva sama ditinjau dari aspek amaliah. Maksudnya; jika di surga nanti orang bisa memenuhi semua keinginan-nya termasuk hal-hal yang ketika di dunia diharamkan maka pada hakikatnya orang durhaka tidak berbeda dengan orang saleh, kecuali dalam hal waktu pelaksanaannya. Kalau orang durhaka bisa sesuka hati menenggak minuman keras, mabuk, bersetubuh dengan perempuan, dan menikmati berbagai kelezatan dunia, maka orang-orang saleh pun ketika di surga bisa menenggak khamr, menikmati 40 bidadari yang selalu perawan, bersenang-senang, mandi di kolam susu dan madu, dan berbagai kelezatan surgawi lain. Bedanya, yang pertama dilampiaskan di dunia, sedang yang ke-dua menunggu di akhirat. Tanda tanya berjejalan yang tak sesederhana jawabannya itu membuat San All terjebak pada kebiasaan merenung untuk mencari sendiri jawaban dan pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. Itu sebab-nya, dalam setiap penjelajahan ia sering terlihat merenung di bawah pohon, di puncak bukit, di hamparan pasir pantai, dan bahkan di tengah hening malam ketika makhluk hidup tertidur dibuai mimpi. Dengan merenung, ia seperti menikmati kesendiriannya dan mengungkapkan gairah jiwanya yang berkobar-kobar. Di tengah hening malam ia sering merenungkan bintang-bintang yang memenuhi langit dengan kilau cahayanya yang laksana permata.
Benarkah bintang-bintang yang berkilauan memenuhi langit itu jika pagi menjelang bersembunyi di lautan dan menyinari dunia bawah? Kenapa bintang tidak pernah berada satu langit dengan matahari? Benarkah para malaikat hanya turun ke bumi pada malam hari untuk memberkati dan melimpahi rezeki bagi orang-orang yang tekun menjalankan sembahyang malam? Di bintang-bintang itukah para malaikat tinggal? Apakah 'Arsy, singgasana Allah, terletak di salah satu bintang di langit?
Setelah semalaman merenung-renung tentang langit, bintang, rembulan, malaikat, dan Tuhan, San Ali biasanya turun ke desa-desa dan berbicara dengan orang-orang yang bekerja di sawah atau dengan para brahmin yang melakukan upacara bhakti di sanggar pemujaan. Apakah dewa-dewa yang dipuja brahmin itu sama dengan Gusti Allah yang disembahnya? Kenapa Gusti Allah yang disembahnya tidak diwujudkan dalam bentuk-bentuk? Kenapa pula Gusti Allah tidak membutuhkan sesaji apa pun? Dan yang paling mengherankan, kenapa Syaikh Datuk Kahfi dengan sangat keras melarangnya membayang-bayangkan, membanding-bandingkan, dan memikirkan Gusti Allah? Bagaimana orang bisa mengenal Gusti Allah jika tidak boleh membayangkan, membandingkan, dan memikirkan-Nya?
Suatu kali sekeluarnya dari hutan, ia menjumpai seorang brahmin tua mempersembahkan sesaji di altar dewa. Saat itu terlintas di benaknya bahwa sangat mustahil arwah dewa bisa memakan sesaji persembahan sang brahmin. Namun, selintas juga terbentang di benaknya tentang ibadah qurban di dalam agama Islam: bukankah Gusti Allah Yang Tak Terpikirkan dan Tak Terjangkau Pancaindera itu sesungguhnya tidak butuh darah dan daging domba? Namun, kenapa tiap hari raya Idul Adha orang harus menyembelih domba?
Ia sering pula menemukan berbagai perilaku yang menurut pandangan penghuni padepokan digolongkan sebagai ahli maksiat. Kenapa orang bisa begitu tergila-gila berjudi sabung ayam? Mengapa orang bisa sangat menggemari minuman keras hingga mabuk? Kenapa orang suka membunuh sesamanya? Kenapa orang suka mencuri dan merampok, sementara ia dan kawan-kawannya di padepokan justru diwajibkan hidup menjauhi segala kebiasaan buruk itu?
Saat persoalan yang mengganjal pikirannya itu disampaikan kepada guru agung, ia sering memperoleh penjelasan yang kurang memuaskan. Penjelasan-penjelasan yang didasarkan pada dalil dari kitab-kitab itu seperti mengulang-ulang penjelasan lama tentang kehidupan orang-orang yang bakal menjadi penghuni neraka dan surga. Para ahli maksiat yang celaka itu, demikian Syaikh Datuk Kahfi mengulang-ulang, akan menjadi ahli neraka. Sedang penghuni padepokan yang saleh akan menjadi penghuni surga. Penjelasan ini tentu saja sangat tidak memuaskan pemuda secerdas San Ali, terutama ketika berbicara tentang keyakinan bahwa takdir baik dan buruk sepenuhnya di tangan Allah Atas pertimbangan apa Gusti Allah menggolongkan orang sebagai manusia celaka yang bakal menjadi penghuni neraka, dan atas pertimbangan apa pula Gusti Allah menentukan orang menjadi calon penghuni surga.
Makin sering merenung, menelaah, mempersoalkan jawaban-jawaban atas pertanyaannya, dan menalar berbagai hal yang disaksikannya, ia merasa betapa kerisauan makin kuat menerkam jiwanya. la merasa ada sesuatu di dalam dirinya yang sulit diajak berdamai dengan sekadar penjelasan sederhana. Kerisauan itu sering kali hanya bisa ditenangkan dengan perjalanan keluar padepokan. Namun, manakala menyaksikan berbagai kenyataan hidup manusia, ia merasa benaknya padat digumpali tanda tanya yang berjejal-jejal dan berkumpar-kumpar bagai lingkaran setan.
Kebiasaannya menjelajahi daerah-daerah di sekitar padepokan telah membuatnya dikenal dan dicintai banyak orang. Penduduk di sekitar gunung Sembung, terutama para brahmin, cepat sekali mengenali kehadirannya. Tubuhnya jangkung, tegap, dan berotot. Kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Alis matanya tebal. Matanya setajam elang. Senyumnya selalu terkembang. Jalannya mantap dan gesit. Bicaranya terbuka dan berapi-api. Bagi para brahmin, semua yang ada pada din San Ali adalah citra kehidupan anak yang 'bangun' di antara anak-anak yang 'tidur' dininabobok-kan zaman.
San Ali! Begitu aneh nama itu untuk zamannya. Namun, keanehan itu menjadi keakraban bagi mereka yang telah mengenalnya. Dan bagaikan orang mengenal rajanya, begitulah orang di sekitar gunung Sembung dan Pakuwuan Caruban mengenal nama San Ali, sosok aneh tetapi akrab di mata, telinga, dan hati. Sebuah citra yang diharapkan bakal menjadi pemimpin besar di negeri kelahirannya.
San Ali sebenarnya nama yang kurang lazim digunakan orang baik di Jawa maupun di tanah Pasundan. Namun nama itu pemberian ayahandanya, Ki Danusela, Kuwu Caruban. Ceritanya, tiga bulan menjelang kelahiran putera sulungnya, penguasa Pakuwuan Caruban itu memperoleh impian menakjubkan tentang sembilan ekor kumbang hitam yang terbang mengitari tlatah Majapahit dan Pajajaran yang sedang dilanda bencana serbuan jutaan tikus yang merusak sawah dan ladang. Kesembilan ekor kumbang hitam itu dengan ajaib menyemburkan cairan hijau dari tubuh mereka. Cairan itu terbawa aliran sungai yang mengairi sawah dan ladang sehingga tikus-tikus perusak itu binasa. Kemudian secara ajaib pula kesembilan ekor kumbang itu menyemburkan air suci Amartha yang membuat padi dan tanaman lain tumbuh subur seperti sediakala. Orang-orang yang semula bersedih dan putus asa kini bersorak-sorai meluapkan kegembiraan. Kehidupan kembali menjadi tenteram, aman, sentosa, dan kertaraharja.
Mimpi menakjubkan yang dialami Ki Danusela itu terulang sampai tiga kali dalam tempo sebulan. Lantaran pengaruh impian itu sangat kuat mencekam jiwanya maka dia berjanji jika anak pertamanya lahir laki-laki akan dinamakan San Ali, yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti sembilan ekor kumbang hitam. Ki Danusela berharap puteranya kelak dapat menjadi salah satu dari kesembilan kumbang yang menyemburkan Amrtha, yang membawa kesuburan dan kemakmuran bagi negerinya. Begitulah, nama San Ali benar-benar diberikan ketika bayi laki-laki itu lahir ke dunia.
Sebagai tanda sukacita dan gantungan harapannya terhadap bayi San Ali, Ki Danusela menyelenggarakan pesta besar selama tiga hari tiga malam. Kepada para tamu undangan dia menyatakan bahwa putera sulungnya itu kelak akan menjadi penggantinya sebagai Kuwu Caruban. Kuwu Caruban adalah jabatan yang sangat penting di antara kuwu-kuwu yang ada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Karena, Pakuwuan Caruban berkembang lebih pesat dibanding pakuwuan lain. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, Pakuwuan Caruban terdiri atas beberapa pakuwuan yang tergabung di bawah kekuasaan Ki Danusela. Meski wilayah teritorial Kuwu Caruban sudah hampir menyamai wilayah nagari, Ki Danusela yang rendah hati itu tetap menyebut dirinya sebagai kuwu. Dan wilayah kekuasaannya tetap dia namakan pakuwuan. Itu sebabnya, San Ali yang kelak menggantikan ayahandanya akan memiliki kekuasaan penting di wilayah Galuh.
Sebenamya, di balik kemuliaan yang dilimpahkan kepada bayi San Ali, tak banyak yang tahu bahwa Ki Danusela bukanlah ayahanda kandung dari bayi yang diakui sebagai putera sulung itu. Menurut cerita kalangan dalam pakuwuan, ayahanda kandung bayi San Ali adalah seorang ulama asal Malaka yang masih tergolong bangsawan kerajaan. Namanya Syaikh Datuk Sholeh, peranakan Melayu-Gujarat. Ibundanya perempuan Melayu. Menurut cerita, saat Sultan Muzaffar Syah naik ke tangga kekuasaan Kesultanan Malaka menggantikan saudaranya yang terbunuh, terjadi perselisihan antara pejabat-pejabat keturunan Tamil yang dipimpin Tun Ali dan bangsawan-bangsawan Melayu yang dipimpin Seri Wak Raja I. Ibunda Sultan Muzaffar Syah sendiri adalah keturunan Tamil dan sesaudara dengan Tun Ali. Demikianlah, golongan Tamil yang dipimpin Tun Ali menang dan bangsawan-bangsawan Melayu tersingkir dari lingkaran kekuasaan. Di antara bangsawan yang tersingkir itu tersebutlah nama Syaikh Datuk Sholeh.
Kepergian Syaikh Datuk Sholeh meninggalkan Malaka dilatari usaha penyelamatan diri. Karena, Tun Ali merancang persekongkolan politik sehingga sejumlah pejabat Melayu tewas terbunuh, termasuk Seri Wak Raja II putera Seri Wak Raja I. Demikianlah, Syaikh Datuk Sholeh diikuti istrinya yang hamil muda meninggalkan Malaka untuk berniaga sambil mendakwahkan agama.
Tempat awal yang didatangi Syaikh Datuk Sholeh adalah pelabuhan Palembang. Namun, ia tidak dapat tinggal lama di daerah itu sebab banyak saudagar Tamil berniaga di sana. Lantaran itu, ia bertolak dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain hingga tiba di pelabuhan Dermayu (Indramayu), Caruban, yang termasuk wilayah Kerajaan Galuh.
Di bandar Dermayu itulah Syaikh Datuk Sholeh tinggal dan berdagang sambil menyiarkan agama Islam. Tempat itu, menurutnya, dianggap tepat karena tidak seorang pun saudagar Tamil dijumpainya di sana. Syaikh Datuk Sholeh dengan cepat menjalin keakraban dengan penduduk bandar Dermayu yang umumnya terdiri atas orang-orang Cina Muslim, Melayu Muslim, Melayu-Bengali, Jawa, dan Sunda yang masih beragama Hindu-Budha.
Sebagai saudagar sekaligus penyebar agama Islam, Syaikh Datuk Sholeh dikenal pandai, lurus hati, dermawan, santun, dan pintar bergaul. la disukai orang-orang. Dalam waktu singkat, ia dikenal sampai ke Caruban. Di antara sejumlah orang yang dikenalnya dengan baik adalah Ki Danusela. Meski Ki Danusela beragama Hindu-Budha, hubungan mereka sangat akrab. Sering mereka berdua kelihatan berbicara soal kehidupan masyarakat, tata pemerintahan, dan bahkan falsafah hidup.
Hubungan Syaikh Datuk Sholeh dan Ki Danusela berlanjut ke jalinan kekeluargaan. Ceritanya, saat kemenakan Syaikh Datuk Sholeh yang bemama Syaikh Datuk Kahfi menyusul ke Caruban, Ki Danusela sangat tertarik dan simpati terhadap kecerdasan, keluasan ilmu, kebijaksanaan, dan kesantunannya. Berangkat dari ketertarikan dan rasa simpati itulah Ki Danusela kemudian menikahkannya dengan adik ipar perempuannya yang bernama Nyi Rara Anjung. Dengan demikian, Syaikh Datuk Kahfi dan Syaikh Datuk Sholeh secara langsung telah masuk ke dalam lingkungan keluarga Kuwu Caruban.
Ki Danusela adalah keturunan Prabu Kertawijaya, Maharaja Majapahit. Dia menikahi Ratu Inten Dewi, puteri Prabu Surawisesa Ratu Sanghiang, Ratu Aji di Pakuan, keturunan Sri Baduga Maharaja, yakni Maharaja Pajajaran yang gugur dalam peristiwa Bubat. Oleh Prabu Surawisesa, mertuanya, Ki Danusela diangkat sebagai kuwu di Caruban dengan tugas utama memantau Kerajaan Galuh yang merupakan bawahan dari Kerajaan Pajajaran."
Dalam menjalankan tugas sebagai kuwu, Ki Danusela dibantu oleh seorang pangraksabhumi, pejabat yang mengurusi pertanian dan perikanan, beragama Islam yang bernama Ki Samadullah. Ki Samadullah yang memiliki nama asal Raden Walangsungsang masih langsung keturunan Raja Galuh. Ayahandanya adalah Raden Pamanah Rasa, putera Prabu Anggalarang, Raja Galuh. Ibundanya bernama Nyi Subanglarang, puteri Ki Gedeng Tapa, Mangkubumi Singapura, yang tidak lain dan tidak bukan adalah adik Prabu Anggalarang. Pernikahan antara Raden Pemanah Rasa dan Nyi Subanglarang ini melahirkan Raden Walangsungsang, Nyi Rara Santang, dan Raden Sangara.
Nasib buruk menimpa Raden Walangsungsang dan adik-adiknya saat mereka menginjak dewasa. Tiba-tiba ibunda mereka terkena pageblug dan meninggal dunia. Raden Walangsungsang dan adik-adiknya kemudian meninggalkan istana Galuh dan menetap di rumah seorang pengikut Budha bernama Ki Gedeng Danuwarsih. Dia kemudian diambil menantu oleh Ki Gedeng Danuwarsih, dikawinkan dengan Nyi Indang Geulis, puterinya.
Melalui Ki Gedeng Danuwarsih, yang tidak lain dan tidak bukan adalah sahabat Ki Danusela, Raden Walangsungsang bekerja di Pakuwuan Caruban. Bahkan la diberi kepercayaan besar menduduki jabatan pangraksabhumi menggantikan Ki Danusela. Melalui Raden Walangsungsang inilah Ki Danusela mengetahui perkembangan Kerajaan Galuh, di mana kesetiaan kerajaan itu terhadap Pajajaran masih sangat kuat. Melalui Raden Walangsungsang juga Ki Danusela mengetahui perkembangan agama Islam di pesisir utara Jawa, terutama di Dermayu.
Selama menjabat sebagai pangraksabhumi, Raden Walangsungsang berkenalan dengan Syaikh Datuk Sholeh dan Syaikh Datuk Kahfi. la kemudian berguru agama Islam kepada Syaikh Datuk Kahfi. Setelah mengetahui keluasan ilmu gurunya, ia memohon agar Syaikh Datuk Kahfi membuka sebuah padepokan untuk mendidik masyarakat.
Atas upaya Raden Walangsungsang, kakeknya, Ki Gedeng Tapa, memberikan sebidang tanah di lereng gunung Sembung kepada Syaikh Datuk Kahfi sebagai shima (pendidik), yang bebas pajak. Di tanah itulah Syaikh Datuk Kahfi membangun padepokan yang kemudian dikenal dengan nama Giri Amparan Jati (Gunung Tempat Menggelar Kebenaran). Syaikh Datuk Kahfi sendiri kemudian memberi nama baru untuk Raden Walangsungsang, yakni Samadullah. Dan sejak itu, orang mengenal pangraksabhumi Caruban dengan nama Ki Samadullah.
Meski berbeda agama, antara Ki Danusela dan Ki Samadullah terjalin kecocokan terutama tentang hal-hal yang bersifat ruhani. Mereka sering terlihat berdua di pendapa sepanjang malam membahas pengalaman ruhani masing-masing. Bahkan sebuah kitab rontal milik Ki Danusela warisan Maharaja Majapahit yang dikenal dengan nama Catur Viphala, mereka jadikan bahasan mendalam.
Hubungan Ki Samadullah, Syaikh Datuk Sholeh, Syaikh Datuk Kahfi, dan Ki Danusela berlangsung sangat akrab. Itu sebabnya, ketika Syaikh Datuk Sholeh wafat terkena pageblug, Ki Danusela yang belum dikaruniai putera itu meminta agar diperkenankan mengangkat bayi yatim yang ada di dalam kandungan istri Syaikh Datuk Sholeh. Baik Syaikh Datuk Kahfi maupun Ki Samadullah tidak keberatan, meski mereka tahu Ki Danusela beragama Hindu-Budha. Begitulah, putera Syaikh Datuk Sholeh diangkat anak oleh Ki Danusela. Bahkan atas dasar mimpinya yang menakjubkan, Ki Danusela kemudian menamakan bayi itu San Ali.
Merasa prihatin dengan nasib bayi San Ali, Ki Samadullah diam-diam ikut mengasuh dan mengamati perkembangannya dengan penuh kasih sayang. Apalagi Ki Samadullah juga belum dikaruniai putera. Namun, belum lama San Ali merasakan belaian kasih ibunda kandungnya, tiba-tiba ia harus ditinggal pergi selama-lamanya. Ketika itu usia San Ali menginjak tiga bulan, ibundanya secara mendadak tertular pageblug yang sedang melanda tlatah Caruban. Lantaran peristiwa menyedihkan itu, Ki Samadullah dan istri menumpah-kan seluruh kasih dan sayang mereka kepada bayi San Ali yang kini yatim piatu.

Perisriwa menyedihkan yang menimpa San Ali berkembang menjadi fitnah keji yang membahayakan keselamatan jiwa bayi tanpa dosa itu. Ceritanya, beberapa saat setelah ibundanya meninggal, tersebar berita bahwa bayi berusia tiga bulan itu adalah pangkal dan malapetaka yang bakal menimpa Kuwu Caruban.
Bayi itu harus disingkirkan jauh-jauh dari pakuwuan sebelum malapetaka yang ditimbulkannya meluas ke mana-mana. Tanda bahwa bayi itu berbahaya adalah kematian kedua orang tuanya dan meluasnya pageblug di tlitah Caruban.
Akibat fitnah yang sangat kuat itu, Ki Danusela sempat terpengaruh. Itu sebabnya, ia membicarakan masalah itu dengan Ki Samadullah sebelum menyampaikannya kepada Syaikh Datuk Kahfi. Ki Samadullah tentu saja terkejut dengan berita bersifat fitnah itu. Lantaran itu, ia dengan terpaksa mengungkapkan ramalan rahasia gurunya, Syaikh Datuk Kahfi, tentang kemuliaan yang bakal diraih putera Ki Danusela itu. "Menurut guru saya, putera Tuan bakal menjadi salah seorang waliyullah yang mulia sepanjang jaman. Karena itu, Tuan, saya menilai wajar jika sejak kecil ia sudah yatim piatu sebab Kanjeng Nabi Muhammad pun sejak kecil mengalami nasib demikian," ujar Ki Samadullah.
Ki Danusela sangat percaya kepada Ki Samadulah dan terutama kepada adik iparnya, Syaikh Datuk Kahfi, sehingga setiap fitnah keji yang dialamatkan kepada San Ali terhalau. Bahkan atas saran Ki Samadullah, Ki dan Nyi Danusela merelakan putera sulung mereka yang ketika itu berusia lima tahun dikirim ke Padepokan Giri Amparan Jati untuk dididik ilmu pengetahuan agama. Sebulan sekali, Ki Danusela bergantian dengan Ki Samadullah menjenguk San Ali, melimpahkan kasih dan sayang kepada bocah itu.
Apa yang dikemukakan Ki Samadullah berkenaan dengan ramalan Syaikh Datuk Kahfi ternyata terbukti. Ini setidaknya terlihat betapa dalam waktu singkat San Ali sudah dikenal di padepokan sebagai santri yang paling cerdas dan sangat disayang! Syaikh Datuk Kahfi. Berbagai pelajaran agama dengan cepat diselesaikan-nya menandingi santri-santri kin. Bahkan berbagai persoalan yang diajukan San Ali kepada guru agungnya dalam setiap akhir pengembaraannya selalu menambah wawasan baru bagi warga padepokan, terutama bagi Syaikh Datuk Kahfi.
Warga padepokan tidak lagi menilai warga di luar kelompok mereka—terutama yang beragama Hindu-Budha sebagai golongan kafir yang najis. Syaikh Datuk Kahfi yang semula memandang bahwa umat yang menyembah Gusti Allah hanya Islam, telah mengubah pandangan bahwa Segala ciptaan di alam semesta ini pada hakikatnya menyembah Gusti Allah dengan nama dan tata cara berbeda. Seluruh umat manusia, malaikat, hewan, tetumbuhan, jin, setan, dan bahkan Iblis: semua-nya adalah penyembah Gusti Allah, meski harus diakui bahwa Islamlah satu-satunya agama yang paling sempurna di dalam pengaturan tata cara menyembah Gusti Allah dan tata kehidupan manusia. Dan semua perubahan itu terjadi setelah San Ali dan Syaikh Datuk Kahfi berbincang membahas berbagai persoalan hidup.
Selama menuntut ilmu di Padepokan Giri Amparan Jati, San Ali dikenal juga piawai dalam pencak silat, olah kanuragan, dan menyanyikan tembang-tembang Pepujian. Malahan ia sering terlibat perdebatan dengan guru agungnya tentang berbagai masalah, terutama dalam pelajaran manthiq dan ilmu kalam. Sementara dalam hal tauhid dan olah batiniah, keduanya seperti memiliki kesamaan cita rasa. Boleh jadi lantaran itu ia sering terlihat mengikuti Syaikh Datuk Kahfi melakukan iktikaf untuk mengamalkan aurad dengan mengerjakan dzikrullah, tafakkur, ta 'ammul, dan tahannuts.
Seiring dengan perubahan waktu yang mengantar-nya ke alam kedewasaan, terjadi perubahan sikap dan perilaku San Ali. Selama waktu luang seusal zhuhur, ia sering terlihat merenung seorang diri di bawah pohon Kelapa hingga matahari condong ke barat dan beduk asyar mulai ditabuh orang. Entah apa yang dirasakan-nya saat itu. la merasa kegelisahan menerkam jiwanya sehingga membuatnya betah berlama-lama menenangkan diri. la seolah-olah telah melupakan keriangan yang selama ini direguknya di padepokan atau saat berkeliling keluar masuk hutan.
Syaikh Datuk Kahfi rupanya memahami benar perkembangan murid terkasihnya itu. Dia menangkap sasmita bahwa muridnya itu bakal menjadi guru agung yang jauh melebihi kebesaran dirinya. Murid yang sekaligus saudara sepupunya itu, dalam pandangannya, adalah samudera pengetahuan yang sedang menuju pasang kemasyhuran jati dirinya. Lantaran itu, seluruh ilmu pengetahuan yang dimilikinya sudah diniatkan akan dilimpahkan kepada San Ali tanpa sisa. Dan San Ali sendiri bagaikan musafir menenggak air laut, yang semakin kehausan setiap kali menghirup pengetahuan dari gurunya.
Sebagai guru agung, Syaikh Datuk Kahfi mengetahui secara gaib bahwa San Ali tidak akan menjadi manusia kebanyakan seperti murid yang lain. Kalaupun San Ali akan menjadi kuwu menggantikan kedudukan orang tuanya maka ia tidak akan menjadi kuwu biasa. Ia akan membawa perubahan besar bagi zaman-nya. Namun, diam-diam Syaikh Datuk Kahfi mendapat firasat bahwa San Ali yang dikasihinya itu tidak akan menjadi penguasa duniawi. la akan menjadi guru agung termasyhur: penuntun manusia ke jalan Ilahi!
Sebagai orang yang telah kenyang memakan pahit dan getir kehidupan, Syaikh Datuk Kahfi merasakan suatu kemestian dan derita pedih yang bakal dialami muridnya. San Ali akan menduduki derajat ruhani sangat tinggi di zamannya. Syaikh Datuk Kahfi diam-diam mendoakan agar muridnya itu senantiasa tabah dan tawakal menghadapi ujian Ilahi, karena telah termaktub di dalam dalil bahwa siapa yang berderajat ruhani tinggi maka hidupnya akan senantiasa diterpa ujian berat berupa kebalakan sebagaimana hal itu dialami para nabi dan wali.
Tentang kemestian kehidupan pedih yang bakal dilewati San Ali, Syaikh Datuk Kahfi diam-diam telah menguraikannya kepada Ki Samadullah dalam suatu Pertemuan rahasia di Masjid Giri Amparan Jari. Dengan penuh harap, dia meminta agar Ki Samadullah dengan sukacita menjadi pembela dalam persoalan apa saja yang berkenaan dengan lingkaran nasib yang bakal menjerat San Ali. Dengan hati diliputi keprihatinan, Syaikh Datuk Kahfi menjelaskan nasib pedih yang bakal dialami San Ali. "Jagalah rahasia Allah ini! Jangan sekali-kali ada yang mengetahuinya, termasuk San Ali," ujarnya mewanti-wanti.
Sebagai murid yang patuh dan setia, dengan sepenuh jiwa Ki Samadullah menyanggupi permintaan gurunya. "Saya akan senantiasa mematuhi amanat Yang Mulia. Saya akan melakukan yang terbaik yang bisa saya lakukan bagi San Ali, buah hati saya."
Sejak peristiwa larut malam di Masjid Giri Amparan Jati itu, kecintaan Ki Samadullah kepada anak asuhnya makin kuat berurat dan berakar. Bagaikan induk harimau melindungi anaknya, begitulah Ki Samadullah memperlakukan San Ali. Ke mana pun San Ali berada, dia seklu berusaha mengetahui dan mendampinginya. Itu sebabnya, dia tak jarang terlihat menemani San Ali berkeliling ke desa-desa di sekitar gunung Sembung, keluar dan masuk hutan. Bahkan karena begitu seringnya mendampingi San Ali, Ki Samadullah menjadi sangat dikenal masyarakat sebagai petinggi Kerajaan Galuh yang dermawan dan mencintai rakyat, karena selama bersama San Ali, dia acap kali mengulurkan bantuan kepada mereka yang membutuhkan.
San Ali tampaknya merasakan perubahan sikap ayahanda asuh tercintanya itu la juga merasakan perubahan sikap dari guru agungnya Bahkan sikap ayahanda dan ibundanya. Dan ujung dan perasaannya itu, ia merasa tidak bahagia dengan itu semua. la menangkap sasmita bahwa kecintaan orang-orang di sekitar-nya terhadap dirinya, tentu ada batasnya. Cinta mereka bukanlah cinta sejati yang abadi sepanjang masa.
Saat usianya masuk sembilan belas tahun, San Ali bertambah sering terlihat duduk termenung di bawah pohon Kelapa yang tumbuh rindang di tepi sungai. Lewat derasnya arus sungai, ia menangkap kenyataan bahwa aliran air yang terus-menerus itu akan mengalir menuju muara hingga ke samudera raya. Lewat gemerlap cahaya matahari, ia menyaksikan betapa sinar dunia itu bergerak dari timur ke barat sepanjang waktu seolah masuk ke sarangnya di dunia bawah. Bahkan saat menyaksikan warga desa di sekitar padepokan meninggal dunia, ia menyadari adanya aliran kehidupan manusia, seperti gerakan air dan matahari menuju ke arah tertentu: pusat dari segala sesuatu.
Selama merenung, ia menyadari bahwa pada hakikatnya segala apa yang tergelar di alam semesta ini adalah perwujudan dari 'aku'. Air sungai, matahari, pepohonan, bebatuan, awan-gumawan, langit, gunung-gemunung, hewan, manusia, dan seluruh isi jagad raya ini memiliki 'aku' masing-masing. Andalkata matahari bisa bicara maka dia akan berkata: aku matahari. Begitu juga dengan seluruh isi jagad raya, pasti akan me-ngatakan 'aku' ini dan 'aku' itu. Dan 'aku' masing-masing itu, pikir San Ali, pastilah memiliki pusat 'Aku' semesta dari mana 'aku' masing-masing itu berasal dan ke mana 'aku' masing-masing itu kembali.
Selama ini ia telah diajarkan bagaimana melakukan penyembahan kepada Gusti Allah, Pencipta alam semesta, Pangkal kejadian segala. Atau tentang surga yang diperuntukkan bagi orang-orang saleh yang menyembah dan mengikuti peraturan agama yang diturunkan Gusti Allah. la juga telah diajarkan tentang neraka yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir yang mengabaikan ajaran agama. la belajar berbagai masalah kehidupan beragama yang membawa seseorang sebagai Muslim sejati, yakni mereka yang berbaris beriringan bersama-sama dengan orang-orang takwa yang dicintai Allah menuju surga tempat kenikmatan dan kelezatan abadi.
Kesadaran San Ali tentang hakikat 'aku' pribadi dan 'Aku' semesta itu telah membawanya ke suatu hamparan kegamangan luar biasa dalam memaknai hidup. Jika sebelumnya, seperti murid-murid padepokan yang lain, ia memiliki harapan besar untuk bisa menjadi penghuni surga yang penuh kenikmatan maka kini ia merasakan harapannya itu sebagai kebenaran mutlak. Bukankah surga pada hakikatnya adalah 'aku' pribadi— dan bukan 'Aku' semesta yang menjadi sumber segala 'aku'? Bukankah 'aku'-ku akan menyatu dengan 'aku' surga jika harapanku memang ke sana? Bukankah agama mengajarkan intisari hakikat inna li Allahi wa inna ilaihi rajiun, yang bermakna sesungguhnya semua 'aku' berasal dari 'Aku', dan semua 'aku' akan kembali ke 'Aku' sebagai asal segala 'aku'.
Dengan kesadaran itu San Ali mulai merasakan kegelisahan mencekam jiwanya. la mulai mempertanyakan segala perilaku ibadah yang telah dijalankan-nya selama ini. Gusti Allah yang bagaimana yang ia sembah selama ini? Apakah ketundukan 'aku'-nya di dalam sembahyang benar-benar perwujudan dari ketundukan 'aku' terhadap 'Aku'? Bukankah sampai saat ini ia belum menemukan hakikat dari 'aku' pribadi-nya? Di manakah 'aku' pribadiku berada? Di mana 'aku' pribadiku bisa ditemukan? Apakah 'aku'-ku ber-sembunyi di kedalaman hati, jantung, paru-paru, aliran darah, sumsum, atau otak? Tidak satu pun pelajaran yang diterimanya dari Syaikh Datuk Kahfi memberikan penjelasan yang memuaskan tentang semua pertanyaan ini. Dan San Ali mendapati kenyataan yang makin membuatnya gamang: "Jika keberadaan 'aku' pribadiku saja belum kuketahui hakikatnya, bagaimana mungkin aku mengetahui hakikat 'Aku' semesta? Dan jika hakikat 'Aku' semesta belum kuketahui, bagaimana 'aku' bisa sampai kepada-Nya?"
Setelah belajar selama-lima belas tahun, datanglah saat ia harus meninggalkan padepokan untuk menguji segala ilmu pengetahuan yang telah ia miliki di tengah gelanggang kehidupan dunia. San Ali pergi dengan berbekal petuah Syaikh Datuk Kahfi agar selalu mengikatkan diri pada tali Ilahi intisari hakiki dari 'Aku' semesta yang menjadi pusat semua 'aku' pribadi di mana pun ia berada. Dan intisari dari ikatan tali Illahi itu adalah suatu keyakinan yang menandaskan bahwa 'Aku' semesta itulah pangkal segala: engkau akan mengenal Dia karena Dia! Engkau tahu Dia karena Dia!.
Kepergian San Ali dan padepokan adalah bagian dan pencarian sejati dari hakikat 'aku' yang bermuara ke 'Aku'. Sebab, bagi 'harimau' seperti San Ali dibutuhkan rimba raya yang lebih luas untuk menemukan sarangnya yang sejati. Bagi Syaikh Datuk Kahfi, ke-pergian San Ali merupakan bagian dari ujian menunaikan tekad untuk mencari hakikat sejati 'Aku' yang menurut para pencari-Nya dilingkari tujuh samudera, tujuh lembah, tujuh gunung, tujuh jurang, tujuh gurun, tujuh rimba, dan tujuh benteng yang dipenuhi pasukan penghalang berkekuatan mahadahsyat. Hanya dia yang berjiwa ksatria dan benar-benar berjuang keras menuju 'Aku' yang akan sampai kepada-Nya.
Perjalanan San Ali mencari 'Aku' sebagai sangkan paran (asal usul) segala 'aku' pada dasarnya merupakan hal aneh bagi seumumnya manusia lumrah. Sebab, manusia umumnya mencari kemuliaan dan kenikmatan hidup berupa harta kekayaan, pangkat tinggi, derajat kehormatan, kekuasaan, atau kenikmatan perempuan. Bahkan bagi sebagian orang yang mengaku beriman dan beramal saleh, yang lazim diburu adalah kenikmatan ukhrawi, seperti surga yang penuh bidadari jelita, makanan lezat, susu, madu, hawa sejuk, dan kenikmatan lain. Jadi, perjalanan San Ali adalah pencarian luar biasa dahsyat yang tak menjanjikan apa-apa kecuali kembali kepada Asal Usul kejadian yang tak bisa dibayang-bayangkan, dibanding-bandingkan, dan disetarakan dengan sesuatu.
Perjalanan mencari 'Aku' pada dasarnya gampang diucapkan, namun sulit diamalkan. Sebab, 'Aku' yang dikenal San Ali dengan nama Allah bukanlah 'Aku' statis yang membiarkan diri-Nya gampang ditemukan apalagi dijamah 'aku' ciptaan-Nya. Dia menggelar bermacam-macam hijab dan berlapis-lapis tirai penghalang untuk menguji tekad dan semangat 'aku' dalam menuju 'Aku'. Semakin dekat 'aku' kepada 'Aku' maka ujian pun makin luar biasa dahsyat hingga pada satu titik di mana 'aku' tidak melihat 'aku' yang lain kecuali 'Aku'.
Rintangan awal dan perjalanan San All mencari 'Aku' dibentangkan sejak ia melangkahkan kaki keluar dari Padepokan Giri Amparan Jati menuju Pakuwuan Caruban, tempat ayahanda dan ibundanya. Tujuannya ke Pakuwuan Caruban ini adalah atas perintah Syaikh Datuk Kahfi, untuk memohon doa dan restu dari ayahandanya, ibundanya, serta Ki Samadullah dan istrinya sebelum pengembaraan batiniahnya dimulai. Namun, justru di di sanalah rintangan berat dimulai dalam bentuk tragedi yang menimpa orang-orang yang dicintai-nya.
Saat tiba di pakuwuan yang dijumpainya hanya Resi Bungsu, adik ibundanya, yang selama bertahun-tahun menjadi penasihat ayahandanya. Rsi Bungsu ternyata telah menggantikan kedudukan Ki Danusela sebagai Kuwu Caruban. Kenyataan itu, tentu sangat rnengejutkan San Ali. la merasakan dirinya seperti disambar petir di siang hari.
Menurut penjelasan Rsi Bungsu, Ki Danusela telah wafat diterkam harimau saat berburu kijang di hutan Kawali sekitar tiga pekan silam. Sementara nasib Nyi Ratu Inten Dewi, ibunda San Ali, hingga kini tak diketahui. Sejak kematian suaminya, Nyi Ratu Inten menjadi hilang ingatan. Suatu malam dia pergi dan tidak diketahui di mana rimbanya.
Selama bertahun-tahun hidup di padepokan, ia selalu diterkam kerinduan ingin hidup bersama kedua orang tuanya. Namun, kini mereka telah tiada. Kenyataan pahit itu sulit diterima San Ali. Jiwanya sangat terpukul. Itu sebabnya, dengan gencar dan terkesan menuduh ia mempertanyakan perubahan keadaan itu kepada Rsi Bungsu.
Kenapa kematian ayahandanya tidak diberitakan ke padepokan? Benarkah ibundanya hilang akal dan lari meninggalkan pakuwuan setelah kematian ayahandanya? "Saya khawatir, jangan-jangan semua ini adalah akal bulus Pamanda belaka."
"Apa maksudmu, o Kemenakanku tercinta?" ujar Rsi Bungsu dengan muka merah padam menunjukkan kobaran api amarah.
"Apakah saya salah jika menaruh syak wasangka bahwa ayahanda saya meninggal dunia karena upaya pembunuhan? Dan apakah saya salah jikalau menaruh curiga bahwa ibunda saya telah secara sengaja disingkirkan dari pakuwuan dengan tuduhan hilang akal? Dan ujung dari semua itu, salahkah jika saya mencurigai orang yang sekarang menduduki kursi Kuwu Caruban?" sergah San Ali dengan suara ditekan keras,
"Lancang mulutmu, San Ali," bentak Rsi Bungsu dengan suara menggelegar. "Sungguh aku tidak pernah menduga, murid terkasih Syaikh Datuk Kahfi memiliki mulut selancang dan sekejam dirimu. Tuduhanmu sangat menyakitkan karena tanpa dasar apa pun. Dan ketahuilah, o Kemenakanku, jika saat ini aku berkenan, akan kusuruh punggawa pakuwuan untuk menangkap dan membunuhmu yang telah berbuat tidak tahu tata krama di hadapan Yang Dipertuan Caruban. Tidakkah engkau tahu bahwa aku adalah putera bungsu Prabu Surawisesa Ratu Sanghiang? Tidak tahukah engkau bahwa saudara tuaku, Prabu Ratu Dewata, Ratu Aji di Pakuan, adalah maharaja di Pajajaran?"
"Saya akan sukacita jika Pamanda membunuhku sekarang," tantang San Ali dengan mata berkilat-kilat.
"Ketahuilah, o San Ali," tukas Rsi Bungsu menahan amarah, "sebagai seorang paman, aku akan memaafkan perilaku burukmu yang melanggar tata krama itu. Aku tidak akan memerintahkan punggawa untuk menangkap dan membunuhmu. Namun, sebagai Kuwu Caruban, adik Maharaja Pajajaran, perbuatanmu itu wajib dihukum agar tidak ditiru oleh kerabat pakuwuan dan kawula alit yang lain."
"Pamanda akan memenjarakan saya?" tanya San Ali mengernyitkan dahi.
"Hal itu tidak akan terjadi," kata Rsi Bungsu datar, "sebab jika engkau dijatuhi hukuman penjara maka orang-orang akan membenarkan tuduhanmu yang keji itu. Untuk kesalahanmu itu, o San Ali, aku selaku Kuwu Caruban yang mewakili Maharaja Pajajaran, menyatakan bahwa sejak saat ini engkau telah dianggap bukan lagi bagian dari keluarga pakuwuan, apalagi keturuan Ramanda Prabu Surawisesa. San Ali tidak berhak lagi menyandang gelar kebangsawanan. San Ali sudah menjadi kawula alit dari kaum sudra papa yang tidak memiliki martabat dan derajat apa pun di bumi Pajajaran ini."
Mendengar keputusan Rsi Bungsu, San Ali berdiri dengan gagah dan tertawa lepas seolah tidak terpengaruh sedikit pun dengan keputusan pamannya. "Sekalipun kini saya telah menjadi kawula alit, di dalam darah saya tetap mengalir darah yang sama dengan darah Ki Danusela, Kuwu Caruban, yang mengalirkan darah raja-raja Majapahit. Darah saya sama dengan darah ibunda-ku, Nyi Ratu Inten Dewi, darah Pajajaran yang juga mengalir di darahmu, Paman. Karena itu, o Pamanda Bungsu, sekalipun kini engkau tidak mau mengakui aku sebagai kemenakanmu, aku tetap menganggapmu sebagai pamanku karena di dalam tubuh kita mengalir darah yang sama. Dan ketahuilah, o Pamanda, bahwa dengan kekuasaanmu sekarang, engkau dapat mengangkat seratus ekor kera dengan gelar-gelar kebangsawanan. Namun, apa pun gelar yang engkau berikan, mereka tetaplah hewan karena darah, daging, dan tulang mereka adalah hewan."
"Ketahuilah, o Pamanda tercinta," lanjutnya, "kehadiran saya di pakuwuan mi sebenarnya hanya ingin memohon doa restu dan ayahanda dan ibunda karena saya akan mengemban tugas dari guru agung untuk menjalankan dharma kehidupan saya. Sedikitpun saya tidak pernah berpikir tentang kekuasaan duniawi apa-lagi jabatan kuwu di Caruban ini. Karena itu, o Pa-manda, engkau tidak perlu khawatir jikalau saya akan menggalang kekuatan untuk merebut kekuasaan dari tanganmu. "Ucapan San Ali benar-benar menusuk perasaan Rsi Bungsu. Itu sebabnya, dengan suara penuh amarah dia menyerang dengan kata-kata menyakitkan, "Ketahuilah, o San Ali, bahwa sejarinya engkau tidak memiliki hak untuk berbicara tentang darah Majapahit yang mengalir di tubuh Kakanda Danusela apalagi darah Pajajaran dari Kakanda Nyi Ratu Inten Dewi, Ketahuilah, o Anak, bahwa engkau bukanlah keturunan mereka. Karena, orang yang menjadi ayahandamu adalah orang asing keturunan Melayu-Jambudwipa yang bernama Syaikh Datuk Sholeh yang mati diganyang pageblug. Begitu juga orang yang menjadi ibunda kandungmu. Jadi, San Ali, tidak ada darah Majapahit apalagi darah Pajajaran di tubuhmu. Cukup adil jika aku melarangmu menggunakan gelar kebangsawanan karena sejatinya engkau memang bukan berasal dari kalangan yang demikian."
San Ali merasakan kepalanya bagai disambar petir. la tercengang demi mendengar uraian Rsi Bungsu. Ia benar-benar kebingungan. Tubuhnya tiba-tiba terasa dingin. Benarkah ia bukan anak kandung Ki Danusela? Kenapa selama ini tidak ada yang membicarakan persoalan itu? Benarkah ayahandanya orang asing keturunan Melayu-Jambudwipa bernama Datuk Sholeh? Benarkah ayahanda dan ibunda kandungnya telah meninggal terkena pageblug? Kenapa guru agung tidak pernah menceritakan hal itu?
Dengan benak digumpali tanda tanya berjejal-jejal dan hati penasaran, San Ali dengan langkah limbung meninggalkan pendapa pakuwuan. Seluruh kebanggaannya sebagai putera Kuwu Caruban hancur binasa. la merasakan bumi tempatnya berpijak terhempas ke bawah. la tidak memiliki apa-apa lagi: kehormatan hidup, kebanggaan darah biru, orang tua kandung, dan bahkan orang tua angkat yang mencintamya. San Ali benar-benar merasakan 'aku'-nya terasing sendiri: hina dan papa!.


Meninggalkan Orang-Orang Tercinta 
DI BAWAH cahaya rembulan yang bersinar separo ditutupi gumpalan awan di langit yang menghampar di angkasa pantai Muara Jati, di utara Caruban, San Ali berjalan di antara rimbunan hutan.
Tak jauh di belakang-nya dalam jarak sekitar lima puluh tombak sekitar seratus orang dengan senjata tombak, pedang, kelewang, dan kujang bergerak membanyanginya. Mereka bagai kawanan serigala mengintai mangsa.
Ketika ia berada di dekat rimbunan bakau, tiba-tiba salah seorang dari gerombolan yang mengikuti itu melompat keluar sambil menghardik, "Berhentilah kau,  Ki Sanak! Berani benar kau melewati daerah kekuasaanku? Apa kau belum kenal siapa aku?" San Ali yang sejak semula merasakan langkahnya diikuti sekumpulan orang segera menyergah dengan tegas, "Aku tahu siapa kalian! Bukankah kalian prajurit Pakuwuan Caruban yang diperintahkan Pamanda Rsi Bungsu untuk membunuhku?"
"Lancang sekali mulutmu, Ki Sanak!"

"Sudahlah Ki Sanak, tidak usah bersandiwara di depanku," ujar San Ali tenang, "sebagai putera ibunda Nyi Ratu Inten Dewi dan cucu Prabu Surawisesa, Ratu Aji di Pakuan, aku tahu persis watak dari Pamanda Rsi Bungsu yang licik."

Mendengar bahwa San Ali adalah putera Nyi Ratu Inten Dewi, istri Ki Danusela, mantan junjungannya, orang itu tercengang kebingungan. Dia seperti baru sadar bahwa pemuda di depannya itu adalah San Ali.

Namun, sebelum sempat dia berpikir lebih lanjut, tiba-tiba terdengar hiruk pikuk dari sekeliling hutan bakau yang diikuti oleh menghamburnya orang-orang bersenjata yang dengan beringas dan bertenak-teriak menyerbu San Ali.
"Bunuh!"
"Cincang!"
"Habisi!"
Bagaikan kawanan serigala menyerang seekot domba, begitulah gerombolan bersenjata itu menyerbu dengan beringas. Namun, sebagai santri yang bertahun-tahun dilatih pencak silat dan berbagai ilmu kanuragan, San Ali tidak gentar menghadapi serangan itu. la dengan tenang menyapukan pandangan ke arah utara, ke rerimbunan hutan bakau. Dengan gerakan seolah melarikan diri dari lawan, ia melompat kanan kiri dengan cepat meninggalkan orang-orang yang memburunya.
Dengan berlari cepat, San Ali telah membagi kekuatan lawan sedemikian rupa. Hanya mereka yang kuat tenaga dan cepat kakinya yang bisa mendekatinya. Siasat San Ali ini mengena. Para pemburu beriringan mengejarnya. Ketika ada yang berhasil mendekat, serta merta ia memperlambat laju larinya. Dan saat jarak me­reka tinggal satu tombak, tiba-tiba ia berbalik sambil menyabetkan kakinya ke bawah dengan gerakan setengah lingkaran.
Desh! Blukk!
Sabetan kaki San Ali dengan telak menghantam kaki lawan. Dan tanpa ampun lagi, lawan yang terserimpung kakinya itu tumbang ke atas tanah. San Ali cepat bergerak lagi menjauh. Pada saat berurutan, para pemburu yang berlari cepat di belakang tak sempat menghentikan langkah saat mengetahui kawan di de­pannya tersungkur mendadak. Dan peristiwa menakjubkan pun terjadi, orang-orang yang berlomba memburu San Ali bergantian jatuh karena tersandung tubuh temannya yang tersungkur lebih dulu. Disertai sumpah serapah, mereka yang bertumpang tindih itu memaki maki San Ali dengan penuh amarah. Namun, sebelum mereka dapat berbuat sesuatu tiba-tiba San Ali melompat ke arah mereka. Kemudian dengan pukulan dan tendangan yang mantap, satu demi satu para pemburu yang bergelimpangan itu dihajarnya.
Gerak cepat San Ali dalam melumpuhkan lawan itu tidak berlangsung lama, sebab para pemburu lain sudah dekat jaraknya. Dengan gerakan secepat kijang ia melompat dan mengambil langkah seribu meninggalkan lawan-lawan yang terus mengejarnya. Tadinya ia sempat meragukan kemampuannya untuk mengalahkan lawan yang jumlahnya sekitar seratus orang. Namun, dengan keyakinan bahwa Allah akan senanriasa menolong hamba-Nya, ia terus berusaha melumpuhkan lawan dengan cara mengajaknya lari berputar-putar di sekitar pepohonan bakau. Lawan yang jaraknya dekat langsung dihantam dan ditinggal lagi, begitu seterusnya.
Taktik lari dan pukul itu membuat tenaganya terkuras. Sementara lawan-lawannya meski kelihatan letih dan babak-belur, jumlah mereka tak berkurang. Bahkan seperti tak ada habis-habisnya. Saat San Ali benar-benar kewalahan menghadapi serangan lawan, sambil mengamuk dengan gerakan-gerakan yang mulai kurang terarah, ia mengeluh dan memasrahkan hidupnya kepada 'Aku' semesta yang diyakini sebagai asal 'aku' pribadi-nya. "Ya Allah, jika Engkau menghendaki 'aku' kembali kepada-Mu sekarang, kupasrahkan 'aku'-ku untuk kembali kepada 'Aku'-Mu."
Mendadak terdengar pekikan takbir yang diteriakkan puluhan orang. Di antara pekikan itu terdengar dentam kaki kuda menghentak-hentak bumi yang di-selingi jerit kesakitan dan pekik kematian di sana sini.
San Ali tercengang. la seperti bermimpi ketika menyaksikan puluhan orang berpakaian serba putih dengan menunggang kuda menyabetkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Dalam tempo singkat, ia melihat puluhan mayat bertumpuk-tumpuk di sekitarnya. Bahkan sekumpulan orang yang sedang mengepung dirinya tiba-tiba berhenti bergerak dan mendongak ke atas dengan wajah pucat. Kemudian bagaikan dikomando, para pengeroyok itu berhamburan ke arah utara menyelamatkan diri. Setelah suasana terkendali barulah San Ali mengetahui bahwa di antara para penunggang kuda itu terdapat ayahanda asuhnya, Ki Samadullah.
Rupanya, sejak berita kematian Ki Danusela sampai ke pakuwuan, Ki Samadullah menangkap gelagat kurang beres dari perilaku Rsi Bungsu. Itu sebabnya, dengan dalih menyusul Ki Danusela ke hutan Kawali, diam-diam dia membawa sekitar tiga puluh prajurit berkuda Pakuwuan Caruban. Alih-alih ke hutan Kawali, sebenarnya Ki Samadullah bersembunyi di kawasan gunung Sembung tak jauh dari Padepokan Giri Amparan Jati. Dari sanalah, dia memantau perkembangan pakuwuan yang sudah dikuasai oleh Rsi Bungsu.
Dari tempat persembunyiannya, Ki Samadullah mengirim utusan ke Kadipaten Demak untuk melaporkan kepada Adipati Demak, Arya Sumangsang, tentang nasib saudaranya tirinya, Ki Danusela. Arya Sumangsang, ketika menjadi penguasa Demak dengan gelar Abdul Fatah Surya Alam Sayidin Panatagama, kemudian mengirim adik tirinya seibu yang bemama Raden Kusen dengan membawa sekitar dua tatus orang prajurit Demak ke Catuban. Raden Kusen yang ibundanya seotang Cina Muslim itu dengan mudah menyusup ke pelabuhan Muara Jati melalui jasa saudagar-saudagar Cina. Bahkan tanpa menemui kesulitan, ia dan pasukannya berhasil masuk hingga ke gunung Sembung.
Malam itu, di bawah bayangan rembulan yang bersinar separo, San Ali melihat Ki Samadullah menunggang kuda coklat. Di sampingnya, seotang lelaki berwibawa duduk di atas punggung kuda hitam perkasa. Kilatan matanya tajam, menyiratkan kecerdasan, keberanian, dan keteguhan jiwa. Usianya sekitar tiga puluh lima tahun, sedikit lebih tua dari San Ali, namun ia kelihatan matang.
Begitu melihat anak asuh kesayangannya selamat tak kurang suatu apa, Ki Samadullah segera melompat turun dari kuda. Dengan mata berkaca-kaca diliputi keharuan, dia langsung mendekati San Ali dan mendekapnya erat-erat.
"Alhamdulillah," desah Ki Samadullah dengan ait mata bercucuran, "engkau tak kurang suatu apa pun Anakku. Aku yakin sekali Gusti Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang dikasihi-Nya celaka."
"Pamanda Samadullah," San Ali menarik napas berat, "ke mana saja Paman selama ini? Aku mencari-carimu di pakuwuan, namun tak ada yang tahu."
"Aku sengaja bersembunyi di gunung Sembung, Anakku. Sebab, aku mendapat firasat tidak baik berkenaan dengan pamanmu Rsi Bungsu, segera setelah kuperoleh berita bahwa ayahandamu meninggal akibat diserang harimau di hutan Kawali. Karena itu, tanpa sepengetahuan Rsi Bungsu, aku membawa tiga puluh prajurit keluar pakuwuan untuk bersembunyi, dengan harapan rentangan waktu akan membongkar kebusukan Rsi Bungsu.
"Dan sekarang Paman yakin bahwa Pamanda Rsi Bungsulah yang merancangnya semua bencana yang menimpa Pakuwuan Caruban ini?"
"Kenyataan menunjukkan demikian," sahut Ki Samadullah geram. "Lantaran itu, aku segera mengirim kurir ke Kadipaten Demak untuk melaporkan kejadian di pakuwuan kepada sang Adipati, yang tak lain adalah saudara ayahandamu. Beliau kemudian me­ngirim adik-nya, Raden Kusen, untuk membalas kematian ayahandamu dan menghukum Rsi Bungsu."
"Jadi?"
"Beliau inilah Raden Kusen, saudara ayahanda-mu," kata Ki Samadullah menunjuk ke penunggang kuda hitam, ke arah lelaki yang penuh wibawa itu.
"Salam takzim, Pamanda," kata San Ali menyalami dan mencium tangan lelaki itu.
"Engkaukah San Ali, putera Rakanda Danusela?" tanya Raden Kusen.
"Benar, Paman."
Raden Kusen menatap mata San Ali seolah hendak mengukur kekuatan jiwa putera dari saudara tirinya itu. Seperti mengukur benda, ia menyapukan pandangannya ke San Ali dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Dan sejenak sesudah itu ia menepuk-nepuk bahu San Ali sambil berkata, "Sebagai bahan dasar, mutumu sangat unggul, o Putera saudaraku. Tetapi untuk menjadi pusaka dahsyat, engkau masih perlu ditempa lebih keras lagi."
"Terima kasih, Paman," kata San Ali penuh hormat.
Raden Kusen membisikkan sesuatu ke telinga Ki Samadullah. Sesaat kemudian, Ki Samadullah mengajak San Ali meninggalkan lokasi.
"Pamanda," sergah San Ali, "tahukah Paman akan nasib ibundaku?"
"O Anakku, tambatan kesayanganku," kata Ki Samadullah sambil mengelus-elus rambut San Ali. "Sungguh malang nasibmu. Ibundamu hanya sempat tinggal sekitar sepekan bersama kami di gunung Sembung. Dia pergi begitu saja tanpa pamit. Ibunda­mu, Nyi Kuwu, hanya sempat mengatakan kepada istriku bahwa dia akan mencari ke mana pun ayahandamu berada, meski nantinya yang ditemukan hanya tulang berbalut tanah. Sekitar sepekan setelah kepergiannya, salah seorang prajuritku menemukan ibunda­mu sakit keras di pinggiran hutan Kawali.
Prajurit itu kemudian membawa ibundamu ke gu­nung Sembung. Rupanya perjalanan siang dan malam tanpa kenal hujan dan angin telah membuat ibundamu kehabisan tenaga. Setelah tinggal selama tiga hari, ibun­damu meninggal dan kami kebumikan di sana."
"Jadi, ibunda saya meninggal di gunung Sembung? Kenapa Paman tidak memberi tahu?" tanya San Ali penasaran.
"Sejak awal peristiwa, ibundamu melarang kami memberitahumu," kata Ki Samadullah menghela napas berat. "Kami semua tidak tahu alasan apa yang mem­buat Nyi Kuwu melarang kami. Kami hanya tahu bahwa beliau adalah puteri Prabu Surawisesa, Ratu Aji di Pakuan, yang segala perintahnya harus dipatuhi."
"Astaghfirullah!" desah San Ali lirih. Tanpa terasa dari kelopak matanya mengalir air bening. Terbayang di lipatan kenangannya tentang belaian kasih yang telah ia dapatkan dari ibundanya itu. Betapa sabar dan penuh kasih ibundanya itu sehingga belum pernah San Ali menyaksikannya marah atau bermasam muka. Bahkan andaikata benar pernyataan Rsi Bungsu bahwa wanita itu bukan ibunda kandungnya, tetaplah San Ali mencintai dan menghormatinya sepenuh jiwa karena sejak kecil yang ia kenal sebagai ibunda hanyalah Nyi Kuwu, Ratu Inten Dewi.
Melihat anak asuh yang dikasihinya tenggelam dalam kesedihan, Ki Samadullah merasakan hatinya pedih bagai mengalirkan darah. Selama ini, setiap dia mengunjungi San Ali, senantiasa yang dijumpainya adalah senyum dan tawa bahagia. Ketika mendampingi berkeliling desa dan keluar masuk hutan pun, dia senantiasa mendapari keceriaan mengitari kehidupan anak asuhnya itu. Kini, baru beberapa hari meninggalkan padepokan, anak itu telah terseret ke dalam lingkaran nasib memilukan sebagaimana pernah diramalkan Syaikh Datuk Kahfi.
Suasana hening melingkupi daerah Muara Jati. San Ali diam. Ki Samadullah diam. Raden Kusen diam. Semua diam. Hanya angin dingin bertiup menebarkan bau anyir darah yang mulai mengering di tanah. Dan setelah lama suasana hening itu berlangsung, Raden Kusen dengan suara penuh wibawa berkata, "Sekaranglah waktu yang paling tepat untuk menjatuhkan hukuman bagi Rsi Bungsu. Bagaimana, Ki Samadullah, apakah orang-orangmu sudah siaga?"
"Patik, Yang Mulia," kata Ki Samadullah, "sejak sore tadi, sekitar seratus orang santri dari Padepokan Giri Amparan Jati bersenjata lengkap telah patik siagakan di sekitar pakuwuan. Sekitar seratus orang pengikut Ki Gedeng Babadan juga sudah bersiaga. Dan sekitar tiga ratus orang pengikut patik dari Tegal Alang-Alang pun sudah mengitari pakuwuan sejak sore tadi."
"Bagus," kata Raden Kusen mantap. "Bagaimana dengan berita kehadiran pasukan Pajajaran yang akan mendukung kekuasaan Rsi Bungsu?"
"Patik, Yang Mulia," kata Ki Samadullah. "Berita dari telik sandhi yang patik kirim menyatakan bahwa Rsi Bungsu memang meminta bantuan ke Pakuan. Patik dengar Maharaja Pakuan, Prabu Ratu Dewata, mengirimkan seribu prajurit di bawah pimpinan perwira bernama Terong Peot."
"Berarti, kita harus secepatnya menyerang paku­wuan sebelum bala bantuan itu datang. Kalau sampai pasukan dari Pakuan datang, engkau bisa membayangkan bagaimana nasib Pakuwuan Caruban ini. Berita Yang kuperoleh dari pedagang-pedagang Cina yang berniaga di pelabuhan Kalapa mengatakan Rsi Bungsu sengaja membuat laporan palsu bahwa kematian Kuwu Caruban akibat dibunuh oleh orang-orang Islam atas suruhan Guru Agung Syaikh Datuk Kahfi. Rsi Bungsu memutar balik kenyataan. Dia menyebarkan berita bahwa kematian Kuwu Caruban dilatan maksud jahat orang-orang Islam yang ingin merebut kekuasaan dari orang-orang Pajajaran yang beragama Hindu-Budha," Raden Kusen memberi penjelasan.
"Sejahat itukah laporan Pamanda Bungsu kepada Uwak Prabu Ratu Dewata?" San Ali menyergah bagai tak percaya.
"Anakku, San Ali," kata Ki Samadullah sambil menepuk-nepuk bahu San Ali, "engkau belum mengetahui pahit dan getirnya kehidupan dunia. Engkau juga belum mengenal asinnya garam dan masamnya asam kekuasaan dunia. Tetapi jika engkau ingin tahu, demikianlah perilaku orang-orang yang mabuk kekuasaan."
"Ya Allah, tujuan utama hidupku," desah San Ali seolah kepada dirinya sendiri, "jauhkanlah hamba dan kejahatan nista seperti itu. Jangan Engkau palingkan hasrat hatiku kepada selain Engkau!"
"Semoga doa dan harapanmu terkabul, o Anak­ku," kata Ki Samadullah menarik napas dalam-dalam. "Sungguh mulia tujuan hidup yang hendak engkau raih' Semoga engkau menjadi salah satu dari 'san ali' yang bisa menjadi pengobat bagi mereka yang menderita, sebagaimana harapan ayahanda dan ibundamu."
"Jika demikian, Paman," sergah San Ali cepat, "marilah kita berangkat sekarang juga ke pakuwuan."

Malam berkabut menerkam bumi Caruban ketika barisan berkuda yang dipimpin Raden Kusen menerobos keheningan menuju ke pakuwuan yang sudah dikepung oleh sekitar seratus delapan puluh prajurit Demak, seratus santri Giri Amparan Jari, seratus pengikut Ki Gedeng Babadan, dan tiga ratus pengikut Ki Samadullah dari Tegal Alang-Alang.
Tak sedikit pun suara keluar dari rombongan berkuda itu, kecuali detak-detak ladam yang menghantam tanah berbatu. Gerakan pasukan yang dipimpin Raden Kusen benar-benar seperti siluman: tanpa suara, tetapi langsung menembus ke kediaman musuh.
Ketika barisan berkuda berjarak sekitar tiga pal dari pakuwuan, tiba-tiba Raden Kusen mengangkat tangan. Seperti digerakkan oleh satu komando, seluruh pasukan berkuda berhenti serentak. Sejenak kemudian, kuda hitam yang ditunggangi Raden Kusen melangkah beberapa depan kedepan. la menepuk-nepukkan tangan tiga kali.
Tepukan tangan Raden Kusen itu ternyata isyarat. ini terlihat dari munculnya pasukan berkuda Demak secara serentak dari kanan dan kiri jalan. Rupanya pasukan itu sengaja ditempatkan di sekitar pakuwuan untuk sewaktu-waktu melakukan serangan mendadak jika dibutuhkan. Tanpa menimbulkan suara berari, pasukan berkuda itu mengatur formasi dalam baisan-barisan berjajar tiga-tiga.
Beberapa jenak menunggu pasukannya merapikan barisan, Raden Kusen kemudian menepuk tangan lagi dua kali. Kali ini rupanya ia memerintahkan seorang prajurit untuk menyampaikan perintah menyeran kepada kepala-kepala kelompok
Yang sedang ngepung pakuwuan. Setelah menghormat, prajurit itu dengan gerk lincah berlari menembus kegelapan malam.
Raden Kusen kemudian melambaikan tangan, meminta Ki Samadullah yang berada di belakangnya mendekat Dengan suata tenang ia berkata pedahan, "Ini pelajaran penting yang wajib dialami calon pemimpin, Ki."Patik, Yang Mulia," sahut Ki Samadullah takzim.
"Maksudku, segera setelah kita menguasai pakuwuan, kita akan bergerak cepat ke Muara Jati lagi," kata Raden Kusen datar.
"Ke Muara Jati lagi, Yang Mulia?" gumam Ki Samadullah heran.
"Inilah yang kumaksud pelajaran penting, Ki, kata Raden Kusen. "Sebab, sore tadi telah kuperoleh berita dari saudagar-saudagar Cina bahwa perahu-perahu dari gelombang pertama yang memuat lima ratus prajurit Pajajaran telah terlihat di timur muara sungai Cimanuk ke arah Dermayu. Sedang perahu-perahu gelombang kedua sore tadi baru memasuki perairan Karawang. Jadi, bisa dipastikan kalau perahu-perahu dari gelombang pertama malam ini sudah masuk ke perairan Caruban. Aku memperkirakan meteka akan mendarat paling lambat subuh nanti. Berarti, saat pagi datang mereka sudah siap bergerak menyerang ke pakuwuan."

"Tapi, Yang Mulia," kata Ki Samadullah, "bukankah jumlah mereka yang datang malam ini hanya lima ratus? Bukankah jumlah pasukan Yang Mulia lebih banyak?"
"Ketahuilah, Ki, bahwa jumlah lima ratus pasukan Pajajaran itu sangat berarti besar bagi sebuah pertempuran. Sebab, jumlah lima ratus itu adalah prajurit terlatih. Sedang jumlah tujuh ratus yang kita miliki, hanya dua ratus orang dari Demak yang benar-benar terlatih. Sisanya adalah orang-orang yang hanya memiliki ke-terampilan pencak silat seadanya, termasuk para santri dari Giri Amparan Jati. Jadi, Ki, dalam sebuah peperangan jangan sekali-kali menilai lawan hanya dari segi jumlah. Ini pelajaran penting."
"Patik paham, Yang Mulya."
Hening makm tiba-tiba dipecahkan oleh pekikan dan jeritan serta gemerincing senjata beradu di kejauh-an. Pertempuran tampaknya sedang berlangsung di pakuwuan. San All dan para prajurit penunggang kuda tampak gelisah menunggu perintah dari Raden Kusen untuk menyerang ke pakuwuan. Namun, Raden Kusen kelihatan tenang dan bergeming mendengar hiruk pikuk pertcmpuran di kejauhan.

Dicekam kegelisahan dan bayang-bayang serunya pertempuran, San Ali tak tahan lagi. la membayangkan bagaimana nasib kawan-kawannya, para santri, ketika menghadapi prajurit-prajurit pakuwuan yang terlatih. la membayangkan betapa korban akan berjatuhan di pihak penyerbu. Setelah beberapa jenak dicekam kegelisahan, ia mendekati Raden Kusen dan bertanya, "Kenapa kita tidak membantu yang bertempur di sana, Paman?"

"Kita belum mendapat laporan dari medan laga," sahut Raden Kusen singkat.
"Laporan dari medan laga?" San Ali heran.

"Lihat obor itu!" Raden Kusen menunjuk nyala obor yang diayun-ayun di kejauhan. "Itu laporan dari prajurit tadi bahwa pertempuran sedang berjalan imbang. Karena itu, sekaranglah waktu yang tepat bagi kita untuk menyerang agar lawan terkejut."
"Saya paham, Paman," San Ali berdecak kagum.
"Agar lawan mengira jumlah kita banyak maka setiap prajurit akan menyalakan dua obor. Kita akan menyerbu dari kegelapan dengan suara hiruk pikuk dan obor yang digoyang-goyang," kata Raden Kusen.Raden Kusen mengangkat tangan kanan. Obor-obor secara berurutan menyala. Dalam waktu singkat keadaan sekitar menjadi terang-benderang. Raden Kusen mendadak meneriakkan takbir dengan suara menggelegar bagai guntur. Sedetik sesudah itu, ia memacu kudanya. Para prajurit di belakangnya buru-buru mengikuti. Bagaikan naga bertubuh api yang merayap di kegelapan malam, begitulah pasukan berkuda yang membawa obor itu bergerak ke arah pakuwuan.
Ketika jarak barisan berkuda yang dipimpin Raden Kusen dengan pakuwuan tinggal satu pal, serta merta mereka berteriak-teriak mengumandangkan takbir ganti-berganti dan sahut-menyahut. Kemudian bagaikan luapan air bah, pasukan berkuda itu menerjang ke arah gerbang pakuwuan, tempat para penyerbu dan prajurit pakuwuan sedang bertempur.
Kegentaran segera meluas di kalangan prajurit pa¬kuwuan ketika mereka menyaksikan beratus-ratus cahaya obor berayun di kejauhan. Kegentaran makin memuncak manakala terdengar pekikan takbiryang makin mndekati gerbang. Dan puncak kegentaran itu berubah menjadi kepanikan manakala mereka menyaksikan bahwa para pembawa obor itu adalah pasukan berkuda yang dipastikan merupakan bagian dari kekuatan para penyerbu. Demikianlah, tanpa dapat dikendalikan lagi, prajurit pakuwuan berhamburan melarikan diri begitu mendengar detak-detak ladam menggeba bumi. Dan kepanikan pun makin tak terkendali ketika tubuh pata prajurit pakuwuan bertumbangan ke atas bumi bagaikan rumput dibabat parang.
Barisan berkuda yang datang bagaikan air bah itu terus maju tak mempedulikan apa pun. Barang siapa menghalangi akan diinjak. Para penyerbu gabungan dari padepokan Giri Amparan Jari, Kuwu Babadan, dan Tegal Alang-Alang yang melihat kedatangan bala bantuan segera menyibak memberi jakn. Dan pasukan berkuda pimpinan Raden Kusen itu dengan leluasa menerobos ke dalam pakuwuan. Dengan cambuk ekor ikan pari, pedang, tombak, dan panah, mereka memblnasakan prajurit pakuwuan.
Dalam waktu singkat, pertahanan Pakuwuan Caruban bobol. Para prajurit pakuwuan yang bertem-pur tanpa komando pemimpin itu porak-poranda. Seraya berteriak-teriak kebingungan mereka berhambur-an ke segak arah menyekmatkan diri. Sementara, sebagian yang lain berusaha menyelamatkan junjungannya, Kuwu Baru, Rsi Bungsu dan keluarganya, keluar dari pakuwuan. Meski dengan susah payah, akhirnya Rsi Bungsu berhasil lolos dari kepungan musuh. Dan malam itu, Rsi Bungsu beserta keluarga dan sedikit prajurit menerobos kegekpan melewati lereng gunung Ciremai menuju ke Kadipaten Galuh.
Setelah sisa terakhir kekuatan Rsi Bungsu terhalau, di bawah temaram cahaya rembulan dan di tengah gumpakn kabut, Raden Kusen duduk gagah di atas kuda hitam, didampingi Ki Samadullah dan San Ali. Para penyerbu dari Demak, padepokan Giri Amparan Jati, Kuwu Babadan, dan Tegal Akng-Akng berkeru-mun mengitari pemimpin mereka. Sementara di luar tembok pakuwuan, sebagian barisan berkuda bersiaga menunggu perintah kejutan. Butir-butir jelaga dari obor terlihat menodai wajah prajurit berkuda, namun mereka bagai tak peduli. Putaran roda waktu telah mem-buat mereka berdiam din dalam ketegangan.Raden Kusen, lelaki gagah dengan kulit putih kemerahan dan mata agak sipit tetapi setajam rajawali itu, begitu menakjubkan dan memukau mereka yang berada di sekelilingnya. Putera Adipati Palembang, Ario Damar, itu begitu tenang menghadapi berbagai persoalan. Bahkan menghadapi kemenangan gemilang seperti sekarang ini pun, ia mampu mengendalikan kegembiraan.
Dengan suara penuh wibawa Raden Kusen berkata dengan nada mengingatkan, "Kita belum sepenuhnya meraih kemenangan karena malam ini pasukan Gelombang pertama dari Pajajaran akan mendarat di Muara Jati. Jika mereka kita biarkan maka esok pagi Pakuwuan Caruban akan jatuh ke tangan mereka. Dan kita semua tahu apa tindakan pasukan Pajajaran terhadap mereka yang dianggap memberontak?"
Suara-suara segera menggema. Raden Kusen dengan tenang mengamati reaksi ucapannya terhadap orang-orang itu, terutama kepada Ki Samadullah dan San Ali. Dan tak lama kemudian, hiruk pikuk itu makin gaduh, tetapi secara pasti menunjuk pada maksud yang sama: bahwa malam itu juga mereka semua harus ke Muara Jati untuk menghadang pssukan Pajajaran. Daripada dibunuh lebih baik membunuh. Dan pekikan takbir pun mengumandang sahut-menyahut sebagai tanda kebulatan tekad mereka untuk menyambut ke-datangan lawan.
Malam itu, setelah menyisakan sekitar lima puluh orang untuk menjaga pakuwuan, Raden Kusen didampingi Ki Samadullah dan San Ali menuju Muara Jari, diikuti barisan berkuda, para santri padepokan, peng-ikut Ki Gedeng Babadan, dan pengikut Ki Samadullah dari Tegal Alang-Alang. Rombongan bergerak cepat, menembus kabut malam yang mulai menutupi permukaan bumi Caruban.
Perhitungan Raden Kusen bahwa perahu-perahu pasukan Pajajaran gelombang pertama akan mendarat menjelang subuh ternyata terbukti. Ketika barisan yang dipimpinnya sampai di Muara Jati, di keremangan laut sudah terlihat bayangan hitam dari sekitar tiga puluh perahu yang bergerak diam-diam mendekati pantai
Tanpa menunggu waktu, Raden Kusen segcra bertindak cepat dengan memerintahkan pasukan panah yang ber-jumlah sekitar lima puluh untuk berbaris memanjang sejajar pantai. Tugas utama mereka adalah menembaki prajurit Pajajaran yang akan mendarat. Sementara lima puluh pasukan tombak disiagakan di lapis kedua, yakni di belakang pasukan panah. Sedang di lapis ketiga disi¬agakan pasukan pedang, cambuk, dan kujang. Barisan berkuda justru ditempatkan paling belakang.
Perahu-perahu besar berisi prajurit Pajajaran men-dekati pantai Muara Jati. Dan seirama dengan deburan ombak yang membentur lambung perahu yang mulai menyentuh pasir, berlompatanlah para prajutit itu ke dalam air yang setinggi lutut. Kemudian, bagai siluman mereka bergerak menepi. Mereka tidak sadar bahwa di sepanjang pantai telah menunggu para pene-bar maut. Rupanya Terong Peot, manggalayuddha pasukan Pajajaran itu telah memberikan kepastian bahwa prajurit-prajurit dari Pakuwuan Caruban akan menyambut mereka di Muara Jati.
Saat ptajurit-prajurit Pajajaran berada dalam jarak sekitar sepuluh tombak dan pantai, tiba-riba terdengar Pekik takbir dikumandangkan oleh Raden Kusen. Dan atas kudanya, ia mengacungkan pedang ke arah laut. Dan bagaikan semburan air hujan, begitulah puluhan  anak panah melesat dengan kecepatan kilat dari busur prajurit Demak.
Prajurit Pajajaran yang tak menduga bakal diserang mendadak, terkejut luar biasa begitu mendengar pekikan takbir. Sebagai prajurit terlatih, mereka buru-buru berbalik arah. Tetapi, kecepatan gerakan mereka di air tak segesit di darat. Itu sebabnya, sebagian di antara mereka—sekitar tiga puluh orang—yang ber-ada pada posisi paling depan langsung bertumbangan ketika anak panah menghunjam perut, dada, bahu, leher, dan bahkan mata. Dan jerit kesakitan pun me-ngumandang bersahut-sahutan. Sungguh sangat memilukan. Rupanya, luka akibat panah itu menjadi sangat sakit terkena asin air laut.
Kerika prajurit Pajajaran sedang panik dan berlari-an di perairan Muara Jati, Raden Kusen memberikan komando lanjutan dengan pekikan takbir dan isyarat pedang. Kali ini pasukan lapis kedua berlari cepat ke arah laut. Saat jarak lari mereka dari pantai sekitar lima tombak, serta merta mereka melemparkan tombak ke arah prajurit Pajajaran. Dan sejenak sesudah itu mereka membalikkan badan dan kembali ke posisinya semula di belakang pasukan panah.
Hujan tombak di kegelapan malam itu dalam tempo singkat menambah jumlah korban di pihak lawan. Dengan cepat tubuh sebagian mereka yang turun ke laut terlihat mengapung menjadi mayat dengan tikaman panah dan tombak. Sementara itu, prajurit-prajurit lain ngmasih di atas perahu enggan turun. Dan kepanikan makin meningkat manakala dari tepi pantai terlihat beribu-ribu obor dinyalakan.Manggalayuddha Pajajaran cepat mengambil kesimpulan bahwa pasukannya telah masuk ke dalam perangkap musuh. Untuk menghindari korban lebih besar, dia memerintahkan prajuritnya naik kembali ke atas perahu. Dan menjelang subuh itu, perahu-perahu Pajajaran kembali bertolak ke tengah laut. Me-ninggalkan beberapa puluh mayat yang mengapung di permukaan laut dipermainkan gelombang
Menjelang subuh, Raden Kusen didampingi Ki Samadullah dan San Ali beserta seluruh prajurit denganpenuh kegembiraan kembali ke pakuwuan. Seyogyanya, saat tiba di pendapa pakuwuan Ki Samadullah akan langsung mengumumkan bahwa yang menjadi Kuwu di Caruban adalah San Ali, putera Ki Danusela.Namun, sepanjang perjalanan San All yang sudah menangkap keinginan bapak asuh yang mencintainya itu dengan tegas menyatakan penolakannya. Penolakan itu tentu saja mengejutkan Ki Samadullah.
Jika Pamanda menyayangi saya setulus hati, tentu Paman bisa memahami bahwa tujuan utama saya bukan kekuasaan duniawi. Karena itu, jika Paman memaksa saya untuk menduduki kursi Kuwu Caruban, berarti Paman telah memberikan beban yang sangat berat yang sangat mungkin tidak mampu saya pikul," kata San Ali.
"Jika engkau menolak jabatan kuwu," kata Ki Samadullah, "lantas siapa yang akan menggantikan ke-dudukan ayahandamu?"
"Saya sudah menyaksikan betapa hebat Pamanda Raden Kusen mengatasi masalah sebesar ini. Karena itu, tidak salah jika saya menginginkan Pamanda Raden Kusenlah yang cocok menggantikan kedudukan Ayahanda Danusela. Saya kira, Pamanda Raden Kusen akan mendapat dukungan dari Kerajaan Galuh melalui Pamanda Samadullah. Saya yakin, Pamanda Samadullah dapat memberikan dukungan kepada beliau sebab ditinjau dari segi nasab, hubungan Paman dan kerabat Kerajaan Galuh sangat dekat."
"Anakku," sahut Ki Samadullah memegang bahu San Ali, "apakah dengan ini engkau akan meninggalkan aku? Apakah engkau tetap melaksanakan tekadmu berkelana mencari hakikat sejati 'Aku'?"
"Maafkan saya, Paman," kata San Ali menguatkan hati. "Saya sudah membulatkan tekad untuk mencari hakikat sejati 'Aku' sebagaimana hal itu pernah saya ungkapkan kepada guru agung. Dan sekeluar saya dari padepokan, makin kuadah tekad saya untuk melaksanakan impian saya itu."
"Semoga Allah senantiasa merahmati dan melindungimu, Nak." Tirik air bening mulai terlihat di sudut mata Ki Samadullah.
"Paman, saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepadamu yang telah begitu tulus mencintai manusia sebatangkara seperti saya," San Ali berkata lirih.
"Kenapa engkau berkata begitu, Nak?"
"Saya lahir dalam keadaan yatim. Ketika bayi, saya sudah yatim piatu. Hanya berkat budi baik ayahanda dan ibunda, paman dan bibi, saya bisa menjadi seperti sekarang ini."
"Siapa yang menceritakan hal dirimu itu, Nak?" Ki Samadullah penasaran.
"Pamanda Rsi Bungsu," kata San Ali. "Dan beliau benar, bukan?"
Ki Samadulah menunduk. Butiran air bening jatuh dan kelopak matanya.
"Saya tahu, Pamanda, bibi, ayahanda, ibunda, dan guru agung menyimpan rahasia ini agar saya tidak sedih dan merasa sebatangkara di dunia. Tetapi, Paman, dengan terbukanya kenyataan ini makin kuatlah keinginan saya mengejar impian. Sebab, dengan menyadari kesebatangkaraan saya maka saya makin mudah melepaskan segala sesuatu selain Dia yang saya tuju."
Sepanjang perjalanan akhirnya Ki Samadullah tidak berkata-kata lagi. Dia tenggelam dalam kepedihan. Sungguh, jauh di dalam lubuk jiwanya ingin sekali dia mengantarkan ke mana pun San Ali pergi. Namun, keinginan aneh anak asuhnya yang tak lazim mencari hakikat sejari Dia Yang Tak Terpildr dan Tak Terbayang adalah kemustahilan yang sulit dipahami. Ah, betapa aneh garis kehidupan anak itu: lahir ke dunia sebagai yatim piatu dan didewasakan di lingkungan padepokan yang penuh keprihatinan, kini setekh de-wasa akan mengembara dengan tujuan melepas segala kepentingan dunia untuk menuju ke 'aku' yang tak tergambarkan keberadaan-Nya.
Segak pembicaraan Ki Samadullah dengan San Ali ternyata didengatkan dengan cermat oleh Raden Kusea Itu sebabnya, kerika mereka tiba di pakuwuan, segera dibuat keputusan bahwa kekuasaan Kuwu Caruban di-percayakan kepada Ki Samadullah. Karena, selain masih keturunan Raja Galuh, dia dianggap paling berpengalaman menjadi pejabat pangraksabhumi mem-bantu tugas-tugas Ki Danusela. Untuk mengamankan pakuwuan, dua ratus prajurit Demak tetap disiagakan untuk membentengi pakuwuan dari serangan Pajajaran atau gerakan subvetsif pengikut Rsi Bungsu. Bahkan Raden Kusen dengan penuh keberanian membuat keputusan bahwa Pakuwuan Caruban bukan kgi menjadi bagian wilayah Pajajaran, melainkan bagian wilayah Kadipaten Demak.
"Umumkan kepada seluruh warga pakuwuan bahwa hari ini, waktu pecat sawet (pukul 10.00), hari Soma Manis, tanggal 19, bulan Badra, tahun Saka 1392, penguasa negeri ini sudah berganti. Katakan kepada seluruh penduduk Pakuwuan Caruban bahwa gusti mereka sekarang ini bukan lagi Prabu Ratu Dewata di Pajajaran, melainkan Adipati Demak, Arya Sumangsang, putera Prabu Kertawijaya Maharaja Majapahit, yakni saudara Ki Danusela."
San Ali menghadap Syaikh Datuk Kahfi untuk berpamitan. Ini sangat penting baginya sebab selain sebagai guru agung yang menempa pribadi dan cara pikir-nya, Syaikh Datuk Kahfi adalah satu-satunya manusia di dunia ini yang memiliki hubungan darah dengannya. Dan lantaran hubungan darah itu, ia menjadi mafhum kenapa guru agung itu begitu memanjakan dan meng-istimewakan dirinya dibanding murid-murid lain.
Di hadapan Syaikh Datuk Kahfi, yang diketahui-nya sebagai adik sepupu ayahanda kandungnya, San Ali tidak mampu menyampaikan sesuatu kecuali menundukkan kepak memandangi anyaman tikar yang tergelar di bawahnya. la merasakan dadanya kosong. Hampa. Entah apa yang terjadi, ia hanya merasakan bahwa niatnya yang kuat untuk mengembara mencari 'aku' telah menimbulkan beban berat di hatinya untuk berpisah dengan orang-orangyang dicintainya, terutama Syaikh Datuk Kahfi dan istrinya. Mereka selama bertahun-tahun telah mengasuh, membimbing, dan memberikan kasih sayang seperti orang tua kepada anak. Kebersatuan adalah kebahagiaan. Perpisahan adalah kepedihan.
Syaikh Datuk Kahfi kelihatan sulit menyembunyi-kan kepedihan yang mengharu biru hatinya. Namun, sebagai seorang guru agung yang menjadi teladan bagi para muridnya, dia harus berjuang keras mengakhkan kepedihan jiwa. Memang benar, berpisah dengan orang tercinta sangat berat dan menyakitkan namun keharusan berpisah dengan segala sesuatu selain Dia adalah tuntutan mutlak. Itu sebabnya, dengan hari berat dia menasihati kemenakannya. "Pergilah engkau mengikuti tuntutan jiwamu, o Anakku terkasih, sebab hanya dia yang berjuang keras rnenuju Dia yang akan sampai ke Dia. Segala apa yang engkau alami selama ini adalah bagian dari perjalanan yang mesti engkau lewati. Tinggalkan segak sesuatu yang ada pada dirimu hingga tak bersisa kecuali keyakinanmu terhadap Dia."
"Hamba akan jadikan nasihat Guru Agung sebagai azimat," kata San Ali takzim. "Tetapi, bolehkah hamba bertanya sesuatu tentang hal hamba?"
"Bertanyalah, o Anakku."
"Benarkah leluhur hamba berasal dari negeri Malaka?" tanya San All tegas.
"Sepengetahuanku memang begitu, Anakku," jawab Syaikh Datuk Kahfi. "Tetapi barang satu abad lalu leluhur kita tidak bertempat di tanah semenanjung. Mereka datang dari negeri Gujarat. Menurut cerita ayahandaku, Syaikh Datuk Ahmad, leluhur kita adaleh bangsawan dan ulama di Gujarat. Kakekku, Syaikh Datuk Isa, adalah leluhur yang tinggal di Makka. Belku sekeluarga awalnya datang ke negeri Perlak kemudian merantau ke semenanjung, yakni Malaka."
"Berarti, sangat mungkin negeri Gujarat pun bukan tempat asal leluhur kita. Sebab, bukan sesuatu yang mustahil jika leluhur keluarga kita berasal dari negeri Arab, Rum, dan mungkin Maghrib," kata San Ali menyimpulkan. "Memang benar, Anakku," kata Syaikh Datuk Kahfi, "sebab kalau diurut-urut, semuanya berasal dari negeri Arab di mana Bapa Adam dan Ibu Hawa pertama kali tinggal di bumi."
Sebelum tinggal di negeri Arab, di manakah Bapa Adam dan Ibu Hawa tinggal? Apakah di tempat bernama jannah Darussalam?' tanya San Ali.
Sejauh yang kupahami dari kitab-kitab memang demikian, o Anakku."
"Jikalau begitu, o Guru Agung, hamba mohon pamit secepatnya karena hamba memiliki pandangan bahwa mencari Dia haruslah mencari rangkaian galur di mana Dia menempatkan manusia pertama ciptaan-Nya di muka bumi," kata San Ali tegas.
"Mudah-mudahan engkau menemukan apa yang engkau cari, Anakku," kata Syaikh Datuk Kahfi dengan mata berkaca-kaca.

Menyeberangi Samudera
DIBANDING Dermayu, Muara Jati hanyalah pelabuhan kecil, namun dari sinilah orang memasok beras, gula aren, garam, dan terutama terasi. Pada paro tengah abad ke-15, Muara jati merupakan pelabuhan penunjang bagi keramaian Dermayu. 
Dipandang dari laut, Muara Jati tampak seperti kumpulan kampung nelayan dengan puluhan perahu kecil ditambatkan di tonggak-tonggak kayu. Sebuah geladak sepanjang lima puluh meter yang menjorok ke laut hanya digunakan untuk memunggah muatan dari dan ke atas perahu. Sejumlah rumah bambu beratap rumbia berderet kecoklatan di bawah garis hijau pepo-honan yang melatar belakanginya. Barang empat buah rumah besar bercat merah yang tegak perkasa di pinggir jalan ke arah geladak adalah rumah orang-orang Cina muslim yang umumnya tengkulak beras. Sementara sebuah bangunan besar dengan pendapa yang berdiri menghadap laut adalah kediaman tandha, yakni pejabat bawahan Raja Galuh yang bertugas memungut pajak lalu lintas hasil bumi dan perikanan yang keluar dan masuk pelabuhan Muara Jati. Nun jauh di selatan Muara Jati, terpampang gunung Ciremai yang membiru diselimuti halimun, yang menurut cerita adalah tempat persemayaman dewa-dewa. 
Di ujung geladak di atas riak gelombang pantai. San Ali berdiri tegak memandangi hamparan lembah, gunung, dan rimbunan pohon yang hijau kebiruan di-balut kabut tipis: hamparan bumi Caruban, tanah ke-lahiran yang mengukir jiwa dan raganya. lamemejamkan mata dan memanjatkan doa mohon agar jiwanya dikuatkan untuk meninggalkan rangkaian kenangan indah yang mengukir ingatannya.
San Ali menantikan perahu yang akan membawa-nya ke tengah samudera, meninggalkan tanah kelahiran tempat ia mendapat limpahan cinta kasih. la merasakan kepedulian mencekam jiwanya. Dari dalam hati-nya terungkap suara jiwa yang mengharu biru kebulatan tekadnya. "O San Ali, akankah engkau tinggalkan tempat yang telah memberikan kedamaian bagi kehidupanmu? Akankah engkau tinggalkan orang-orang yang selama ini memberikan kasih sayang yang  memaknai pembentukan jiwamu? Akankah engkau tinggalkan keceriaan penghuni padepokan yang senantiasa mengumandangkan nyanyian pepujian kebesaran Illahi?, Akankah engkau lupakan orang-orang desa yang dengan senyum tulus menyapamu dalam setiap perjumpaan?.”
San Ali menarik napas panjang dan berat. la sadar bahwa hatinya berat meninggalkan rentangan kenangan yang sudah berurat dan berakar di jiwanya. Itu sebabnya, dengan menguatkan hati ia berbisik kepada ungkapan suara jiwanya.
"Adakah kehidupan yang mengalir tanpa perpisahan dan kesedihan? Air memancar dari mata air kemudian meninggalkan sumbernya untuk menuju ke sungai hingga ke muara dan memasuki samudera raya. Manusia lahir dari kandungan ibundanya kemudian tumbuh dewasa dan akhirnya mati meninggalkan segala yang melekat pada dirinya. Dunia beserta segala ismya dan alam semesta pun pada akhirnya mengalir ke suatu masa yang disebut Yaumul Akhir. Jadi perpisahan dan kesedihan adalah bagian dari hidup. Sesungguhnya tidak ada yang langgeng di permukaan bumi ini."
"Dengarlah, wahai suara hatiku, bahwa aku seperti juga engkau memiliki kenangan dengan kehidupan di Caruban yang indah yang membentang di kaki gunung Ciremai yang dilingkari ombak samudera, yang diwarnai gemericik air sungai dan kicau burung menyambut mentari pagi. Tetapi, wahai suara hatiku, ketahuilah bahwa segala keindahan itu telah berubah menjadi terali bagi 'aku'-ku, karena aku sekarang bagai rajawali terkungkung dalam sangkar besi yang sering merana setiap kah melihat burung lain terbang di angkasa, mereguk kebebasan jiwa dengan membentangkan sayap kehidupan."
Ketika San Ali sedang bergulat dengan suara jiwanya, perahu yang bakal membawanya pergi dari bumi Caruban datang. Pemilik perahu itu bernama Tahrimah, laki-laki setengah umur dengan tubuh tegap dan otot-otot tangan kukuh. Wajahnya yang keras menunjukkan bahwa dia adakh orang yang tabah melintasi kerasnya kehidupan. Dan sorot matanya yang berbinar-binar menunjukkan betapa teguhnya laki-laki itu memegang prinsip. Sementara kulitnya yang coklat kehitaman terbakar sinar matahan mencerminkan semangat hidup yang tak luntur terkena hujan dan tak lekang terkena panas.
Setelah cukup lama menunggu reaksi San Ali, Tahrimah menanyakan tujuan perjalanannya meninggalkan Muara Jati. "Apakah Yang Mulia San Ali, putera Kuwu Caruban, akan menuju pelabuhan Kalapa atau hanya ke Dermayu?"
"Engkau lebih tahu akan tujuanku, o Paman, sebab pemegang kemudi perahu ini adalah engkau. Apalah arti maksud dan tujuan kuucapkan jika di tengah kut engkau nantinya akan menenggelamkan perahumu. Dengan menumpang perahumu, o Paman, sudah ku-buktkan tekadku untuk mengorbankan diriku dalam mencapai tujuanku yang sejati," ujar San All tegas.
"Tidak adakah lagi syak di hati Yang Mulia?"
"Sudah kubulatkan tekadku, seperti kuucapkan saat kumulai sembahyang menghadap Dia," ujar San Ali mantap.
"Jika demikkn, naiklah o Anak ke atas perahuku. Dan ingat-ingatlah selalu, selama perjalanan di laut jangan sekali-kali Anak melakukan perbuatan lain yang membahayakan perahu ini. Dan berdoalah agar kita selamat melintasi lautan yang kadang-kadang meng-amuk."
San Ali tersenyum dan menganggukkan kepaka.
Tahrimah ternyata orang yang memiliki pengetahuan luas tentang kehidupan. Ketika masih muda, dia pernah menjadi awak kapal dagang yang mengarungi tujuh samudera dan menyinggahi berbagai pekbuhan besar tempat kapal-kapal dari berbagai negeri berlabuh. Kini, setelah usia makin menua, dia hanya menjadi pengemudi perahu yang khusus mengantarkan orang-orang tertentu ke tujuan yang dikehendaki.San Ali sangat terkesan mendengar kisah hidup Tahrimah. Itu sebabnya, ia bertanya banyak hal tentang  peristiwa yang sedang dialaminya saat ini. "Baimanakah perasaan Paman saat pertama kali berlayar meninggalkan tanah kekhiran tercinta?"
"Semula berat dan menyedihkan, o Anak," kata Tahrimah. "Tetapi, bersama menggelindingnya waktu kusadari bahwa menjadi kewajiban mendasar dan kita untuk meninggalkan segaia sesuatu yang sebenarnya bukan milik kita."
"Maksud Paman?" tanya San Ali belum paham.
"Sebelumnya aku sempat berpikir bahwa bumi Caruban, anak, istri, rumah, orang tua, sahabat, guru, dan segaia apa yang kucintai adalah milikku. Pada akhitnya kusadari bahwa semua itu bukan apa-apaku, apalagi milikku. Tubuh dan jiwaku pun pada hakikat-nya bukanlah milikku."
"Kalau begitu, Paman adalah seorang zahid," ujar San Ali.
"Seorang zahid yang melakukan hidup zuhud adalah dia yang meninggalkan segaia sesuatu yang menjadi miliknya. Zahid adalah dia yang meninggalkan segaia apa yang bisa ditinggalkannya. Sedangkan 'aku' pada kenyataannya tidak memiliki apa pun yang bisa kutinggalkan. Semua merupakan milik-Nya: Kebesaran, Keagungan, Keindahan, Kekuasaan, Kehendak, Kemuliaan, Puji-pujian, dan Kemutlakan."
"Engkau orang yang telah tercerahkan, o Paman, kata San Ali dengan mata membinarkan rasa takjub, "Ajarkanlah kepadaku tentang jalanmu menuju-Nya!'
"Engkau memiliki jalanmu sendiri, o Anak," kata Tahrimah datar. "Jalan yang telah kulalui akan berbeda dengan jalan yang harus engkau lalui."
"Itu aku tahu, Paman," San Ali memohon, "tetapi berikanlah kepadaku barang satu atau dua patah nasihat yang akan kujadikan bekal perjalananku."
"Jika itu keinginanmu, aku akan memberimu dua nasihat yang boleh engkau ikuti dan boleh pula engkau abaikan."
"Saya akan berjuang menjalankan nasihatmu, o Paman."
"Pertama, lakukan Taubat, yakm engkau harus berpaling dan segala sesuatu kecuali Allah. Maksud-nya, jika sebelum ini engkau pernah berbalik dari-Nya maka sekarang engkau wajib menghadapkan jiwa dan pikiranmu hanya kepada-Nya. Kedua, lakukan Dzikir, yakni ingadah selalu Allah jika engkau lupa. Maksud-nya, jika engkau selalu berusaha berada dalam keada-an melupakan segaia sesuatu yang bukan Allah maka saat itulah engkau mengingat Allah."
Di Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran, kehidupan berlangsung sangat lamban dan jauh berbeda dengan Muara Jati, apalagi dibandingkan Dermayu yang hingar-bingar dipenuhi kesibukan. Satu-satunya tempat orang terlihat lalu lalang hanya di dermaga Kedunghalane, tempat perahu hilir-mudik dari dan ke pelabuhan Kalapa. Di situ tak henti-hentinya orang mengangkuti barang-barang dengan pikulan, gerobak, dan pedati yang ditarik kerbau. Selebihnya, hampir di seluruh sudut kotaraja Pakuan dilintasi orang-orang yang akan pergi ke pura dan sanggar pamujan. Hampir di setiap tepian jalan terlihat anjing bertubuh kurus duduk atau tiduran menikmati hangat matahari.
San Ali yang mengenakan jubah dan surban putih sebagai pertanda bahwa ia pemeluk Islam sejak menginjakkan kaki di pelabuhan Kalapa sudah menjadi perha-tian orang. Ketika ia menuju ke kotaraja Pakuan dengan perahu yang melayari sungai Ciliwung, orang makin memandangnya dengan penuh curiga. Hanya bekal surat pengantar dari Ki Samadullah yang membuatnya lolos dan pos-pos pemeriksaan keamanan.
Sesuai pesan Ki Samadullah, San Ali harus menemui Samsitawratah, seorang rsi yang memiliki asrama bagl para brahmana muda pencari kebenaran. Menurut Ki Samadullah, hanya Rsi Samsitawratah di tlatah Pajajaran ini yang mampu mengupas hakikat kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya, Maharaja Majapahit. Ki Samadullah sendiri sejauh ini membahas kitab itu bersama Ki Danusela hanya sebatas pada penafsiran demi penafsiran yang belum tentu benar pada tataran penerapannya.
Ketika San Ali mendekati pintu asrama, tampak-lah seorang tua dengan hanya mengenakan cawat melintas di hadapannya. Sekalipun renta dan kurus kering, ada semacam kekuatan gaib melingkupinya. Meski hanya bercawat, orang merasakan getaran kuat setiap kali me-mandangnya. Setclah berdiam sejurus, dengan suara penuh wibawa orang tua yang ternyata Rsi Samsitawratah itu berkata, "Apakah yang engkau cari, o Anak Muda, hingga engkau menyeret tubuhmu ke sini?"
"Kucari hakikat 'aku' agar kutemukan 'Aku' sebagai sumberku," jawab San Ali.
"Bagaimana engkau menemukan 'Aku' jika engkau masih meng-'aku'?"
"Kepadamulah, o Yang Tercerahkan, kuharap pelajaran menuju 'Aku'," kata San Ali sambil mengeluarkan kitab rontal Catur Viphala. "Karena, kudengar hanya Andhika Yang Tercerahkan yang mampu menguak makna kitab ini."
"Lepaskan jubah dan surbanmu! Lepaskan segala milikmu! tanpa perjuangan keras mengosongkan diri dari keakuan, jangan harap engkau bisa menangkap intisari kitab Catur Viphala dan mencapai tujuanmu."
San Ali tercekat mendengar permintaan Rsi Samsitawratah. Bagaimana mungkin ia melepaskan jubah dan surbannya untuk kemudian bercawat seperti orang tua dihadapannya itu? Apakah maksud melepaskan segala milik berarti melepas segala atribut keislaman dengan meninggalkan sembahyang dan hukum syarak? Apakah pengosongan diri menjadi syarat mutlak bagi perjuangan menuju 'Aku'?
Tanpa dapat dicegah benak San Ali dijejali oleh kilasan bayangan api neraka yang berkobar-kobar menelan dirinya manakala ia tanggalkan jubah dan surban dan hukum syarak. Namun, secepat itu di benaknya terbayang tentang per jalanan mencari hakikat 'Aku' sebagai pangkal segala 'aku'. Mengaps 'Aku'-ku harus takut terhadap 'aku' neraka? Bukankah 'aku' neraka juga seperti 'aku'-ku, yaitu berasal dari 'Aku' semesta?
Rsi Samsitawratah tampaknya menangkap keraguan San Ali. Itu sebabnya, dengan acuh tak acuh dia berkata seolah kepada dirinya sendiri. "Akal dan pikiran, keakuan, keinginan-keinginan, bentuk-bentuk, status, identitas diri, dan keanekaragaman citra diri adalah tirai yang memisahkan 'aku' dari 'Aku'. Sebab, semua itu masih meng-'aku', belum 'Aku' yang sesungguhnya. Karena itu, jubah, surban, mahkota, keragaman adalah tirai yang wajib dibuka jika kita ingin me-nyatu dengan-Nya." 
Akhirnya, tanpa banyak bicara San Ali melepas jubah dan surbannya. Kemudian dengan hanya bercawat ia bergabung dengan para brahmin yang tinggal di asrama.
Kehadiran San Ali di lingkungan brahmin mendapat perharian serius dari Rsi Samsitawratah. Itu setidaknya terlihat dari kehendak Rsi Samsitawratah memberikan pelajaran khusus bagi San Ali, terutama dalam kaitan dengan kitab rental Catur Viphala. Mula-mula, Rsi Samsitawratah menjelaskan urut-urutan Viphala yang berjumlah empat nihsprha, nirbana, niskala, nirasraya..
"Ketahuilah bahwa yang dimaksud nihsprha adalah keadaan di mana tidak ada lagi sesuatu yang ingin dicapai manusia," Rsi Samsitawratah menguraikan. "Nirbana berarti seseorang tidak lagl memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Niskala adalah bersatu dengan Dia Yang Hampa, Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Dalam kcadaan itulah, 'aku' menyatu dengan 'Aku'. Dan kesudahan dari niskala adalah nirasraya, yakni keadaan di mana jiwa meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika, yakni dimensi tertinggi yang bebas dari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri, dan mengatasi 'Aku'."
Apa yang tercantum di dalam kitab rental Catur Viphala merupakan hal yang gampang diuraikan, namun berat dijalankan. Hanya mereka yang benar-benar bertekad bulat menuju 'Aku' yang akan melaksanakannya. Demikianlah, seperti brahmin yang lain, ; San Ali melakukan latihan ruhani dengan ketat menu CaturViphala. la berpuasa selama berhari-hari. Seluruh waktunya dilewati dengan latihan meniadakan diti dan samadi. Daging mulai menyusut dari pipinya. Kelopak matanya cekung. Rambut awut-awutan. Bayang-an aneh mulai sering memasuki mimpinya. Bahkan di tengah terik rnatahari, ia membiarkan tubuhnya ter-panggang oleh kesakitan dan kehausan. Semuanya untuk menghilangkan keakuan di dalam dirinya.
San Ali dibimbing langsung oleh Rsi Samsitawratah dalam melatih samadi dan pengingkaran diri. la juga diajatkan bagaimana harus meniadakan diri dan berlatih menyatukan keakuan dirinya dengan alam sekitar dengan pohon, kayu, batu, air, hewan, ikan, burung, bahkan awan. Dalam tempo singkat ia dapat menging-kari keakuan dirinya untuk menyatu dengan keakuan alam sekitamya.
Rsi Samsitawratah mengajarkan pula bagaimana seorang brahmin tidur dengan mula-mula mengatur pemapasan dan menutup kelopak matanya hingga ber-angsur-angsur seluruh jiwanya padam. Jika jiwa telah padam, begitu uraian Catur Viphala, maka orang akan tidur tanpa mimpi dan tanpa perasaan. Sebaliknya, orang yang ridak memahami ajaran itu akan terperangkap ke dalam cakrabhawa, yakni terseret oleh mimpi-mimpi dan igauan di dalam tidur. Dan mereka yang terperangkap ke dalam cakrabhawa dengan sendirinya jiwanya akan jatuh ke neraka.
Berbagai latihan jiwa telah dilakukan San Ah, baik puasa, samadi, makanan dan minuman yang baik tidur, hingga yoga. Dengan bimbingan langsung dan Rsi Samsitawratah, ia mengalami kemajuan pesat terutama dalam perjuangan meniadakan dlri. Namun, ujung dari semua itu ia merasa betapa setelah keakuan dirinya mengembara ke berbagai perwujudan pada akhirnya akan kembali lagi pada keakuan diri. San Ali merasa pengembaraan jiwanya itu seperti pelarian diri yang tak diketahui ujungnya. la merasa seperti melanglang jagad untuk meninggalkan tubuhnya yang menyembunyikan 'aku', namun perjalanan itu ternyata hanya sementara waktu. Ia merasa tidak menjadi lebih bijak-sana dari sebelumnya. la tidak merasa telah beroleh pencerahan sejati.
San Ali tidak sadar bahwa dengan menjalani hidup sebagai brahmin yang begitu ketat melakukan latihan samadi dan menolak diri, ia telah memperoleh berbagai kekuatan. Ini baru diketahuinya ketika ia bersama sejumlah bralimin muda mencari kayu di hutan. Saat itu, tanpa diketahui muncul seekor harimau besar yang kelaparan dan siap menerkam salah satu di antara mereka. Para brahmin yang ketakutan jatuh bangun melarikan diri.
San Ali sadar ia tidak sempat lagi menyelamatkan diri.
Itu sebabnya, ia memutuskan untuk memusatkan pikiran dan perasaannya. Menolak keakuan dirinya untuk bersembunyi di balik keakuan harimau. Sebuah peristiwa adikodrati terjadi. Harimau itu mendadak tercengang dan kemudian merunduk seolah-olah mengikuti kehendak San Ali. Kemudian seperti hewan jinak, dengan gerak lamban dia melangkah mendekat, lalu menggesek-gesekkan kepalanya ke tubuh San Alt Sesudah itu, dia membalikkan badan dan pergi.
Peristiwa menakjubkan itu dengan segera menye-bar di asrama dan menimbulkan iri hati di antara para brahmin yang lebih lama bermukim tetapi belum memiliki kelebihan seperti San Ali. Dalam tempo singkat ada kasak-kusuk yang menyatakan bahwa San Ali adalah telik sandhi orang-orang Islam yang disusupkan ke asrama, dengan tujuan utama menghancurkan kekuat-an Pajajaran dari dalam. Peristiwa menakjubkan itu seolah-olah pamer kekuatan dan merupakan tantang-an kepada Rsi Samsitawratah. Kasak-kusuk terus ber-gulir. Dan San Ali merasa betapa seluruh penghuni asrama seolah-olah mengamati segala gerak-geriknya dengan penuh curiga.
Bagi San Ali, peristiwa di hutan itu justru telah menyadarkan dirinya bahwa apa yang selama ini dipelajarinya di asrama bukanlah rujuan akhir yang hendak dicapainya. la merasa bahwa 'jalan keselamatan' me-nuju 'Aku' akan sulit dijangkau dengan cara yang selama ini dipelajarinya di asrama. la menangkap sasmita bahwa apa yang dijalankannya dengan latihan-latihan ketat selama ini justtu tidak sesuai dengan intisari maknawi dari kitab rontal Cater Viphala.
Tampaknya gejolak pikiran San Ali itu ditangkap oleh Rsi Samsitawratah. Itu sebabnya, kerika ia menghadap, guru para brahmin itu memberikan kitab rontal Catur Viphala sambil berkata, "Ketahuilah, o Anak Muda, bahwa asrama ini hanya persinggahanmu se-mcntara dalam menuju 'Aku'. Sebab, ada scsuatu di dalam dirimu yang tak gampang ditundukkan oleh se-kadar larihan penolakan diri dan samadi. Jalan yang engkau lintasi masih sangat panjang. Karena itu, o Anak Muda, pergilah engkau mengikuti garis hidupmu seperti air mengikuti aliran sungai. Hanya pesanku, janganlah engkau berbalik arah dan putus asa dalam mencapai tujuan."
"Ampun seribu ampun, o Guru Agung," San AH mengiba, "Hamba berharap dengan mengikuti jalan Brahmin melaku arahan kitab Catur Viphala maka kehausan jiwa hamba segera terobati. Tetapi, ternyata tidak. Semakin hamba berlatih semakin kuat kehausan itu mencekik hidup hamba."
Jalan pembebasan memang rumit dan berliku-liku. Karena itu, o Anak Muda, lihatlah para brahmin di asrama ini. Mereka yang sudah berusia lanjutpun tidak dijamin meraih kebebasan sempurna. Lantaran itu, o Anak Muda, pergilah ke muaramu. Ikuti liku-liku aliran yang membawamu ke samudera raya pembebasan. Semoga engkau dapat meraih tujuan yang mulia itu."
"Hamba mohon restu, o Guru Agung," San Ali menghatur sembah.
"Pergilah menuju muaramu, o jiwa yang dicekam rindu."
Dengan hati dibakar kehausan akan pengetahuan sejati, San Ali meninggalkan asrama. Saat ia melang-kahkan kaki meninggalkan pintu, beberapa brahmin muda yang bersamanya sewaktu di hutan, menghadang. Dengan berbagai rayuan mereka menginginkan San Ali bersedia tinggal lebih lama. "Jika engkau berkenan tinggal barang setahun di sini, kami yakin engkau akan bisa belajar terbang ke angkasa, berjalan di atas air, kebal senjata tajam, menembus tembok, dan bahkan menghilang."
"Itu semua bukanlah keinginanku," San Ali tersenyum. "Yang Mulia Guru Agung Samsitawratah lebih mengetahui tentang apa yang menjadi keinginan utamaku. Karena itu, o kawan-kawan tercinta, beliau menghendaki aku pergi dari asrama ini untuk mencari muara yang bakal mengantarku ke samudera kebebasanku."
Melalui pelabuhan Kalapa, San Ali memulai pengembaraannya melintasi samudera dengan menumpang jung milik seorang Cina Muslim bernama Haji Nasuhah yang bernama asli Thio Bun Cai. Usianya sekitar tujuh puluh tahun, namun dia terlihat sepuluh tahun lebih muda. Otot-otot di tubuhnya — terutama kedua lengannya — masih kukuh dan perkasa.
Sekalipun Haji Nasuhah orang Cina asli dan bermata sipit, kehidupan yang keras laut telah mengubah warna kulitnya menjadi coklat kemerahan. Alisnya tebal dan berbentuk pedang, mencerminkan betapa keras watak nakhoda berkepala gundul yang selalu ditutupi kopiah putih itu. Untaian tasbih yang selalu berputar menunjukkan betapa kukuh dia mengingat Tuhan di tengah kesibukannya mengatur arah kapal. Sementara di balik senyuman yang selalu menghiasi bibirnya itu terungkap keteguhan jiwa dari seorang tua yang sudah teruji mengarungi samudera kehidupan.
Penampilan Haji Nasuhah yang mencerminkan citra keramahan seorang Muslim itu sebenarnya baru terlihat sekitar dua dasawarsa silam. Sebelum masa itu, Ia bukanlah Muslim bahkan bukan manusia dari golongan orang balk. Thio Bun Cai merupakan bajak laut yang sangat ditakuti di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Para saudagar Cina menjulukinya Lamhai Lomo (Iblis Laut Selatan)' Sebagai bajak laut bekas pengikut Liang Tau Ming, Thio Bun Cai memiliki pangkalan di Ku Kang (Palembang) dan sewaktu-waktu dapat menggerakkan armadanya dengan cepat. Kama Lamhai Lomo sebagai bajak laut yang telengas dan tak kenal ampun, membuat siapa saja yang melintasi Selat Malaka atau Laut Cina Selatan dicekam ketakutan.
Roda kehidupan manusia berputar mengikuti takdirnya, kadang di atas kadang di bawah, kadang mengubah kedudukan orang dari kaya ke miskin, dari jahat ke baik, dari durhaka ke saleh, dari kejam ke welas asih. Roda kehidupan Thio Bun Cai pun berubah ketika bertemu dengan Syaikh Ibrahim as-Samarkandy yang menjadi tamu Adipati Palembang, Ario Damar.
Pertemuan itu terjadi secara tidak sengaja. Ketika itu, kapal yang ditumpangi ulama asal negeri Samarkand itu dirampok oleh Thio Bun Cai di sekitar kepulauan Anambas. Syaikh Ibrahim saat itu sedang dalam perjalanan dari Pandurangga di negeri Campa ke Palembang untuk mengunjungi kemenakan tiri istrinya yang menjadi Adipati Palembang. Dalam perisriwa itu, Thio Bun Cai menyaksikan keajaiban pada diri Syaikh Ibrahim. Ceritanya, saat kapal dari Campa itu dikepung, terjadi kepanikan di antara para penumpangnya. Bahkan dalam kepanikan itu seorang penumpang anak-anak berusia lima tahun jatuh ke laut dan hilang ditelan ombak. Saat itulah, seorang penumpang yang kemudian dikenal bernama Syaikh Ibrahim as-Samarkandy melompat ke laut. Ajaib, tubuhnya tidak tenggelam. Sebaliknya, dengan tenang ia berdiri di atas hamparan air laut. Kemudian ia membungkuk dan tangannya menggapai kebawah Lalu dalam sekejap terlihatlah anak kecil yang sebelumnya sudah tenggelam itu. Dan seperti gerakan rajawali, Syaikh Ibrahim menggendong anak itu dan membawanya melompat ke atas kapal.
Thio Bun Cai dan anak buahnya terkesima menyaksikan pemandangan menakjubkan itu. Melalui ketakjuban itulah Thio Bun Cai akhirnya melepas mangsanya. Bahkan seperti terpesona oleh sesuatu yang ada di dalam diri Syaikh Ibrahim, Thio Bun Cai mengikuti ke mana pun ia pergi. Sejak pertemuan itu terjadi perubahan besar di dalam hidupnya. Dia yang sebelumnya telengas dan kejam tiba-tiba berubah menjadi penyabar dan penyayang. Dia yang sebelumnya sangat berkuasa tiba-tiba selalu mengalah dalam setiap persoalan. Dia yang sebelumnya memiliki bukit harta hasil rampokan tiba-tiba membagikan seluruh kekayaannya kepada orang-orang miskin tanpa sisa. Bahkan puncak dari perubahan itu terlihat ketika dia mengikrarkan diri sebagai Muslim dan menunaikan ibadah haji ke tanah suci dengan menggunakan jung, satu-satunya miliknya yang tersisa.
Sepulang Haji, Thio Bun Cai mendapat nama baru: Haji Nasuhah. Karena, dia telah berikrar untuk melakukan-taubatan nashuhah, yakni tidak akan mengulangi kesalahan dan kekeliruannya di masa lampau. Dan sejak itu, perkumpulan bajak laut yang dipimpinnya di-bubarkan. Atas jasa baik Syaikh Ibrahim, para bekas anak buahnya dijadikan pengawal samudeta Adipati Palembang. Thio Bun Cai yang sudah menjadi Haji Nasuhah menghabiskan sisa hidupnya dengan memperbanyak ibadah. Kalau pun dia dituntut untuk bekerja maka hal itu dilakukan hanya sebatas mengantarkan orang-otang yang butuh tenaga dan ketrampilannya mengarungi samudera.
Putaran roda kehidupan Haji Nasuhah sangat menarik hati San All. Itu sebabnya, sepanjang perjalanan mengarungi laut, ia terus bertanya berbagai hal, terutama tentang Syaikh Ibrahim as-Samarkandy yang memiliki kelebihan karomah. Haji Nasuhah, entah kenapa, didesak oleh semacam keharusan untuk menjawab semua pertanyaan San Ali. Lantaran itu, hampir seluruh waktu senggang mereka gunakan untuk berbicara berbagai hal, terutama yang bersangkut-paut dengan perjuangan menuju 'Aku' yang dilingkari berlapis-lapis hijab.
Lewat perbincangan dan membanding-banding-kan pengalaman masing-masing, San Ali menangkap kesamaan dalam tataran amaliah ketika seseorang melakukan taubatan nashuhah – menghadapkan pikiran dan perasaan hanya kepada Allah—untuk menuju hakikat 'Aku'. Kesamaan itu melipuri 'kewajiban' meninggalkan segala sesuatu, baik sukarela atau terpaksa, kecuali Allah.
Meski menangkap adanya kesamaan, San Ali menginginkan kepastian dari simpulannya itu dengan menanyakan langsung kepada Haji Nasuhah. "Apakah orang-orang yang menuju ke Dia memang wajib' meninggalkan segala sesuatu yang bukan Dia?" "Aku kira engkau sudah mengalami peristiwa itu. Aku kira engkau pun sudah merasakan betapa pahit-nya harus melepas segala yang pernah engkau miliki. Dan kita masing-masing akan mengalami tingkat ke-pahitan sesuai tingkat kepemilikan kita. Semakin kuat perasaan dan pikiran kita mencintai segala yang kita anggap milik kita maka semakin kuat pula tingkat kepahitan yang harus kita telan," kata Haji Nasuhah.
"Apakah pada awalnya Tuan Haji merasa pahit ketika harus membagi-bagikan harta benda yang Tuan miliki kepada orang lain?" tanya San Ali.
"Soal membagi-bagi harta malah kulakukan dengan sukarela seolah-olah otang memikul yang berusaha melepas beban," kata Haji Nasuhah datar.
"Jikalau begitu, peristiwa pelepasan apa yang menurut Tuan Haji sangat pahit dan menyakitkan?" San Ali memburu.
Ketika aku harus kehilangan anak dan istri yang kutinggalkan di pulau Lingga. Ketika istriku meninggal akibat terkena sampar, anak lelakiku satu-satunya, Thio Ban Tong, yang berusia sembilan tahun menghilang tak diketahui rimbanya. Orang-orang kepercayaanku yang kutugaskan menjaganya ternyata tidak rnengetahui ke mana anak tunggal penyambung kehidup-an leluhurku itu pergi."
"Istri mati mungkin masih bisa aku mencari ganti Tetapi, kalau anak lelaki hilang tak tentu rimba ke mana pula harus kucari ganti? Karena itu, o Anak Muda, waktu itu kulewati dengan segala kepanikan. Kuancam bunuh semua orang kepercayaanku jika mereka tidak menemukan anak yang kuamanatkan penjagaannya kepada mereka. Kusekap anak-anak mereka untuk memaksa agar mereka benar-benar mencari anakku."
"Di saat kepanikanku memuncak, tiba-tiba Syaikh Ibrahim datang. Dengan nasihat dan uraiannya tentang hukum kehidupan dan orang-orang yang 'dipanggil' oleh Allah maka sadarlah aku bahwa segala apa yang kualami itu adalah bagian dari cobaan Allah untuk meng-uji tekadku bertaubat. Setelah itu, seluruh sisa harta milikku kubagi-bagikan dan aku menunaikan haji ke tanah suci. Persoalan hilangnya Thio Ban Tong kuserah-kan kepada-Nya. Dia yang memberi Dia pula yang berhak meminta kembali."
"Kemarahanku pun akhirnya pudar. Kumaafkan mereka dan kukembalikan anak-anak mereka. Kukatakan kepada mereka bahwa betapa pun ketat anakku dijaga, bahkan ketika kujaga sendiri, kalau Dia telah berkehendak meminta maka tidak ada satu pun makhluk bisa menghalangi. Dan akhimya aku sendiri menyadari betapa sebenarnya diriku tidak memiliki apa-apa di dunia ini; nama besar, kekayaan, istri, anak, tubuh, nyawa dan ruhku sendiri; semua milik Allah," papar Haji Nasuhah.
"Berarti Tuan Haji sekarang ini sebatangkara seperti saya?"
"Bagi mereka yang sudah "bangun', seluruh manusia pada dasamya sebatangkara di dunia ini. Itu sebab-nya, bagi mereka yang sudah 'bangun' ridak dikenal kebanggaan atas ras, suku bangsa, marga, keluarga, nama besar, atau apa saja yang bersifat kelompok. Dan bagi mereka yang sudah "bangun', menjadi suatu 'ke-wajiban' untuk menggantungkan kesebatangkaraan-nya kepada Dia Yang Mahatunggal; Dia Yang Mahasebatangkara, yang ridak memiliki istri, anak, keluarga, dan kerabat; kepada Dia jua kita, orang-orang sebatangkara ini, wajib mengarahkan harapan dan tujuan."
"Kalau jalan menuju Dia harus dilalui dengan meninggalkan segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia, kenapa Dia menciptakan dunia?" tanya San Ali
"Tidakkah engkau ketahui bahwa dunia ini diciptakan bagai penjara bagi kita?"
“Penjara?" sergah San Ali heran. Ketahuilah, o Anak Muda, bahwa dunia ini adalah tempat leluhur kita, Bapa Adam dan Ibu Hawa, menjalani hukuman setelah melanggar perintah Allah. Jadi, hakikat dunia ini sebenamya adalah penjara bagi Bapa Adam dan Ibu Hawa beserta keturunannya. Dan seperti makna ad-dunya sendiri yang berarti dekat atau singkat, maka kehidupan di dunia ini sungguh hanya persinggahan singkat belaka bagi anak cucu Adam dan Hawa yang memikul hukuman di penjara bernama dunia ini. Karena itu, bagi meteka yang sudah 'bangun' akan memandang bahwa tidak pantas dan sangat keliru jika manusia sebagai keturunan Adam dan Hawa menjadikan dunia ini sebagai human yang menyenang-kan, apalagi sampai membangun mahligai kekuasaan dan kekayaan turun-temurun, seolah-olah dunia ini human abadi."
"Jika demikian, kenapa kita hatus bekerja mencari nafkah jika pada akhirnya kita harus menganggap dunia ini penjara yang tidak menyenangkan?"
"Karena tubuh kita adalah bagian dar jazad maddi (materi) maka tubuh kita pun membutuhkan makanan dan minuman bersifat maddi (materi). Karena itulah, agama mengajarkan agar kita, manusia, keturunan Adam dan Hawa, tidak berlebihan dalam memanfaat-kan dunia apalagi sampai mencintainya."
"Ada kisah menarik tentang pemanfaatan dunia yang kuperoleh dari guru agungku, Syaikh Ibrahim, melalui cerita pemburu kera," lanjut Haji Nasuhah.
Pemburu itu tahu bahwa kera sangat suka buah ceri, la sangat paham cara berpikir kera. Itu sebabnya ia menempatkan buah-buah ceri ke dalam botol gelas bening yang berleher sempit. Kemudian ia letakkan botol gelas itu di tempat kera-kera biasanya berkeliaran.
Tak lama, pemburu itu melihat seekor kera datang. Kera itu memasukkan tangannya ke dalam botol dan mengambil buah ceri dalam jumlah banyak. Tetapi, dia kemudkn sadar bahwa tangannya yang menggenggam buah ceri tidak bisa ditarik keluar.
Kera menjerit-jerit panik. Tangannya tidak bisa lepas dari botol karena dia tetap menggenggam erat buah ceri. Sang pemburu kemudian datang. Kera ke-takutan dan berusaha melarikan diri, namun karena tangannya membawa botol maka dia tidak dapat ber-lari kencang. Setelah tertangkap, pemburu itu memukul siku kera sehingga genggamannya atas buah-buah ceri itu mengendor. Tangan kera itu memang bisa lepas dari botol, tetapi ia telah tertangkap.
"Aku segera menyadari bahwa kera yang dimaksud di dalam kisah itu adalah aku. Betapa kusadari bahwa selama itu aku terlalu menggenggam erat-erat harta duniawi sehingga aku tidak bisa melepaskan diri dari jeratan botol duniawi. Kematian istri dan kehilangan istri dan anak kesayangan kuanggap sebagai pukulan “Sang Pemburu' ke sikuku. Nah, sekarang ini aku merasa sebagai kera yang bebas dari jeratan botol, tetapi harus patuh dan setia kepada 'Sang Pemburu' yang memeliharaku dengan balk. Aku tidak perlu lagi mencari buah ceri karena Dia telah menyediakan semua kebutuhanku."

Cahaya Iman 
BULAN purnama bercahaya terang di hamparan permadani langit yang membiru. Cahayanya menyinari permukaan bumi Palembang yang sudah tua dan terlalu kenyang mengenyam pahit dan getir kehidupan penghuninya.
Lebih dari seribu tahun, bergantian kapal, jung, perahu, dan sampan melintas dan berlabuh. Dari kaum, bangsawan, saudagar, pendeta, perampok, hingga gelandangan pernah tinggal di pangkuan bumi Palembang sejak kekuasaan Sriwijaya ditegakkan di sana.
Kemakmuran Palembang sebagai bandar perniagaan menarik hasrat siapa pun untuk bisa menguasai pusat kenikmatan duniawi yang terletak di tengah hamparan samudera itu. Wangsa Ming yang berkuasa didaratan Cina pun tergiur oleh kemolekan dan kecantikan Palembang. Itu sebabnya, ketika utusan dari Palembang-yang merupakan bagian dari Majapahit menghadap Kaisar Cina, ia disambut dengan penuh kemuliaan seolah-olah duta sebuah negeri merdeka.
Hayam Wuruk, Maharaja Majapahit, sangat murka dengan tindakan Kaisar Cina yang menerima dan memperlakukan utusan Palembang seperti seorang duta. la kemudian menggerakkan armada Majapahit meluluhlantakan bandar Palembang. Setelah peristiwa itu, ia menunjuk salah seorang saudara tirinya—putera Prabu Kertawarddhana dari istri selir, adik dan Singhawarddhana—yang bernama Parameswara menjadi Adipati Palembang.
Tetapi, pesona bandar Palembang telah menggoyahkan kesetiaan Parameswara tak lama setelah Hayam Wuruk mangkat Parameswara menyatakan Palembang sebagai negara merdeka. Wikramawarddhana, yang masih kemenakan Parameswara, menolak pernyataan sepihak Adipati Palembang itu. Armada Majapahit sekali lagi dikerahkan untuk menghancurkan Palembang. Parameswara melarikan diri dan akhirnya mendirikan Kerajaan Malaka.
Sementara itu, usai pemberontakan Parameswara, kekacauan dan kerusuhan meluas di Palembang. Sejarah kemudian mencatat, di dalam kekacauan itu telah muncul seorang bajak laut bernama Liang Tau Ming. Dengan seluruh kekejaman dan kebrutalannya, dia menanamkan cakar kekuasaan di bandar Palembang. Liang Tau Ming tidak membawa kemakmuran apa pun, kecuali makin meningkatnya kekacauan dan ketidak-seimbangan hidup rakyat Palembang. Dan Palembang yang kala itu disebut Ku Kang pun tenggelam dalam kegeriran yang menyakitkan.
Bukan hanya penghuni bandar Palembang yang merasakan kegeritan di bawah kekuasaan Liang Tau Ming, saudagar-saudagar Cina pun merasakan kepahitan serupa sehingga mereka beramai-ramai melapor kepada Kaisar. Liang Tau Ming kemudian dieksekusi. Sebagai gantinya tampillah Ceng Po Ko yang selalu mengirim upeti sebagai bukti bahwa bandar itu tunduk di bawah kekuasaan Kaisar Cina.
Kerajaan Majapahit yang makin melemah kekuatannya tidak mengambil tindakan apa pun terhadap kebijakan Kaisar Cina yang telah menjadikan Palembang sebagai bagian dari kekuasaannya. Majapahit terus di-sibukkan dengan pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri. Namun, saat Prabu Kertawijaya naik tahta dengan gelar Prabu Wijaya Parakramawarddhana yang lazim disebut Brawijaya V, masalah Palembang mulai menjadi perhartan penting. la mengirimkan se­orang puteranya yang bernama Ario Damar sebagai Adipati Palembang dengan tugas utama mengembalikan bandar tua itu ke pangkuan Majapahit.
Ario Damar adalah ksatria tangguh yang telah teruji kecerdasan dan kesaktiannya dalam menumpas pemberontakan maupun memperbaiki, menata, dan membangun kembali negeri-negeri yang rusak akibat peperangan. la dikenal sebagai negarawan ulung.
Ario Damar sejak kecil diasuh oleh uwaknya— kakak kandung ibundanya—seorang pendeta Bhirawatantra bernama Ki Kumbharawa (dalam bahasa jawa Kuno berarti "matahari di dalam tempayan") yang tinggal di hutan Wanasalam di selatan ibukota Majapahit. Ibunda Ario Damar yang bemama Endang Sasmitapura adalah pengamal ajaran Bhirawatantra. Itu sebabnya saat hamil tua la diusir oleh suaminya, Prabu Kertawijaya, dari istana Bre Tumapel, karena kedapatan melakukan pancamakara, yaitu upacara minum darah dan memakan daging manusia.
Oleh didikan Ki Kumbharawa dan ibundanya, Ario Damar tumbuh sebagai pemuda yang memiliki berbagai kesaktian dan kedigdayaan luar biasa. Itu se­babnya, saat mengabdi ke Majapahit ia dapat menye-lesaikan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Bahkan di antara penganut ajaran Bhirawatantra kala itu, Ario Damar dianggap sebagai salah seorang tokoh yang paling sempurna ilmunya sehingga ia disegani balk oleh kawan maupun lawan.
Dengan kemampuannya yang luar biasa itu, Ario Damar berhasil mengembalikan Palembang ke pangkuan Majapahit. la mampu menaptakan suasana aman dan tenteram, juga memakmurkan rakyat Palembang. Palembang yang sudah terpuruk ke jurang kebinasaan itu ternyata bisa bangkit lagi.
Untuk menunjukkan kekuasaan Majapahit atas masyarakat Cina yang selama itu tunduk kepada Kaisar Cina, Prabu Kertawijaya menganugerahkan seorang selirnya bernama Retno Subanci kepada Ario Damar. Retno Subanci merupakan puteri saudagar Cina Muslim bernama Encik Ban Chun, asal Gresik. Saat diberikan kepada Ario Damar, dia sedang me-ngandung anak Prabu Kertawijaya.
Keberhasilan Ario Damar dalam merebut dan membangun bandar Palembang ternyata berlanjut dengan keberhasilan dirinya membangun nilai-nilai baru yang bersumber pada ajaran Islam. Ario Damar yang sejak kecil akrab dengan ajaran Bhirawatantra; tanpa pernah ada yang menduga sebelumnya, telah memperoleh hidayah cahaya iman dari Allah melalui perantaraan Syaikh Ibrahim as-Samarkandy, saudara ipar Ratu Darawati, istri Prabu Kertawijaya yang ber-asal dari negeri Campa.
Berita itu menggemparkan para pejabat dan rakyat Palembang, bahkan Dyah Suraprabhawa, Maharaja Majapahit, saudara tiri Ario Damar, mengirim utusan untuk mcmpertanyakan kesetiaannya kepada Majapahit. Ario Damar dengan tugas menyatakan bahwa persoalan ia memeluk Islam adalah persoalan pribadi yang tidak bisa dikait-kaitkan dengan kesetiaanya pada Majapahit. Kepada utusan itu Ario Damar memberikan keris pusaka Kiai Kala Cangah yang ujungnya bercabang dua serta upeti berupa emas dan permata sebagai bukti bahwa ia tetap setia kepada Majapahit, meski telah berpindah agama.
Keislaman Ario Damar ternyata tidak hanya ber-pengaruh pada perubahan suasana kehidupan pribadi dan isi kadipaten, tetapi juga meluas sampai keluar Palembang. la mengganti namanya menjadi Ario Abdillah. Putera tirinya diberi nama Raden Kasan, kelak menjadi Arya Sumangsang alias Raden Patah, Adipati Demak. Putera sulungnya dari Remo Subanci dinamakan Raden Kusen—kelak menjadi Pecat Tandha di Terung.
Ketika usianya makin merambat senja, Ario Abdillah meninggalkan kadipaten. la digantikan oleh Adipati Karang Widara yang bemama Pangeran Surodirejo, yang tidak lain adalah putera Raden Kusen. Ario Abdillah kemudian memilih tinggal di rumah sederhana di kampung yang dinamakan Pedamaran (artinya kediaman Ano Damar). Dari Pedamaran itulah ia memberitakan kebenaran ajaran Islam. Mula-mula ia menyiarkan ke­pada penduduk di sekitar Pedamaran. Dulu penduduk di sana terkenal sangat menentang ajaran Islam yang disebarkan oleh Syarif Husin Hidayatullah, bangsawan Arab yang menjadi pemimpin di daerah Usang Sekampung. Namun, di bawah bimbingan Ario Abdillah, penduduk dengan sukarela berkenan memeluk Islam. Begitulah, daerah-daerah kafir seperti Talang LindungBunyian, Lebak Teluk Rasau, Lebak Air Hitam, dan Lebak Segalauh telah menjadi perkampungan Muslim.
Menurut cerita, tak lama setelah memeluk Islam, Ario Abdillah menikahi puteri Syarif Husin Hidayatullah. Dari pernikahan itu lahirlah Raden Ketib yang diberi gelar Pangeran Pandanarang—kelak menjadi bupati Semarang dan puteranya menjadi Sunan Tembayat. Melalui ikatan perkawinan inilah ia dapat menyaarkan Islam sampai ke daerah Siguntang, Prabumulih, dan Meranjat. Syarif Husin Hidayatullah diangkat menjadi Menak (bangsawan) Palembang.
Begitu turun dari perahu, San All langsung menuju ke Pedamaran. Sesampainya di sana, didapatinya Ario Abdillah sedang mengais-ngais tanah di halaman rumah panggungnya. Rupanya, tokoh besar yang berusia hampir delapan puluh tahun iru sedang mencari akar-akar-an untuk obat. Meski usianya sudah sangat tua, sisa-sisa kegagahan tetap terpahat pada otot-otot tubuhnya yang kukuh, Ketenangan jiwa terpancar dari wajahnya yang teduh.
Sekalipun mata Ario Abdillah lebih bulat dan lebih lebar dibanding Raden Kusen, San Ali mendapati betapa bentuk hidung, mulut, kening, bahkan dagu keduanya sangat mirip. Rambut, alis, kumis, dan janggut Ario Abdillah yang memutih tidak menjadikannya manusia renta tanpa daya. Wibawa tetap mcmancar dari tubuh tua itu. Bahkan sjapa saja yang kebetulan melihat sorot matanya, pasti akan merasakan getar kegentaran menerkam jiwa.
Ketika San Ali mendekat, Ario Abdillah dengan tanpa menoleh dan tangan tetap mencabuti akar-akar-an mendendangkan lagu, "Engkau adalah hijab bagi dirimu sendiri, o manusia, maka keluarlah engkau dari-padanya. Pengembaraan adalah pematangan bagi jiwa yang mentah. Jika engkau sudah keluar dari hijabmu maka akan engkau temukan alam semesta di dalam dirimii ibarat lautan engkau temukan di dalam perahu."
San Ali tercekat. la menangkap sasmita tentang kedalaman ajaran di dalam syair lagu itu. Dengan ko-baran rasa ingin tahu yang menggelora, ia mendekat dan berkata penuh harap, "O Tuan Manusia Besar yang sudah tercerahkan, berkenankah Tuan mengajari hamba jalan menuju Dia?"
"Aku?" gumam Ario Abdillah terperanjat. "Aku mengajarimu jalan menuju Dia?"
"Besar harapan hamba, Tuan mengabulkan ke-inginan hamba."
"Tidak ada yang bisa mengajari manusia menuju jalan-Nya kecuali Dia sendiri, dengan jalan-jalan yang ditentukan-Nya."
"Tapi, Tuan?"
"Siapakah engkau dan dari manakah asalmu, o Anak Muda?"
"Hamba San Ali, putera angkat Ki Danusela, Kuwu Caruban."
"Kalau begitu, engkau masih kemenakanku sen­diri karena Ki Danusela adalah saudara tiriku," Ario Abdillah mengangkat alis kanannya ke atas.
"Benar Tuanku, hamba bahkan telah berjumpa dengan Pamanda Raden Kusen, putera Tuanku, di Caruban," San Ali menjelaskan.
Ario Abdillah menunduk. Diam. Sejenak kemu-dlan dia berkata, "Apa yang bisa kuajarkan kepadamu, o Anak, jika engkau memiliki jalan sendiri menuju Dia?"
"Itu benar, o Tuanku. Tetapi, Tuan bisa menceri-takan perjalanan Tuan seliingga hamba bisa mengambtl hikmah di balik cerita Tuan. Hal itu akan hamba jadi-kan pedoman dalam perjalanan hamba menuju Dia."
"Ada banyak orang berkata tentang aku, namun apa yang mereka katakan itu pada hakikatnya ndak tepat sebagaimana aku mengatakan tentang diriku. Akhirnya, aku pun bingung tentang siapa yang paling benar mengatakan tentang aku. Lantaran itu, o Anak, kutinggalkan segala perkataan tentang aku, karena itu semua akan semakin membingungkan 'aku'-ku. Dan ke-tahuilah, o Anak, ketika engkau berkata tentang jalanku maka saat itulah engkau telah memunculkan keakuan, balk keakuanmu maupun keakuanku; yang ujung dari semua itu adalah sia-sia."
"Apakah engkau melihat guna dan manfaat ketika kuceritakan bagaimana kegagahan dan keperkasaanku menghancurkan musuh di medan laga, kalau pada da-sarnya justtu kepahitan yang kudapari dari cerita iru? Adakah guna dan manfaat ketika kuceritakan kepiawaian dan kebijaksanaanku mengatur negeri, kalau pada dasarnya justru kegeriran yang kurasakan? Ada­kah guna dan manfaat ketika kuceritakan bagaimana seharusnya aku merasakan kepuasan karena keturun-anku menjadi penguasa negeri, kalau akhirnya yang kudapatkan justru kekecewaan?"
"Ketahuilah, o Anak, bahwa keperkasaan, kega­gahan, kepintaran, kebajikan, kebijakan, kepuasan din, dan segala macam penilaian yang mengarah pada pepujian din adalah hampa semata dengan tepi kepedihan yang menyiksa. Sebab, saat engkau terperangkap pada penilaian baik atau buruk tentang scsuatu mengenai 'aku'-mu atau 'aku'-ku atau 'aku' siapa saja maka saat itulah telah terjadi pengakuan terhadap sesuatu yang bukan haknya. Dan mengaku yang bukan hak adalah kepedihan tanpa tepi."
"Segala sesuatu yang tergelar di alam semesta ada­lah milik-Nya tanpa kecuali; bintang, bulan, matahari, hewan, manusia, tumbuhan, jin, setan, iblis, malaikat surga, dan neraka. Puji-pujian, kemuliaan, kebesaran, keagungan, dan segala sesuatu sekecil apa pun adalah milik-Nya. Bahkan keimanan sekecil tungau pun ada­lah milik-Nya. Segala adalah milik-Nya. Engkau tak memiliki apa pun balk kekayaan duniawi, keluarga, tubuh, nyawa, ruh, dan bahkan iman sekalipun; semua milik-Nya."
"Kenangkanlah liku-liku jalan yang pernah kulewati sejak aku dllahirkan dari rahim ibundaku, di mana ajaran kebenaran yang kukenal awal sekali ketika aku masih kecil adalah Bhirawatantra yang penuh lumuran darah dan kemarian. Saat itu, sangat kuyakini kebenar-an ajaran dan leluhurku itu sebagai jalan menuju-Nya. Berbagai kesulitan yang kuhadapi dapat kuatasi dengan ilmu-ilmu yang kupelajari dari ajaran itu. Tetapi, di saat aku berada di puncak kemenangan tiba-tiba Dia memberikan cahaya iman ke dalam jiwaku. Dan kutinggalkanlah segala apa yang pernah kuraih sebagai kebanggaan masa mudaku itu."
"Dengan pengalaman hidup yang kulewati ini, o Anak, aku makin sadar bahwa segala sesuatu tanpa kecuali adalah milik-Nya. Karena itu, hari-hariku se-karang ini kuhabiskan untuk menunggu Dia meng-ambil kembali milik-Nya yang kini telah lapuk dan renta dimakan zaman. Dan lantaran itu, kuringgalkan segala sesuatu yang pernah kuanggap sebagai milikku di dunk ini. Kuhadapkan pikiran dan perasaanku hanya kepada-Nya, agar saat Dia mengambilku, seutuhnya diriku kembali kepada-Nya tanpa beban apa pun dati dunia yang pernah kutinggali ini."
"JikaTuan ingin kembali hanya kepada-Nya, hamba yakin itu akan terjadi. Tetapi, mohon Tuan jelaskan kepada hamba bagaimana dengan nasib uwak dan ibunda Tuan yang tetap tinggal di dalam kegelapan ajaran najis itu?" kata San Ali.
"O Anak," sahut Ario Abdillah dengan suara berat. "Engkau tidak bisa menilai sesuatu ajaran sebagai sesuatu yang najis atau suci. Sebab, semua itu berasal dari-Nya. Semua milik-Nya. Perbedaan yang engkau lihat sebenarnya hanya pada tingkat penampakan indriawi belaka; hakikatnya adalah sama, yakni menuju hanya kepada-Nya. Yang gelap maupun yang terang, semua menuju kepada-Nya."
"Hamba kurang paham dengan penjelasan itu, o Tuan." San Ali penasaran.
"Ketahuilah, o Anak, bahwa Dia bukan hanya pemilik segala sesuatu yang tergelar di alam semesta. Dia menata dan mengatur semuanya. Jika engkau se-karang im berada di dalam golongan Muslim yang di-anugerahi iman maka sesungguhnya engkau berada dalam golongan yang tercerahkan oleh cahaya salah satu nama indah-Nya, yakni al-Hadi (Yang Memberi Petunjuk) yang dari-Nya mengalir para malaikat, nabi, rasul, wall, dan orang-orang saleh."
"Sementara jika engkau berada di dalam golongan di luar penganut ajaran Islam yang engkau nilai najis karena berlumur darah, maka sesungguhnya engkau berada di dalam golongan yang terbimbing oleh salah satu nama indah-Nya, yakni al-Mudhill (Yang Menyesatkan) yang dari-Nya mengalir iblis, setan, penyembah berhala, pemuja kegelapan, dan pengorban darah. Tetapi, semua itu bersumber dan-Nya dan bermuara kepada-Nya. Dialah Yang Tunggal, yang memiliki ke-kuasaan mutlak menggolongkan orang ke dalam pancaran masing-masing nama-Nya. Dia pula yang ber-kuasa mudak membimbing orang ke jalan terang atau menyesatkan orang ke jalan gelap, tanpa ada yang bisa mengganggu-gugat."
"Sudah tertulis di dalam dalil: nurun 'ala nurin yahdi Allahu linurihi man yasya'u (Cahaya di atas cahaya, Dia membimbing dengan cahaya-Nya siapa yang Dia ke-hendaki). Tertulis pula dalil: man yahdi Allahu fala mudhilla lahu wa man yudhlilhu fala hadiiya labu (Siapa yang ditunjuki Allah, engkau tak bisa menyesatkan-nya; dan siapa yang disesatkan Allah, tak bisa engkau menunjukinya). Jadi, jalan terang atau jalan gelap, pada hakikatnya tergantung mutlak pada kehendak-Nya."
"Engkau menganggap suci ajaran agamamu karena engkau berada di dalam pandangan agamamu yang menganggap ajaran lain sesat dan najis. Namun, jika engkau berada di dalam ajaran lain maka ajaran yang lain itu akan menilai sesat dan najis agamamu.
Dia memang menempatkan sudut pandang yang berbeda bagi tiap-tiap umat untuk memandang kenyataan yang tergelar di hadapannya. Dengan sudut pandang itulah masing-masing manusia memiliki perbedaan dalam memandang kebenaran agama yang dianutnya. Semua-nya, terutama yang awam, memiliki penilaian bahwa agama yang dianutnya itulah yang paling baik."
"Ketahuilah, o Anak," lanjut Ario Abdilllah, "bahwa orang menjadi Muslim atau menjadi penganut ajaran Bhairawatantra pada hakikatnya bukanlah keinginan pribadinya. Semua yang menentukan adalah Dia. Tidakkah engkau ingat kisah paman Nabi Muhammad yang bemama Abu Thalib? Kenapa lelaki berhati mulia yang sampai akhir hayat membela Nabi Muhammad itu tidak mati dalam keadaan Muslim? Kenapa saat Nabi Muhammad mendoakannya agar menjadi Muslim justtu ditegur oleh Allah bahwa beliau hanya sekadar mennyampaikan seruan Islam, sedang yang menentukan orang menjadi Muslim atau tidak itu adalah Allah?"
"Dengan memahami hakikat ketunggalan-Nya, o Anak, engkau tidak akan terperangkap lagi ke dalam batasan-batasan yang telah dibuat-Nya untuk menghijab ciptaan-Nya dari Dia. Untuk itu, o Anak, jika engkau ingin menuju hanya kepada-Nya maka engkau wajib menyingsingkan tiap-tiap hijab yang membungkus kesadaran sejattmu sehingga engkau memahami bahwa seluruh makhluk di alam semesta ini, mulai dari malaikat, bidadari, manusia, hewan, tumbuhan, jin, setan, bahkan iblis adalah penyembah dan pemuja Dia, meski dengan sebutan dan tata cara yang berbeda. Sesungguhnya Dia itu Esa. Tidak ada sesuatu yang menyamai apalagi menyaingi Dia. Sebab, telah tertulis dalam dalil: kana Allahu wa lam yakun ma'ahu syai'un (Dia ada. Tidak ada sesuatu bersama Dia)."
Bumi manusia kediaman anak cucu Nabi Adam pada dasamya tidak hanya dihuni oleh makhluk-makhluk yang kasatmata. Berbagai makhluk tidak kasatmata pun menjadi penghuni bumi. Bahkan di antara mereka adalah generasi pelanjut makhluk sebelum Nabi Adam menghuni bumi. Mereka berakal dan berbangsa-bangsa. Berbudaya. Berkembang biak. Namun, bentuk fisik mereka tidak padat seperti manusia yang terdiri atas darah, daging, dan tulang. Karenanya, mereka tidak kasatmata.
Kenyataan tentang makhluk tidak kasatmata itu diketahui San Ali saat la diajak berkelana memasuki matra lain dari bumi manusia untuk menyaksikan Keagungan dan Ketidakterbatasan Kuasa Ilahi. San Ali tidak mengetahui ilmu apa yang digunakan Ario Abdillah untuk menembus matra demi matra yang menyelu-bungi bumi. la hanya merasakan saat Ario Abdillah memerintahkannya duduk berhadapan sambil memejamkan mata berkonsentrasi, tiba-tiba tubuhnya merosot ke bawah. Sesaat sesudah itu, ketika membuka mata ia mendapati dirinya berada di sebuah rongga besar dan luas di bawah tanah. Ario Abdillah dilihat-nya berdiri di depannya sambil bersidekap menyilang-kan kedua tangan di dada.
Sebelum San Ali bertanya tiba-tiba Ario Abdillah menjelaskan bahwa mereka berada sekitar tujuh puluh depa dari permukaan tanah. "Ini merupakan lapisan pertama dari kediaman anak cucu makhluk-makhluk penghuni bumi sebelum Nabi Adam diturunkan. Mereka adalah keturunan Banul Jan. Mereka mendiami dasar bumi hingga lapis yang ke tujuh.
"Tuanku, apakah mereka itu yang disebut Jin?" tanya San Ali takjub.
"Kita, umat Islam, menyebutnya seperri itu. Sebenarnya mereka beraneka macam. Bentuk mereka mirip manusia dengan satu kepala, dua tangan, dan dua kaki. Sebagian di antara mereka ada yang memiliki sayap seperri kelelawar dan burung, namun sebagian besar tidak bersayap."
"Apakah mereka hidup dalam puak-puak masyarakat?" San Ali mendecakkan mulut kagum.
"Seperti layaknya manusia, mereka hidup dalam kota-kota dan benteng-benteng. Kendaraan yang me­reka gunakan berjalan sangat cepat tanpa perlu ditarik kuda. Bahkan mereka memiliki kereta perang yang bisa terbang seperri milik dewa-dewa. Berbeda dengan kendaraan manusia, kendaraan makhluk-makhluk itu menimbulkan suara gemuruh yang menggetarkan dada dan memekakkan telinga," Ano Abdillah menguraikan.
"Apakah Tuanku akan mengajak hamba mengunjungi kota-kota mereka?" tanya San Ali dengan rasa ingin tahu berkobar-kobar. "Apakah mereka tidak menyerang kita?"
"Sebelum engkau mengenal mereka, o Anak," kata Ario Damar datar, "engkau harus tahu tentang mereka sehingga engkau tidak terperosok ke jurang kesesatan seperri sebagian manusia yang mengenal mereka."
"Hamba menunggu petunjuk dan akan patuh, Tuan."
Ario Damar diam sesaat. Sejenak sesudah itu, de­ngan suara berat dan penuh keseriusan dia mulai meng­uraikan tentang makhluk-makhluk penghuni dasar bu­mi. Menurut Ario Abdillah, leluhur makhluk-makhluk itu pada zaman dahulu kala menghuni permukaan bumi selayaknya manusia. Namun, mereka sangat sombong dan membanggakan ilmu pengetahuannya. Akhirnya, terperangkaplah mereka ke dalam kebiasaan menumpahkan darah sesamanya. Dengan kereta perang yang bisa terbang, mereka menembus langit menuju ke bintang-bintang tempat kediaman para malaikat, makhluk yang dicipta Allah dari cahaya.
Kesombongan makhluk-makhluk itu menimbulkan kerusakan di permukaan bumi. Tidak hanya makhluk-makhluk itu yang binasa dalam seriap peperangan, tetapi makhluk lain pun ikut menjadi korban. Hewan-hewan raksasa, pepohonan, gunung-gunung, dan hutan-hutan luluh lantak karena senjata mereka yang dahsyat. Kemauan tersebar di mana-mana. Jika tidak segera dicegah maka dipastikan bumi akan binasa.
Gusti Allah memerintahkan para malaikat untuk membinasakan makhluk-makhluk yang ingkar kepada nikmat-Nya dan membanggakan kesombongan diri-nya itu. Gusti Allah akan menggantikan makhluk-makh-luk sombongitu dengan makhluk baru, yakni manusia. Demikianlah, para malaikat beramai-ramai turun ke bumi. Kota-kota dan benteng-benteng mereka yang kokoh dan perkasa diluluhlantakkan. Mereka dibinasakan oleh senjata-senjata malaikat yang lebih dahsyat daripada milik mereka. Sebagian besar di antara mere­ka binasa. Sisanya melarikan diri dari daratan menuju pulau-pulau di tengah samudera. Sebagian lagi bersembunyi di dasar bumi.
Berpuluh, beratus, bahkan beribu tahun makhluk-makhluk sombong yang selamat itu hidup dalam kegelapan dasar bumi. Allah pun menganugerahi mereka dan keturunannya untuk bisa melihat di dalam gelap. Makanan utama mereka adalah saripati tulang-belulang. Tetapi, naluri leluhur mereka yang haus darah tidak juga bisa hilang dari keturunan mereka. Makhluk-makhluk itu tetap gemar minum darah manusia.
"Tuanku," San Ali berkata setelah melihat Ario Abdillah berdiam diri agak lama, "guru agung hamba, Syaikh Datuk Kahfi, pernah membawakan riwayat hadits yang menjelaskan bahwa sebelum Nabi Adam, bumi ini dihuni makhluk dari bangsa jin. Menjelang Nabi Adam turun ke bumi, makhluk-makhluk dari bangsa Jin itu dihalau ke pulau-pulau di samudera. Teta­pi, itu semua hanya penuturan beliau, Tuanku. Hamba belum menyaksikan sendiri."
Ario tidak berkata sepatah pun. Namun, beberapa jenak kemudian tangannya menyambar tangan San Ali. Dan seperti berlari di atas padang rumput yang luas, begitulah Ario Abdillah mengajak San Ali menembusi lorong-lorong bawah tanah yang berliku-liku. Ario Abdillah baru menghentikan langkah ketika mereka sampai di sebuah danau berair jernih yang dilingkan pepohonan rindang.
"Tahukah engkau, o Anak," gumam Ario Abdillah dengan suara ditekan, "di manakah kita berada?"
"Hamba tidak tahu, Tuanku," sahut San Ali.
"Ketahuilah bahwa kita berada di Jawadwipa tepatnya di bawah gunung Anjasmoro."
"Di Jawadwipa?" seru San Ali heran. "Kenapa kita tidak melewati laut?"
"Kita tidak melewari laut karena kita berada di dasar bumi," Ario Abdillah menjelaskan. "Dan ketahuilah bahwa bentangan pulau-pulau di Nusantara pada hakikatnya satu kesatuan ikatan. Adanya laut yang memisahkan pulau satu dengan pulau yang lain bersifat permukaan belaka."
"Luar biasa," gumam San All sambil menyapukan pandangan ke sekitarnya dengan penuh ketakjuban. San Ali yang masih diliputi rasa takjub hanya ter-mangu-mangu keheranan ketika rnenyaksikan kerumunan orang bertubuh cebol dengan kepala besar dan tangan menjuntai ke bawah lutut di sekitar danau tak jauh dari tempatnya berdiri. Salah satunya mermliki janggut memanjang hingga ke dada. Rupanya dialah pemimpin mereka. Dengan celoteh yang tak jelas, dia mendekati Ario Abdillah. Kemudian dengan gerakan menghormat, dia merangkul kaki Ario Abdillah.
Ario Abdillah memperkenalkan orang cebol berjanggut panjang itu kepada San Ali dengan nama Kala Hiwang (Jawa Kuno = Waktu Menyimpang) yang sering dipanggil Buyut Kelewang. Kala Hiwang adalah sahabat yang banyak membantu saat dia masih menggeluti ajaran Bhirawatantra.
Ario Abdillah membaca semacam mantra. Sesaat sesudah itu keanehan terjadi. Tiba-tiba terdengar suara embusan angin bersuit-suit yang diikuti gemuruh bagai halilintar. Kemudian muncul gumpalan asap yang di­ikuti sesosok makhluk bertubuh raksasa dengan kulit hitam legam dan kepak gundul. la tidak berkumis, tetapi janggutnya terjuntai sampai ke perut. Begitu muncul, makhluk itu merunduk dan merangkul kaki Ario Abdillah, seperti Kala Hiwang. Menurut Ario Abdillah, makhluk itu adalah sahabat karibnya yang lain. la bernama Kala Hingsa (Jawa Kuno = Pembunuh Waktu), namun sering disebut Buyut Kelungsu (artinya, isi buah asam yang hitam dan keras).

Ario Abdillah berbicara dengan Kala Hiwang dan Kak Hingsa dengan bahasa yang tidak dimengerti San Ali. Namun, dari nada bicara dan gerak tubuh mereka, ia menangkap makna bahwa mereka bertiga sudah sangat lama tidak berjumpa. Bahkan dalam perbincangan itu, San Ali menangkap isyarat betapa Kala Hiwang dan Kala Hingsa terperangkap ke dalam kesedihan. Ario Abdillah terlihat beberapa kali menarik napas berat seolah-olah melepaskan beban yang meng-gumpal di dada.
Telah cukup lama berbincang-bincang akhirnya Ario Abdillah mengajak San All meninggalkan tempat itu. Kali ini, San All merasakan perjalanannya cepat laksana kilat. Keduanya berhenti di suatu kota yang terang benderang dan berarsitektur aneh. Rumah-rumah dibangun bersusun-susun. Orang-orang berlalu lalang dengan pakaian aneka warna. Kendaraan-kendaraan aneh tanpa hewan penarik berseliweran dengan suara gemuruh. Yang ajaib lagi, lampu-lampu yang menerangi kota tidak menggunakan nyala api.
Ario Abdillah menjelaskan bahwa kota itu terletak di lapis bumi ketujuh, lapisan yang paling dekat dengan tungku api bumi. Para penghuninya berperadaban lebih maju dibanding penghuni di lapisan lain. Meski mereka maju, naluri suka menghirup darah manusia tetap belum hilang. Pada saat-saat tertentu, ketika bumi diliputi kegelapan, terutama saat terjadi gerhana, para peng­huni bumi lapis ketujuh itu beramai-ramai keluar dari kediaman mereka melalui kawah gunung berapi dan gua-gua. Mereka beriringan mencari mangsa untuk di-jadikan jamuan pesta besar di bumi utara yang tenggelam dalam kegelapan selama lima bulan.
San Ali sangat terkesan dengan pengalaman menakjubkan mengenal makhluk-makhluk penghuni bumi selain manusia. Dakm berbagai kesempatan ia terus ber-tanya dan Ario Abdillah berusaha menjawab semua pertanyaannya. Jika dia tidak bisa menjelaskan tentang peradaban dan hasil budaya mereka maka tidak segan-segan dia mengajak San Ali mengunjungi kediaman mereka.
Suatu malam, Ario Abdillah mengajak San Ali me­ngunjungi bangsa Jin yang tinggal di bintang-bintang. la takjub ketika menginjakkan kaki di bintang az-Zulial. Rembulan yang mengambang di langit berjumlah sepuluh. Makhluk-makhluk yang tinggal di sana wujudnya mirip manusia, namun kulit mereka sangat putih. Begitu putih sehingga urat-urat yang melingkar di wajah mereka terlihat jelas. Yang laki-laki sangat tampan. Yang perempuan sangat cantik. Semua berhidung mancung. Mata mereka biru bening bagai kristal. Rambut mereka putih agak kelabu. Anehnya, segala sesuatu yang ada di tempat itu berwama purih. Batu-batuan. Tanah. Gunung. Bangunan. Pepohonan. Bahkan kendaraan-kendaraan aneh yang terbang dengan suara ber-gemuruh.
Ario Abdillah menjelaskan tentang adanya ruh-ruh manusia bumi yang menikah dan tinggal di alam Jin, sedangkan tubuh wadag-nya tetap di bumi. "Badan wadag tanpa ruh itu hidup tanpa kesadaran utuh. Jika ruhnya berbicara dengan siapa saja di alam Jin maka badanwadag-nya akan berbicara juga. Lantaran itu, orang tersebut dianggap gila oleh orang-orang di bumi."
"Jika ruhnya diajak balik ke badan wadag-nya?" tanya San Ali, "apakah orang tersebut akan sembuh dari gila?"
"Tentu saja, o Anak," kata Ano Abdillah, "tetapi untuk membawa kembali ruh bukan pekerjaan gampang. Alam makhluk-makhluk itu sangat luas. Bisa saja ia tinggal di dasar bumi atau di bintang az-Zuhal, az-Zuhrah, al-Utarid, al-Musytari, al-Munkh, bintang Soma, Bhrihaspati, Sukra, bahkan bintang Buda. Lagi pula, belum tentu ruh itu mau diajak balik ke badan wadag-nya di bumi."
Ketakjuban San Ali terhadap kehidupan makhluk-makhluk gaib itu nyaris membawanya ke lingkaran ciptaan Ilahi yang tak diketahui batas akhirnya. la se-olah-olah sudah melupakan tujuan utamanya mcncari Dia Yang Tak Terjangkau dan Tak Bisa Dibayangkan. Andaikata Ano Abdillah tidak menegurnya dengan keras dan mengusirnya, ia tentu akan terus berkutat dengan tumpukan tanda tanya tentang makhluk-makhluk ciptaan Gusti Allah tersebut. San All menyadari kekalahannya. Kemudian dengan penuh takzim ia ber-pamitan.
"Tuanku," katanya seraya bersimpuh di depan Ario Abdillah, "jika pada akhirnya Tuanku menghendaki hamba melanjutkan perjalanan menuju Dia, kenapa selama ini Tuanku memperkenalkan hamba kepada makhluk-makhluk gaib itu? Bukankah lebih balk jika Tuanku mengajarkan hamba cara tersingkat menjalin hubungan dengan Dia?"
"Aku adalah aku. Engkau adalah engkau!" kata Ario Abdillah dengan suara tinggi. "Aku memiliki jalan sendiri. Engkau pun memiliki jalan sendiri. Karena itu, engkau harus mencari jalanmu sendiri, o Anak."
"Jika demikian, mengapa Tuanku memperkenal­kan hamba pada kehidupan makhluk-makhluk gaib?" tanya San Ali penasaran.
"Jalan ini memang harus engkau lalui, o Anak, agar terpatri di dalam jiwa dan pikiranmu bahwa Gusti Allah itu Mahaagung, Mahakuasa, dan Maha Pencipta. Keagungan-Nya tanpa batas. Kekuasaan-Nya tanpa batas. Ciptaan-Nya juga tak diketahui batasnya. Arti-nya, dalam pencarian mengenal Dia, hendaknya cak-rawala pikiranmu menjadi luas seperti hamparan langit Dia bukan hanya Gusti Allah yang disembah umat Islam, melainkan Dia adalah Tuhan yang disembah seluruh umat manusia, hewan, tetumbuhan, jin, malaikat, setan, iblis, bulan, bintang, matahari, dan berbagai makhluk ciptaan-Nya yang tak kita ketahui. Makhluk-makhluk itu hanyalah sebagian kecil saja dari ciptaan-Nya."
San Ali tertunduk diam. Kata-kata yang diucapkan Ario Abdillah pada dasamya tidak jauh berbeda dengan penjelasan guru agungnya. Namun, kenyataan tentang makhluk-makhluk selain manusia benar-benar mencengangkannya dan hampir membuatnya tergelincir dari tujuannya semula.
Ario Abdillah akhirnya berterus terang bahwa tu­juannya bertemu dengan Kala Hiwang dan Kala Hingsa di dasar bumi itu sebenamya hendak berpamltan. "Usia-ku sudah lanjut. Sudah saatnya aku kembali kepada-Nya."
"Bukankah Tuanku masih kuat dan sehat?" tanya San Ali. "Hamba tak yakin barang sepuluh atau lima belas tahun lagi Tuanku bakal meninggal dunia."
"Tidak," sahut Ario Abdillah, "usiaku tinggal sepekan lagi. Pada tanggal kesembilan,-hariSoma Manis (Senin Legi), bulan Waishaka, saat pecat sawet (pukul 10.00), yakni lima hari lagi, itulah saatku meninggal-kan dunia ini. Karena itu, cepat-cepatlah engkau pergi dari sini karena aku tidak ingin menyisakan sesuatu di hati dan pikiranku selain Dia."
"Tuanku," sergah San Ali heran, "bagaimana Tuan­ku bisa tahu dengan sangat jelas saat kematian Tuan?"
"Tidak perlu kujelaskan, tetapi jika engkau teguh pada tekadmu dan setia pada jalanmu maka engkau akan dianugerahi-Nya pengetahuan seperti itu," sahut Ario Abdillah sambil menutup mata dan mulai mengatur napas serta melafalkan dzikir.
"Hamba mohon doa restu, Tuanku," kata San Ali mencium kaki Ario Abdillah. la rasakan ada rongga kosong di dadanya, seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga, meski  tidak tahu gerangan apa yang hilang itu. Dan sesaat ia merasa kehangatan membasahi pipinya. Sadarlah ia bahwa diam-diam titik-titik air bening telah menetes dari kelopak matanya.



Tidak ada komentar: