Suluk Abdul Jalil
Yang dikutuk yang dipuji
LANGIT hitam dipadati gumpalan awan kelabu.
Nusa Jawa yang terapung di permukaan laut bergetar dalam selimut kabut
ketakutan, kegelisahan, keresahan, dan kecurigaan yang menebar di segenap
penjuru hingga ke sudut-sudutnya. Terang matahari dan cahaya rembulan purnama tidak mampu lagi
mengusir kabut tebal yang
menerkam ujung terdalam jiwa manusia yang hidup di atasnya.
Bagaikan
gembala memelihara ternak di tepi hutan yang banyak harimau dan sengala, demikian
para penghuni Nusa Jawa saling melirik dan mencuri pandang dengan sorot mata
penuh curiga, seolah-olah menghadapi ancaman hewan buas.Seiring melesatnya waktu, langit pun terang
tanpa awan biru. Berbeda dengan langit biru terang tanpa awan. Di permukaan Nusa Jawa,
kabut masih kuat dan pekat menutupi seluruh penjuru kehidupan para penghuninya.
Bayangan-bayangan hewan buas dan hantu-hantu yang mengerikan berkeliaran di
tengah gumpalan kabut, menyeringai, meraung, melolong, melenguh,
dan menggeram bagai makhluk haus darah mengintai mangsa. Gerangan apakah yang
terjadi di negeri subur dan makmur berkelimpah padi, buah-buahan, susu, dan
madu itu?Lebih sewindu lalu, menurut cerita burung yang menyebar dari mulut ke
mulut, terjadi prahara yang mengerikan dan menabur kebinasaan di Nusa Jawa. Prahara
itu akibat benturan dahsyat dua angin berkekuatan besar yang membadai, yang
satu adalah badai merah yang datang dari arah barat, sedang yang lain adalah
badai putih yang datang dari timur. Padahal, kedua badai itu pada awalnya sama,
yakni angin sejuk dan segar yang berembus sepoi-sepoi membasahi pepohonan,
rerumputan, serta bebatuan.Penyebutan nama badai merah yang berembus dari barat dinisbatkan kepada
sang penebar badai, Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar (Tanah Merah),
yang digolongkan sebagai pembangkang. Lantaran itu, para pengikutnya disebut
golongan Abangan yang memiliki makna pengikut Syaikh Siti Jenar. Dengan adanya
sebutan Abangan maka kesukaan orang Jawa untuk menyama-nyamakan dan mengaitkan
satu hal dengan hal lain pada gilirannya memunculkan sebutan golongan Putihan,
yang selain dihubungkan dengan pakaian mereka yang serba putih juga dikaitkan
dengan kata patuh (bahasa Arab = Muthi'an).Munculnya sebutan golongan Putihan membawa perkembangan yang lain lagi.
Jika sebelumnya golongan Abangan dinisbatkan sebagai pengikut Syaikh Siti
Jenar maka dengan pemaknaan patuh bagi golongan Putihan menimbulkan asumsi
tidak patuh alias membangkang pada golongan Abangan. Demikianlah, para pengikut
Syaikh Siti Jenar dicap sebagai golongan pembangkang, bahkan murtad.Menurut cerita, benturan dua badai berlawanan arah itu puncaknya
terjadi di Kesultanan Demak, pusat kekuasaan Islam yang paling awal di Nusa
Jawa. Tragisnya, prahara yang merupakan bagian dari drama di atas panggung
kehidupan itu adalah benturan antara angin Islam dan angin Islam sendiri.
Tragedi anak manusia apakah yang sedang berlangsung di zaman itu?Pada perempat awal abad ke-16 Masehi, angin sejuk Islam yang dibawa
oleh para penyebarnya sedang berembus kencang dan membadai di pantai utara
Nusa Jawa. Bagaikan tiupan dari tengah samudera melanda gugusan pantai,
demikianlah angin hijau yang semula sepoi-sepoi membasahi kegersangan jiwa para
penghuni negeri yang telah letih dipanggang hingar-bingar tungku peperangan
itu, berangsur-angsur menjadi badai yang menggetarkan. Hal itu berlangsung
ketika menara gading Majapahit yang pernah menebarkan zaman keemasan di segenap
penjuru negeri telah tak berdaya lagi. Padam. Terpuruk menjadi reruntuhan puing
yang dihuni tikus, anjing geladak, burung gagak, rayap,
dan kuman penyakit.
Di tengah meredupnya cahaya kekuatan Majapahit itulah angin sejuk Islam
secara menggelombang mulai bertiup di pesisir utara Nusa Jawa. Bermula dari
Gresik, Tuban, Ampel Denta, dan Bintara, angin sejuk itu menumbuhkan
benih-benih kehidupan di reruntuhan negeri yang gersang. Bagaikan angin
penggiring awan yang menurunkan rinai hujan, begitulah ia membasahi kegersangan
jiwa penghuni negeri dengan sitaman air ruhaniah. Setapak demi setapak,
tunas-tunas kehidupan ruhani mulai
tumbuh menghijau di tanah kerontang. Dan gumpalan awan pembawa hujan semakin
berarak ke segenap penjuru negeri.
Pada saat yang hampir bersamaan, di bagian barat Nusa Jawa, tepatnya di
Lemah Abang, di tlatah nagari Caruban, bertiuplah angin sejuk Islam yang
membawa gumpalan kabut. Menerobos dan menembus hutan, lembah, gunung, bukit,
jurang, dan persawahan yang kering dicekik kemarau panjang. Gumpalan kabut yang
memuat butir-butir air itu membasahi setapak demi setapak hamparan lembah,
bukit, gunung, ngarai, dan jurang kemanusiaan yang sudah gersang tanpa makna.
Menara gading Galuh dan Pajajaran yang pernah me-mancarkan warna keemasan telah
tidak berdaya kini; terpuruk menjadi reruntuhan puing kemanusiaan yang
menyedihkan.
Embusan angin sejuk Islam yang bertiup makin kencang dari dua arah yang berlawanan
itu ternyata tunduk pada hukum alam. Saat mereka bertemu pada satu pusaran
tiba-tiba berubah menjadi puting beliung berkekuatan raksasa yang berpusar
dahsyat melanda dan membinasakan segala yang diterjangnya. Keduanya bertumbuk.
Dorong-mendorong pun berlangsung seru. Namun, kekuatan dahsyat angin dari timur terbukti memenangkan pergulatan
sehingga angin prahara Islam yang membawa gumpalan kabut itu terdorong ke arah
barat.
Bagaikan al-Maut menggiring wadyabala, begitulah prahara kemanusiaan
itu tanpa kenal ampun melanda pedesaan, meluluhlantahkan rumah, sawah, pasar,
kebun, kandang hewan, hutan, lembah, bukit, dan gunung. Dan di tempat-tempat
di mana angin itu menderu, terhamparlah citra kebinasaan al-Maut; kepala
terpisah dari tubuh, luka menganga, darah mengalir, air mata membanjir, derita
menggenang, kegelisahan mencakar, keresahan menerkam, ketakutan mencekik,
kepanikan merajalela, dan kematian mengintai di setiap sudut kehidupan.
Kebinasaan tampaknya belum cukup mengukir tragedi kehidupan anak
manusia. Iblis, anasir kegelapan yang terlaknat dan terusir, beserta wadyabala bagaikan kawanan gagak pemakan bangkai
yang memencar ke segala penjuru negeri seusai badai berlalu. Demikianlah,
kawanan gagak hitam perwujudan iblis itu beterbangan sambil berkaok-kaok
mengerikan. Menebar fitnah. Memangsa siapa saja yang ditemuinya. Memunguti
serpihan daging dari mayat-mayat yang bergelimpangan.
Langit biru terang tanpa awan. Badai telah berlalu. Terangnya langit biru dan berlalunya angin prahara
yang menebar kebinasaan ternyata tidak serta merta mengusir gumpalan kabut dari
Nusa Jawa. Sejauh mata memandang dari ufuk timur ke barat, hanya ada
puing-puing reruntuhan jiwa manusia yang berserakan tanpa daya. Kesunyian
menghampar. Kesenyapan tergelar. Hanya tangisan bocah-bocah yang menjadi yatim
yang sayup-sayup terdengar memecah hening.
Syaikh Siti Jenar, sang penebar badai, konon mati di tengah amukan
prahara itu. Tak seorang pun tahu di mana kuburnya. Menurut cerita, ada orang
yang menyaksikan mayat Syaikh Siti Jenar berubah menjadi bangkai anjing.
Sebagian menyatakan bangkai itu dihanyutkan ke sungai. Sebagian lagi menyatakan
bangkai itu dikubur di Mantingan. Sedang menurut kesaksian yang lain, bangkai
anjing jelmaan Syaikh Siti Jenar dimakamkan di belakang mihrab Masjid Agung
Demak. Aneh, bangkai anjing dikubur di belakang mihrab masjid.
Lebih aneh lagi ada yang menyaksikan bangkai Syaikh Siti Jenar
menebarkan bau wangi semerbak. Para pengikut setia Syaikh Lemah Abang, seperti Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Tingkir
Banyubiru, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, Sunan Panggung,
dan Ki Lonthang dari waktu ke waktu mengalami nasib tak jauh dari gurunya,
terhempas oleh pusaran angin prahara. Tidak satu pun di antara mereka pemah
diketahui kubumya. Dan bagi pengikut-pengikut dari kalangan kawula alit, tidak
ada yang tersisa dari prahara dahsyat itu kecuali rasa takut, resah, gelisah,
dan curiga yang menerkam jiwa.
Ketakutan, kegelisahan, keresahan, dan kecuriga-an yang melanda kawula
alit pengikut Syaikh Siti Jenar atau mereka yang dianggap berhubungan karena
ikatan darah maupun perkawanan, pada dasarnya bersumber pada fitnah dahsyat
yang disebarkan oleh kawanan gagak jelmaan iblis. Bagaikan ulat menggerogoti
daging, demikianlah fitnah itu ditebar, memisahkan daging dari tulang.
Daging-daging yang dianggap busuk hendaknya dikelupas dari tulang dan dibakar
derni memelihara kesucian. Demikianlah, para pengikut Syaikh Siti Jenar tidak
saja digolongkan sebagai busuk yang membahayakan kesucian tulang, tetapi
dianggap bukan bagian dari tulang. Para
pengikut Syaikh Siti Jenar dianggap telah murtad dan kebenaran Agama
Rasulullah. Kawula alit yang terkena cap sebagai wong Abangan
dianggap sebagai bukan bagian dari umat Islam dan darah mereka halal
ditumpahkan.
Akibat yang ditimbulkan oleh fitnah itu sangat memilukan. Begitu kelam.
Pekat, Gelap. Dan semua itu akibat ketidakmampuan manusia mengendalikan segala
nafsu duniawinya, sehingga terjadilah tragedi: manusia memakan sesamanya.
Kisah-kisah dramatis tentang manusia memakan sesamanya ini dengan cepat
meluas di kalangan kawula alit. Bagaikan cerita menakutkan tentang hantu-hantu
yang bergentayangan, hati meteka diliputi rasa takut, gclisah, resah, dan curiga
mendengarkan betapa mengerikan kisah orang-orang tak bersalah yang binasa
akibat dituduh menjadi pengikut Syaikh Sitijenar. Ada kisah tentang orang-orang kaya yang
binasa dan hartanya dijadikan jarahan. Ada
pula kisah tentang orang-orang beristri cantik yang dimakan fitnah sebagai wong Abangan
kemudian istri-istri mereka dijadikan rebutan. Atau tentang para nayakapraja
yang kehilangan jabatan akibat fitnah dari kawan-kawan yang mengincar kedudukan
mereka.
Hari dan pekan berlalu. Bulan dan tahun pun berganti. Namun rasa takut,
gelisah, resah, dan curiga yang mencekam relung-relung jiwa para penghuni Nusa
Jawa masih tetap bercokol kuat. Sebab kawanan gagak jelmaan iblis masih terus
beterbangan menebar fitnah. Mereka selalu mengikuti ke arah mana serigala-serigala haus darah mencari mangsa. Dan saat
kawanan serigala meninggalkan sisa-sisa daging mangsanya, datanglah kawanan
gagak yang dengan kerakusan tiada tara
memunguti serpih-serpih daging yang sudah basah oleh liur. Itulah upah mcraka
sebagai penebar fitnah.
Giri Amparan Jati, sebuah pesantren yang terletak di lereng gunung
Sembung, di tlatah Kasunanan Cirebon Girang. Pada paro pertama abad ke-16 Giri
Amparan Jati merupakan pusat pendidikan Islam yang menjadi tujuan bagi para
musafir penuntut ilmu dari berbagai penjuru negeri. Tidak berbeda dengan
tempat-tempat lain di Nusa Jawa, di pesantren yang telah berusia hampir satu
abad itu para penghuninya tak luput dari intaian rasa takut, gelisah, resah,
dan curiga akibat hempasan angin prahara yang menebar malapetaka. Bahkan di sana berlaku peraturan
aneh yang dikenakan kepada para santri dan seluruh warga pesantren, yakni
larangan untuk menanyakan segala sesuatu yang berkaitan dengan santri-santri
generasi pertama yang diasuh oleh almarhum Syaikh Datuk Kahfi, pendiri
pesantren.
Karena yang menetapkan larangan itu adalah Syaikh Maulana Jati, Syarif
Hidayatullah, pengasuh pesantren Giri Amparan Jati yang juga Susuhunan Cirebon
Girang, maka peraturan yang aneh
itu dipatuhi begitu saja selama bertahun-tahun tanpa ada yang berani menanyakan
alasannya. Bahkan di kalangan nayaka dan abdi Kasunanan Cirebon Girang pun
tidak ada yang berani bertanya ini dan itu tentang peraturan aneh tersebut.
Mereka seolah sepaham bahwa melanggar peraturan berarti mendatangkan laknat dan
malapetaka.
Manusia adalah manusia. Semakin kuat dilarang akan semakin kuat ia
melanggar. Seperti kisah Nabi Adam dan istrinya, Hawa, keturunan mereka pun
cenderung melanggar sesuatu yang dilarang. Itu sebabnya, meski dipatuhi di permukaan,
di belakang justru dilanggar. Para santri Giri
Amparan Jati, misalnya, dengan mencuri-curi berusaha mencari tahu latar di
balik peraturan itu. Diam-diam mereka menjadikan peraturan itu sebagai bahan
pembicaraan kasak-kusuk, terutama ketika sedang melakukan pekerjaan di luar
waktu belajar. Di sela-sela kegiatan mengambil air untuk mengisi bak mandi,
beristirahat usai berlatih silat, mencari kayu bakar, bahkan menjelang tidur.
Bertolak dari pernbicaraan di lingkungan pesantren
yang diikuti oleh nayaka dan abdi di Kasunanan Cirebon Girang, beredarlah
kisah-kisah menakutkan yang terkait dengan para santri dari generasi pertama.
Dan di antara semua cerita yang simpang-siur itu hampir semuanya terpusat pada
satu tokoh utama bemama Syaikh Datuk Abdul Jalil yang juga disebut Syaikh Siti
Jenar alias Syaikh Lemah Abang. Ternyata dari peraturan aneh itu muncul
keanehan pula, di mana berbagai kisah buruk dan nista bergumul dengan berbagai
kisah terpuji dan mulia tentang tokoh utama yang merupakan santri generasi
pertama itu.
Pada satu sisi banyak beredar cerita kelam dan hitam tentang Syaikh
Datuk Abdul Jalil. Misalnya, ada kisah yang menuturkan bahwa ia semula
merupakan santri taat yang berubah menjadi jahat dan murtad karena mengikuti
ajaran sesat setelah tinggal di Baghdad .
Konon, di sana ia. berguru
kepada raja jin. Ada puk kisah yang menyatakan
bahwa ia sesat karena mempelajari ilmu dari para tukang sihir Baghdad . Kisah sejenis yang lain lagi
menuturkan bahwa santri pertama itu adalah anak yang durhaka terhadap orang
tuanya sehingga diusir dan hidup dalam kesesatan. Ada lagi yang me-nyebutnya sebagai anak
seorang resi yang masuk Islam, namun kemudian memilih jalan sesat hingga murtad
kembali. Bahkan muncul pula kasak-kusuk yang mengatakan bahwa Syaikh Datuk
Abdul Jalil sebenarnya bukan dari golongan manusia. la adalah jelmaan cacing
menjijikkan. Karena itu, kemuliaan Islam tak membawa manfaat apa-apa baginya
kecuali kesesatan yang menuju ke kenistaan dan kehinaan. Bukti bahwa ia bukan
manusia adalah saat mati mayatnya
menjelma menjadi anjing.
Sementara pada sisi lain muncul pula kisah yang menempatkannya sebagai
orang yang terpuji dan mulia. Ada
satu kisah memaparkan bahwa ia adalah adik sepupu Syaikh Datuk Kahfi. Syaikh
Datuk Abdul Jalil dikenal sebagai seorang alim yang berilmu luas bagai
samudera. la lama tinggal di Baghdad dan menjadi
syaikh besar di sana .
Ada pula yang
menuturkan bahwa ia merupakan seorang wali Allah yang keramat yang tanpa kenal
pamrih menyebarkan Islam di bumi Pasundan dan Jawa. Bahkan beredar pula kisah
yang berisi bahwa Syaikh Maulana Jati, Syarif Hidayatullah, adalah putera
menantunya. Karena, istri ketiga beliau, Nyai Kara Baghdad, adalah puteri
Syaikh Datuk Ahdul Jalil.
Pembicaraan kasak-kusuk yang bertentangan itu membuat para santri turut
merasakan getar ketakutan, kegelisahan, keresahan, dan kecurigaan ketika mereka
sampai pada berita-berita yang menyatakan bahwa orang-orang yang menjadi
pengikut atau diduga menjadi pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil dikucilkan dan
dibenci masyarakat. Bahkan beredar pula kisah bahwa mereka dibunuh oleh
orang-orang tak dikenal. Para santri tidak
pernah bertanya apakah peristiwa-peristiwa itu terjadi di dataran Cirebon
Girang atau di tempat lain. Mereka hanya meyakini begitu saja berita-berita itu
sebagai kebenaran yang menakutkan.
Berbagai kisah simpang-siur tentang Syaikh Datuk Abdul Jalil, yang
semula hanya menjadi bahan pembicaraan kasak-kusuk, berubah menjadi persoalan
serius ketika di Pesantren Giri Amparanjati hadir seorang santri baru yang
dihormati: Raden Ketib.
Raden Ketib adalah putera Pangeran Surodirejo, Adipati Palembang . Pangeran
Surodirejo merupakan putera Raden Kusen, Adipati Terung. Raden Kusen adalah
putera Ario Damar, Adipari Palembang terdahulu. Jadi, Raden Kusen adalah
saudara tiri Adipati Demak
Bintara, Raden Fatah. Dengan dernikian, santri baru bernama Raden Ketib itu
adalah putera saudara sepupu Sultan Demak, karena ayahandanya merupakan sepupu
Sultan Tranggana.
Ihwal kehadiran Raden Ketib ke Giri Amparanjati pada mulanya bukan
sepenuhnya untuk menuntut ilmu keislaman kepada Syaikh Maulana Jati. Sebab,
ayah-anda Raden Ketib mengirimnya ke Giri Amparanjati atas permintaan kakeknya,
Raden Kusen.
Ceritanya, setelah Majapahit runtuh oleh serangan pasukan tombak yang
dipimpin Susuhunan Kudus dan Pangeran Pancawati, Raden Kusen yang menjadi
panglima perang Majapahit ditawan. Namun, karena Raden Kusen adalah paman
Sultan Tranggana maka dia kemudian dibawa ke Demak. Setelah beberapa waktu tinggal di sana , Raden Kusen dipindahkan ke Kudus.
Kepindahan ini ada kaitannya dengan hubungan keluargaan antara Raden Kusen dan
Susuhunan Kudus. Sebab, puteri Raden Kusen adalah istri Susuhunan Kudus.
Selanjutnya, panglima tua itu dibawa ke Cirebon Girang dan tinggal di sana dengan menggunakan
nama Pangeran Pamelekaran. Dia diambil menantu oleh Susuhunan Cirebon Girang,
Syaikh Maulana Jati, dengan menikahi puterinya yang bemama Nyai Mertasati.
Meski didampingi istri yang cantik dan muda, jiwa Pangeran Pamelekaran tetap
hampa. Sebab bagi orang setua dia, kehadiran cucu yang bisa mendengarkan dengan
bangga kisah-kisah keperwiraan dan kebesarannya di masa lampau adalah daya
hidup yang dahsyat baginya. Itu sebabnya, dia meminta Pangeran Surodirejo agar
mengirimkan salah satu puteranya untuk menuntut ilmu di Giri Amparan Jati
sekaligus akan diasuh dan dididik sendiri di ndalemPamelekaran.
Menyadari bahwa ayahandanya adalah perwira unggul yang selalu jaya di medan tempur dan dikenal
sebagai ahli tata praja sehingga menduduki jabatan Pecat Tandba (pejabat yang mengurus pajak
dan bea cukai) di Terung, maka Pangeran Surodirejo pun mengirimkan putera
sulungnya, Raden Ketib. la mengharapkan Raden Ketib kelak menjadi penggantinya
sebagai Adipati Palembang. Pangeran Surodirejo yakin di bawah asuhan dan
didikan kakeknya, Raden Ketib akan menjadi pemimpin yang ulet, tegas, teguh
pendirian, dermawan, adil, dan dicintai rakyat.
Saat dikirim ke Giri Amparan Jati, Raden Ketib adalah pemuda berusia
enam belas tahun. Sedikitpun ia tidak pernah mengetahui maksud lain ayahandanya
mengirim dirinya ke Pesantren Giri Amparanjati. la mengira kehadirannya di
pesantren itu semata-mata untuk menuntut ilmu atas petunjuk kakeknya. Itu
sebabnya, meski keluarga pesantren sangat menghormatinya sebagai cucu Pangeran Pamelekaran , ia berusaha menjadi santri yang tidak
menginginkan keistimewaan apa pun. Bersama-sama dengan santri yang lain, ia
mencari kayu bakar, mengisi bak mandi, berlatih silat, dan tidur berama-ramai
di gubuk bambu beratap daun talas.
Usai mengerjakan
tugas-tugasnya sebagai santri, biasanya di malam hari, Raden Ketib, sesuai
pesan ayahandanya, datang ke ndalem Pamelekaran untuk menimba
berbagai ilmu pengetahuan dari kakeknya, terutama ilmu keprajuritan dan tata
praja. Namun berbeda dengan harapan ayahandanya, Raden Ketib ternyata tidak
tertarik dengan ilmu keprajuritan dan tata praja. la lebih suka mendengarkan
cerita tentang kenakalan-kenakalan kakeknya semasa remaja atau tentang
pengalaman kakeknya mengarungi samudera kehidupan. Dan Pangeran Pamelekaran
yang sudah tua itu tampaknya lebih suka bercerita tentang berbagai
pengalamannya daripada mengajari cucunya dengan ilmu keprajuritan dan tata
praja.
Raden Ketib merupakan pemuda yang rendah hati. Itu tampak
dari kegemarannya mengajak kawan-kawannya sesama santri untuk berkunjung ke ndalem Pamelekaran mendengarkan
cerita-cerita menakjubkan yang pemah dialami kakeknya. la juga dikenal dermawan
sehingga tak jarang uang saku yang diperoleh dari kakeknya habis dibagi-bagikan
untuk kawan-kawannya. Sering juga ia ikut berkunjung ke rumah salah seorang
kawannya yang ayahnya hanya seorang gedeng atau malah kuwu.
Bermula dari keakraban dengan kawan-kawan sesama santri, ia
mengetahui tentang peraturan aneh serta kasak-kusuk itu. Raden Ketib tidak
pernah menduga bahwa cerita yang pernah ia dengar tentang Syaikh Siti Jenar
yang sesat dan murtad dari guru mengajinya itu ternyata berasal dari pesantren
di mana ia menimba ilmu sekarang ini. Namun berbeda dengan kisah-kisah yang
pernah ia dengar selama di Palembang ,
ternyata di Giri Amparan Jati ada beberapa kisah yang menggambarkan syaikh
murtad itu sebagai orang yang terpuji dan mulia. Bahkan yang membuat keningnya
berkerut adalah bisik-bisik yang menyatakan bahwa istri Syaikh Maulana Jati
adalah puteri Syaikh Siti Jenar.
Kesimpangsiuran itu menumbuhkan rasa ingin tahu Raden
Ketib. Cerita-cerita itu begitu menakjubkan. Ia sangat ingin menyingkap kabut
yang menyelimuti kehidupan santri Giri Amparan Jati generasi pertama itu. Benarkah Syaikh Datuk Abdul Jalil sesat dan
murtad? Benarkah dia berguru kepada tukang sihir Baghdad ? Benarkah dia anak durhaka? Benarkah
dia bukan manusia, melainkan seekor cacing tanpa ayah dan ibu? Benarkah dia
ayahanda Nyai Rara Baghdad? Benarkah dia adik sepupu Syaikh Datuk Kahfi, Sunan
Jati Purba, pendiri pesantren Giri Amparan Jati? Benarkah dia wali Allah yang
menyebarkan Islam tanpa pamrih di nagari Galuh, Kretabhumi, Sumedanglarang,
Sadawarna, Subang, Luragung, Bantarkawung, Demak, Majenang, Pasir, Mataram,
hingga Pengging?
Kecamuk tanda tanya yang berjejal-jejal di kepala Raden
Ketib menjadi bara api penasaran yang membakar hati dan benaknya, terutama
setelah ia menghadapi jalan buntu ketika berusaha menguak lebih dalam tentang
keberadaan Syaikh Datuk Abdul Jalil yang membingungkan itu. Jalan buntu itu
bermula dari kecurigaan yang mencuat dari setiap orang yang ditanyainya. Santri
Giri Amparan Jati, nayaka, dan abdi Kasunanan Cirebon Girang tampaknya
sama-sama memahami bahwa Raden Ketib adalah cucu Pangeran Pamelekaran. Ia juga
kemenakan Sultan Demak. Itu sebabnya, mereka diam-diam menaruh curiga bahwa
sangat mungkin Raden Ketib dikirim ke Giri Amparan Jati dan Kasunanan Cirebon
Girang dilatari tujuan untuk mencari sisik-melik yang berkaitan dengan ajaran
sesat Syaikh Datuk Abdul Jalil.
Menghadapi jalan buntu itu sempat terbersit di benak Raden
Ketib niat untuk menanyakan langsung hal tersebut kepada ramanda gurunya,
Syaikh Maulana Jati. Namun, sebagai seorang yang sejak kecil dididik di
lingkungan Kadipaten Palembang yang menanamkan nilai-nilai penghormatan dan
pemuliaan terhadap guru, maka niat itu dibatalkannya. Apalagi dalam hal itu ada
kasak-kusuk yang menyatakan bahwa ramanda gurunya adalah menantu Syaikh Datuk
Abdul Jalil. Tentunya hal itu sangat kurang ajar dan tidak mengenal tata krama
bagi seorang santri yang wajib memuliakan gurunya.
Ketika mendengarkan cerita-cerita kakeknya, sempat pula
terbersit keinginan di benak Raden Ketib untuk menanyakan tentang kisah Syaikh
Datuk Abdul Jalil. Namun, keinginan itu lagi-lagi terpaksa ditahan. Raden Ketib
sadar bahwa kakeknya menetap di Cirebon Girang baru beberapa tahun saja.
Sementara Syaikh Datuk Abdul Jalil saat tinggal di Cirebon Girang sudah puluhan
tahun silam. Di samping itu, ia tidak ingin menyinggung perasaan kakeknya
karena bagaimanapun Sultan Demak yang mendiamkan saja pembunuhan Syaikh Abdul
Jalil oleh Sunan Kudus itu adalah kemenakannya. Terlebih lagi, Sunan Kudus
sendiri adalah menantunya.
Keinginan kuat Raden Ketib untuk menguak rahasia Syaikh
Datuk Abdul Jalil temyata makin meningkatkan kecurigaan para santri, nayaka,
dan abdi Kasunanan Cirebon Girang. Dengan cara terang-terangan atau samar,
mereka berusaha menghindar setiap kali didekati Raden Ketib. Sebagai orang yang
tanggap dengan keadaan, ia cepat menyadari bahwa dirinya diam-diam telah
dikucilkan dari kehidupan pesantren maupun kasunanan.
Menyadari bahwa dirinya tidak melihat kemungkinan memperoleh
sesuatu dari pesantren maupun kasunanan maka dengan semangat tetap membara ia
berusaha mencari penjelasan dari tempat kin. Diam-diam pada waktu senggang ia
berkeliling ke desa-desa di sekitar Giri Amparan Jati. Berangkat dan pengalaman
di pesantren dan kasunanan, Raden Ketib tidak menanyakan langsung segala
sesuatu yang berkait dengan Syaikh Datuk Abdul Jalil. la biasanya memulai pembicaraan
dengan menanyakan ihwal keberadaan desa yang disinggahinya, baik berkait dengan
nama desa, pendiri, asal usul surau, dan berbagai hal yang menyangkut desa
tersebut.
Hari dan pekan berlalu. Perjuangan gigih Raden Ketib untuk
menguak rahasia kebenaran di balik cerita-cerita tentang Syaikh Datuk Abdul
Jalil mendatang-kan hasil juga, meski berserakan dan tidak utuh. Misalnya saja,
ketika memperoleh penjelasan bahwa pada awal didirikan oleh Syaikh Datuk Kahfi,
Giri Amparan Jati dinamakan padepokan. Sebutan pesantren baru dilakukan oleh
seorang santri dari generasi keempat bernama Raden Sahid asal Tuban yang
bergelar Syaikh Malaya, setelah Syaikh Datuk Kahfi wafat. Dia menyarankan
kepada Syaikh Maulana Jati agar nama padepokan diganti menjadi pesantren.
Lain dari itu, Raden Ketib beroleh pula penjelasan tentang
siapa saja di antara santri-santri Giri Amparan jati generasi pertama yang
kemudian menjadi pengikut Syaikh Datuk Abdul Jalil. Di antara mereka itu,
menurut cerita yang didengar Raden Ketib, adalah Ki Gedeng Pasambangan, cucu Ki
Gedeng Tapa, Ki Gedeng Tegal Alang-Alang, Ki Gedeng Babadan, Ki Gedeng
Surantaka, dan Ki Gedeng Singapura. Mereka itu adalah kawan-kawan akrab Syaikh
Datuk Abdul Jalil sejak usia lima
tahunan di bawah asuhan Syaikh Datuk Kahfi. Mereka tumbuh bersama di lingkungan
yang sama hingga dewasa. Itu sebabnya, mereka mengetahui benar
kelebihan-kelebihan sekaligus kekurangan sahabat yang akhirnya menjadi guru
ruhani mereka.
Manusia boleh berencana dan berusaha, namun Tuhanlah
penentu keputusan akhir. Rencana dan usaha Raden Ketib untuk menguak rahasia
jati diri Syaikh Datuk Abdul Jalil ternyata harus terhenti di tengah jalan. Para santri Giri Amparan Jati generasi pertama yang
diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang cerita-cerita sahabat mereka
ternyata telah banyak yang meninggal dunia. Hanya Ki Gedeng Pasambangan yang masih hidup. Sayangnya, dia telah pergi ke Banten Girang
dan tidak diketahui kapan kembalinya.
Bagi pemuda remaja yang haus pengetahuan dan ingin beroleh
kebenaran, menelusuri jejak-jejak kehidupan Syaikh Datuk Abdul Jalil yang penuh
liku-liku merupakan tantangan yang mempesona. Bagai orang kehausan meminum air
laut, begitulah Raden Ketib terus berusaha mencari titik terang tentang tokoh
aneh yang dikutuk sekaligus dipuji itu. Dan semakin ditelusuri semakin
ditemukan keanehan-keanehan dari jejak-jejak yang ditinggalkan oleh Syaikh Datuk
Abdul Jalil. Para sahabat karibnya yang sudah
meninggal dunia, misalnya, tidak ada satu pun yang diketahui di mana kuburnya.
Pihak keluarga yang ditanya tentang ketidaklaziman itu umumnya hanya memberi
penjelasan bahwa para sahabat dan murid Syaikh Datuk Abdul Jalil jika akan
meninggal dunia selalu meninggalkan wasiat yang menyatakan bahwa kubur mereka
hendaknya tidak diberi batu nisan atau tanda apa pun. Alasannya, mereka tidak
mau diberhalakan oleh anak dan cucunya.
Kenyataan ini benar-benar membingungkan Raden Ketib. Selama
hidup di Kadipaten Palembang , ia
terbiasa membaca surat
yasin, tahlil, dan kenduri untuk memperingati orang yang meninggal dunia.
Ternyata upacara itu tidak satu pun dilakukan oleh sahabat sahabat dan
murid-murid Syaikh Datuk Abdul Jalil.
Padahal, sejak ia tinggal di Giri Amparan Jari, kebiasaan
semacam itu juga dilakukan orang. Kenyataan ini, pikir Raden Ketib, sungguh
teramat aneh.
Tanpa terasa, telah tiga tahun Raden Kerib tinggal sebagai
santri di Giri Amparan Jati. Tanpa terasa pula usianya bertambah. Keakraban
antara Raden Ketib dan kakeknya makin erat manakala Nyai Mertasari, istri
kakeknya, melahirkan putera yang diberi nama Raden Santri. Raden Ketib yang
hampir dua puluh usianya itu harus memanggil 'paman' kepada bayi yang baru
lahir. Aneh sekali rasanya seorang pemuda memanggil bayi dengan sebutan paman.
Sebenarnya, jika ditelusuri lebih jauh, hal yang dialami
oleh Raden Ketib itu tidak kalah aneh dibanding silsilah kakeknya. Pangeran
Pamelekaran yang bernama Raden Kusen itu kedudukannya adalah adik tiri
sekaligus kemenakan Raden Fatah, Adipati Demak Bintara. Bagaimana hal rumit itu
bisa terjadi?
Ceritanya, Raden Kusen adalah putera Ario Damar. Ario Damar
sendiri adalah putera Prabu Kertawijaya Wijaya Parakramawarddhana, Maharaja
Majapahit. Ario Damar kemudian dianugerahi seorang perempuan Cina bernama Retno
Subanci oleh ayahandanya. Saat itu Retno Subanci adalah salah seorang selir
ayahandanya yang sedang hamil muda. Ario Damar diwanti-wanti agar tidak
menyentuh Retno Subanci sebelum bayi yang dikandungnya lahir. Tak lama kemudian
lahirlah bayi laki-laki yang diberi nama Raden Fatah. Kemudian, Retno Subanci
dinikah oleh Ario Damar. Lalu lahirlah Raden Kusen yang menurunkan beberapa
putera dan puteri, di antaranya Pangeran Surodirejo, ayahanda Raden Ketib.
Berawal dari mempertanyakan keanehan-keanehan silsilah
keluarganya itulah Raden Ketib tanpa pernah direncanakan sebelumnya, tiba-tiba
menyinggung hal ihwal keanehan cerita-cerita yang menyangkut Syaikh Datuk Abdul
Jalil. Dan satu hal yang tak pernah diduga oleh Raden Ketib, ternyata kakeknya
pernah bertemu dengan Syaikh Datuk Abdul Jalil meski sangat singkat. "Dia
memanggil aku dengan sebutan paman karena dia putera angkat Ki Danusela, putera
Eyang Prabu Kertawijaya. Dia mengira aku adalah adik dari Rakanda Raden Fatah.
Itu tidak salah, tetapi dia sebenarnya juga bisa menyebutku rakanda karena aku
adalah kemenakan Ki Danusela," katanya sambil tertawa.
Merasa bahwa kakeknya hanya kenal sepintas saja dengan
Syaikh Datuk Abdul Jalil, Raden Ketib kemudian menuturkan betapa selama ini ia
berusaha mencari tahu tentang tokoh aneh itu. Pangeran Pamelekaran mengerutkan
kening mendengar penuturan cucunya, tetapi, sesaat kemudian dia menyatakan akan
memanggil Ki Gedeng Pasambangan, putera Ki Gedeng Tapa, yang merupakan kawan
Syaikh Datuk Abdul Jalil. "Biarlah Ki Gedeng Pasambangan menuturkan segala
sesuatu yang diketahuinya kepadamu," kata Pangeran Pamelekaran datar.
"Tapi Eyang," sahut Raden Kerib takzim,
"bagaimana jika cerita Ki Gedeng Pasambangan nanti menyinggung perasaan
Eyang?"
"Menyinggung perasaanku?" Pangeran Pamelekaran
mengerinyitkan kening.
"lya, Eyang," sahut Raden Ketib, "sebab
menurut cerita-cerita yang saya dengar, yang berperan penting dalam kematian
Syaikh Datuk Abdul Jalil adalah Susuhunan Kudus, yaitu menantu Eyang.
Kemudian, sultan yang mendiamkan saja pembunuhan itu adalah kemenakan
Eyang."
"Ha... ha... ha," Pangeran Pamelekaran terbahak.
Setelah itu dengan suara serius dia berkata, "Kebenaran harus diungkap apa
adanya. Itu prinsipku. Aku tak pernah tersinggung. Bahkan engkau harus tahu
bagaimana sikapku terhadap Susuhunan Kudus, menantuku itu. Ketahuilah, saat
penyerbuan awal pasukan Demak ke Majapahit yang dipimpin oleh Susuhunan
Ngudung, ayahanda Susuhunan Kudus, yang tak lain adalah besanku, akulah yang
menjadi manggalayuddha Majapahit. Dalam pertempuran itu, aku harus berhadapan
dengan dia selaku panglima Demak. Aku tikam lehernya dengan keris. Meski dia
sudah mengenakan pusaka kutang
antakusuma, toh
mati juga ditanganku. Itulah kenyataan, Ngger.Aku
tidak akan tersinggung jika diungkap bahwa aku telah tega membunuh besanku demi
mempertahankan kerajaan kafir Majapahit."
"Dalam peristiwa itu banyak orang menyalahkan aku.
Namun, aku tidak peduli. Karena, aku sudah berkali-kak mengingatkan bahwa aku
adalah murid yang setia dan teguh memegang amanat guru. Telah berkali-kali
kukatakan bahwa aku tetap memegang amanat guruku, Raden Ali Rahmatullah,
Susuhunan Ampel Denta, yang menitahkan aku agar mengabdi pada Majapahit apa pun
yang terjadi, demi melindungi pemeluk-pemeluk Islam di pedalaman. Tetapi,
mereka tidak peduli. Mereka tidak menghargai prinsip hidupku. Dan mereka baru
sadar setelah semuanya terjadi."
Raden Ketib menarik napas dalam-dalam mendengar kisah
kakeknya. Namun terlepas dari keberpihakannya kepada Pangeran Pamelekaran,
Raden Ketib menangkap sasmita bahwa kakeknya itu berpendirian teguh dan tidak
mudah menyerah. Itu sebabnya, kakeknya hanya bisa disejajarkan dengan tokoh
Bisma dalam cerita Mahabharata, yakni berani menanggung resiko apa pun demi
memegang teguh prinsip yang diyakini kebenarannya.
Janji Pangeran Pamelekaran untuk mengundang Ki Gedeng
Pasambangan ternyata dipenuhi kira-kira sehari setelah sahabat Syaikh Datuk
Abdul Jalil itu kembali dari Banten Girang. Raden Ketib yang tidak menduga
bakal secepat itu bertemu dengan Ki Gedeng Pasambangan, tak bisa berkata-kata
ketika tiba di ndalem Pamelekaran, kecuali mencium
dengan takzim lutut kakeknya dengan hati berbunga-bunga. Dan bagi Pangeran
Pamelekaran sendiri merupakan suatu kebahagiaan tak terhingga jika dia bisa
memenuhi hasrat dan keinginan cucunya.
Malam itu, setelah memperkenalkan Raden Ketib sebagai cucu
tercintanya, Pangeran Pamelekaran mengajak Ki Gedeng Pasambangan untuk
mengingat saat-saat menegangkan ketika mereka menyerbu Pakuwuan Caruban dan
kemudian menghadang pasukan Pajajaran yang dipimpin Terong Peot di pantai Muara
Jati. Ki Gedeng Pasambangan yang saat itu merupakan santri Giri Amparan Jati
tentu masih mengingat peristiwa itu dengan jelas. Dia kemudian menuturkan
kepada Raden Ketib betapa gagah dan beraninya Pangeran Pamelekaran ketika itu.
Namun, saat menyinggung nama San Ali, yakni nama kecil Syaikh Datuk Abdul
Jalil, Ki Gedeng Pasambangan tampak sekali berusaha menghindar.
Sebagai orang yang sudah kenyang menelan pahit dan getir
kehidupan, Pangeran Pamelekaran memahami kecanggungan Ki Gedeng Pasambangan
ketika menyinggung hal sahabat dan guru tercintanya. Itu sebabnya, dia langsung
meminta Ki Gedeng Pasambangan untuk menuturkan apa adanya segala sesuatu yang
diketahuinya tentang Syaikh Datuk Abdul Jalil. "Engkau tak perlu ragu dan
curiga, Ki. Engkau mestinya telah tahu betapa aku memiliki pnnsip yang sama
dengan Abdul Jalil tentang penyerangan ke Majapahit. Engkau juga tentu tahu bahwa
di tanganku ini pula besanku Susuhunan Ngudung melayang jiwanya. Karena itu,
Ki, ceritakan apa adanya tentang San Ali, kemenakanku itu. Cucuku sangat besar
hasratnya untuk mengetahui kisah San Ali yang sampai kini simpang-siur,"
kata Pangeran Pamelekaran dengan suara berat.
"Abdi akan laksanakan titah Yang Mulia," kata Ki
Gedeng Pasambangan takzim.
Beberapa jenak setelah Pangeran Pamelekaran berpamitan
hendak beristirahat, Ki Gedeng Pasambangan yang duduk berdua berhadap-hadapan
dengan Raden Ketib memulai ceritanya. Dia bercerita berdasarkan kesaksian
pribadi, penuturan Syaikh Datuk Abdul Jalil, fatwa dan kisah dari Syaikh Datuk
Kahfi, cerita dari kawan-kawannya sesama santri, penuturan kakeknya, yaitu Ki
Gedeng Tapa, dan cerita dari Haji Abdullah Iman, yakni Pangeran Walangsungsang
Cakrabuwana, Kepala Nagari Cirebon, yang tak lain adalah saudara sepupunya.
Berdasar cerita-cerita itu, Ki Gedeng
Pasambangan menuturkan kisah kehidupan Syaikh Datuk Abdul Jalil secara luas dan
mendalam sejak awal kelahiran, pengembaraan, silsilah keluarga,
pandangan-pandangan, ajaran-ajaran, hingga ke masa memilukan saat la terhempas
angin prahara fitnah yang mengerikan.
Anak
Yatim Piatu
DALAM bayangan pohon Kelapa, di bawah pancaran sinar
matahari di pinggiran sungai kecil berair deras, di lingkaran rimbunan hutan
dan belukar tak jauh dan Padepokan Giri Amparan Jati, di lereng gunung Sembung,
tlatah nagari Caruban, San Ali, putera Ki Danusela sang Kuwu Caruban, menuntut
ilmu agama bersama sahabat-sahabatnya di bawah asuhan Syaikh Datuk Kahfi.
Laksana permata manikam memancarkan gemerlap keindahan,
begitulah San Ali menjadi perhiasan padepokan karena kecerdasan, ketekunan,
semangat, kesetiaan, dan kecintaannya yang tulus. Sebagai penghuni padepokan
sejak usia lima tahun, ia tumbuh menjadi pemuda yang sangat akrab dengan
lingkaran keprihatinan: membersihkan padepokan, mengisi bak mandi dan tempat
wudhu, memasak dan mencuci pakaian, mencari kayu di hutan; menghapal pelajaran,
menandai pelajaran dengan sah-sahan, mengkaji kitab; berpuasa, menjalankan
riyadhoh, iktikaf, ber-dzikir, bersalawat; berlatih pencak silat, olah
kanuragan, menghafal hizb-hizb, dan mengamalkan aurad. Berbeda dengan
murid-murid padepokan yang lain, bila ada waktu senggang ia gemar menjelajahi
desa-desa di sekitar gunung Sembung, memasuki hutan, melintasi pegunungan,
menyusur sungai, menerobos hutan bakau, ke muara, dan menyusur pantai.
Sepanjang perjalanan ia menyaksikan berbagai pemandangan yang menggugah
ketenangan jiwanya. Hiruk pikuk pasar desa, petani yang bekerja di sawah,
nelayan yang melaut mencari ikan, orang berkelahi, orang berjudi, lintah darat
memeras penduduk desa, petani-petani membawa hasil bumi ke padepokan, pendeta
menyiapkan sesaji di pura, brahmana bersamadi di sanggar pamujaan, orang
menderita sakit, dan orang mati baik yang dikubur maupun dibakar.
Semua pemandangan selama mengikuti langkah kakinya itu
telah menerbitkan gumpalan awan tanda tanya di cakrawala pemikirannya yang
belum dewasa. Ketika tanda tanya itu tak terjawab, gumpalan awan itu semakin
memadari cakrawala di benaknya.
Ketika ia memberanikan diri untuk menanyakan pelbagai
macam kehidupan manusia kepada Guru Agung Syaikh Datuk Kahfi, sering kali tanda
tanya justru semakin berjejal-jejal menggumpali isi kepalanya. Memang, jika
murid-murid yang lain selalu mengiyakan penjelasan guru agung tentang kehidupan
manusia yang bermuara ke alam akhirat, yakni neraka dan surga, maka San Ali
kebalikannya. la tidak gampang puas dengan jawaban-jawaban yang lazimnya diberikan
kepada anak-anak seusianya. Misalnya tentang perbedaan antara kehidupan
orang-orang durhaka dan celaka, seperti penjudi, pemabuk, pencuri, perampok,
pelacur, penipu, pembunuh, pezina, dan pemuja berhala yang bakal menempati
neraka, dan orang-orang saleh dan beruntung yang bakal menghuni surga. San Ali
melihat persoalan ini hanya masalah penundaan waktu belaka. Intinya, keduanva
sama ditinjau dari aspek amaliah. Maksudnya; jika di surga nanti orang bisa
memenuhi semua keinginan-nya termasuk hal-hal yang ketika di dunia diharamkan
maka pada hakikatnya orang durhaka tidak berbeda dengan orang saleh, kecuali
dalam hal waktu pelaksanaannya. Kalau orang durhaka bisa sesuka hati menenggak
minuman keras, mabuk, bersetubuh dengan perempuan, dan menikmati berbagai
kelezatan dunia, maka orang-orang saleh pun ketika di surga bisa menenggak
khamr, menikmati 40 bidadari yang selalu perawan, bersenang-senang, mandi di
kolam susu dan madu, dan berbagai kelezatan surgawi lain. Bedanya, yang pertama
dilampiaskan di dunia, sedang yang ke-dua menunggu di akhirat. Tanda tanya
berjejalan yang tak sesederhana jawabannya itu membuat San All terjebak pada
kebiasaan merenung untuk mencari sendiri jawaban dan pertanyaan yang berkecamuk
di benaknya. Itu sebab-nya, dalam setiap penjelajahan ia sering terlihat
merenung di bawah pohon, di puncak bukit, di hamparan pasir pantai, dan bahkan
di tengah hening malam ketika makhluk hidup tertidur dibuai mimpi. Dengan
merenung, ia seperti menikmati kesendiriannya dan mengungkapkan gairah jiwanya
yang berkobar-kobar. Di tengah hening malam ia sering merenungkan
bintang-bintang yang memenuhi langit dengan kilau cahayanya yang laksana
permata.
Benarkah bintang-bintang yang berkilauan memenuhi langit
itu jika pagi menjelang bersembunyi di lautan dan menyinari dunia bawah? Kenapa
bintang tidak pernah berada satu langit dengan matahari? Benarkah para malaikat
hanya turun ke bumi pada malam hari untuk memberkati dan melimpahi rezeki bagi
orang-orang yang tekun menjalankan sembahyang malam? Di bintang-bintang itukah
para malaikat tinggal? Apakah 'Arsy, singgasana Allah, terletak di
salah satu bintang di langit?
Setelah semalaman merenung-renung tentang langit,
bintang, rembulan, malaikat, dan Tuhan, San Ali biasanya turun ke desa-desa dan
berbicara dengan orang-orang yang bekerja di sawah atau dengan para brahmin
yang melakukan upacara bhakti di sanggar pemujaan. Apakah dewa-dewa yang dipuja
brahmin itu sama dengan Gusti Allah yang disembahnya? Kenapa Gusti Allah yang
disembahnya tidak diwujudkan dalam bentuk-bentuk? Kenapa pula Gusti Allah tidak
membutuhkan sesaji apa pun? Dan yang paling mengherankan, kenapa Syaikh Datuk
Kahfi dengan sangat keras melarangnya membayang-bayangkan,
membanding-bandingkan, dan memikirkan Gusti Allah? Bagaimana orang bisa
mengenal Gusti Allah jika tidak boleh membayangkan, membandingkan, dan
memikirkan-Nya?
Suatu kali sekeluarnya dari hutan, ia menjumpai seorang
brahmin tua mempersembahkan sesaji di altar dewa. Saat itu terlintas di
benaknya bahwa sangat mustahil arwah dewa bisa memakan sesaji persembahan sang
brahmin. Namun, selintas juga terbentang di benaknya tentang ibadah qurban di
dalam agama Islam: bukankah Gusti Allah Yang Tak Terpikirkan dan Tak Terjangkau
Pancaindera itu sesungguhnya tidak butuh darah dan daging domba? Namun, kenapa
tiap hari raya Idul Adha orang harus menyembelih domba?
Ia sering pula menemukan berbagai perilaku yang menurut
pandangan penghuni padepokan digolongkan sebagai ahli maksiat. Kenapa orang
bisa begitu tergila-gila berjudi sabung ayam? Mengapa orang bisa sangat
menggemari minuman keras hingga mabuk? Kenapa orang suka membunuh sesamanya?
Kenapa orang suka mencuri dan merampok, sementara ia dan kawan-kawannya di
padepokan justru diwajibkan hidup menjauhi segala kebiasaan buruk itu?
Saat persoalan yang mengganjal pikirannya itu disampaikan
kepada guru agung, ia sering memperoleh penjelasan yang kurang memuaskan.
Penjelasan-penjelasan yang didasarkan pada dalil dari kitab-kitab itu seperti
mengulang-ulang penjelasan lama tentang kehidupan orang-orang yang bakal
menjadi penghuni neraka dan surga. Para ahli
maksiat yang celaka itu, demikian Syaikh Datuk Kahfi mengulang-ulang, akan
menjadi ahli neraka. Sedang penghuni padepokan yang saleh akan menjadi penghuni
surga. Penjelasan ini tentu saja sangat tidak memuaskan pemuda secerdas San
Ali, terutama ketika berbicara tentang keyakinan bahwa takdir baik dan buruk
sepenuhnya di tangan Allah Atas pertimbangan apa Gusti Allah menggolongkan
orang sebagai manusia celaka yang bakal menjadi penghuni neraka, dan atas
pertimbangan apa pula Gusti Allah menentukan orang menjadi calon penghuni surga.
Makin sering merenung, menelaah, mempersoalkan
jawaban-jawaban atas pertanyaannya, dan menalar berbagai hal yang
disaksikannya, ia merasa betapa kerisauan makin kuat menerkam jiwanya. la
merasa ada sesuatu di dalam dirinya yang sulit diajak berdamai dengan sekadar
penjelasan sederhana. Kerisauan itu sering kali hanya bisa ditenangkan dengan
perjalanan keluar padepokan. Namun, manakala menyaksikan berbagai kenyataan
hidup manusia, ia merasa benaknya padat digumpali tanda tanya yang
berjejal-jejal dan berkumpar-kumpar bagai lingkaran setan.
Kebiasaannya menjelajahi daerah-daerah di sekitar padepokan
telah membuatnya dikenal dan dicintai banyak orang. Penduduk di sekitar gunung
Sembung, terutama para brahmin, cepat sekali mengenali kehadirannya. Tubuhnya
jangkung, tegap, dan berotot. Kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Alis
matanya tebal. Matanya setajam elang. Senyumnya selalu terkembang. Jalannya
mantap dan gesit. Bicaranya terbuka dan berapi-api. Bagi para brahmin, semua
yang ada pada din San Ali adalah citra kehidupan anak yang 'bangun' di antara
anak-anak yang 'tidur' dininabobok-kan zaman.
San Ali! Begitu aneh nama itu untuk zamannya. Namun,
keanehan itu menjadi keakraban bagi mereka yang telah mengenalnya. Dan bagaikan
orang mengenal rajanya, begitulah orang di sekitar gunung Sembung dan Pakuwuan
Caruban mengenal nama San Ali, sosok aneh tetapi akrab di mata, telinga, dan
hati. Sebuah citra yang diharapkan bakal menjadi pemimpin besar di negeri
kelahirannya.
San Ali sebenarnya nama yang kurang lazim digunakan orang
baik di Jawa maupun di tanah Pasundan. Namun nama itu pemberian ayahandanya, Ki
Danusela, Kuwu Caruban. Ceritanya, tiga bulan menjelang kelahiran putera
sulungnya, penguasa Pakuwuan Caruban itu memperoleh impian menakjubkan tentang
sembilan ekor kumbang hitam yang terbang mengitari tlatah Majapahit dan
Pajajaran yang sedang dilanda bencana serbuan jutaan tikus yang merusak sawah
dan ladang. Kesembilan ekor kumbang hitam itu dengan ajaib menyemburkan cairan
hijau dari tubuh mereka. Cairan itu terbawa aliran sungai yang mengairi sawah
dan ladang sehingga tikus-tikus perusak itu binasa. Kemudian secara ajaib pula
kesembilan ekor kumbang itu menyemburkan air suci Amartha yang membuat padi dan
tanaman lain tumbuh subur seperti sediakala. Orang-orang yang semula bersedih
dan putus asa kini bersorak-sorai meluapkan kegembiraan. Kehidupan kembali
menjadi tenteram, aman, sentosa, dan kertaraharja.
Mimpi menakjubkan yang dialami Ki Danusela itu terulang
sampai tiga kali dalam tempo sebulan. Lantaran pengaruh impian itu sangat kuat
mencekam jiwanya maka dia berjanji jika anak pertamanya lahir laki-laki akan
dinamakan San Ali, yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti sembilan ekor kumbang
hitam. Ki Danusela berharap puteranya kelak dapat menjadi salah satu dari
kesembilan kumbang yang menyemburkan Amrtha, yang membawa kesuburan dan
kemakmuran bagi negerinya. Begitulah, nama San Ali benar-benar diberikan ketika
bayi laki-laki itu lahir ke dunia.
Sebagai tanda sukacita dan gantungan harapannya terhadap
bayi San Ali, Ki Danusela menyelenggarakan pesta besar selama tiga hari tiga
malam. Kepada para tamu undangan dia menyatakan bahwa putera sulungnya itu
kelak akan menjadi penggantinya sebagai Kuwu Caruban. Kuwu Caruban adalah
jabatan yang sangat penting di antara kuwu-kuwu yang ada di bawah kekuasaan
Kerajaan Galuh. Karena, Pakuwuan Caruban berkembang lebih pesat dibanding
pakuwuan lain. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, Pakuwuan Caruban terdiri
atas beberapa pakuwuan yang tergabung di bawah kekuasaan Ki Danusela. Meski
wilayah teritorial Kuwu Caruban sudah hampir menyamai wilayah nagari, Ki Danusela
yang rendah hati itu tetap menyebut dirinya sebagai kuwu. Dan wilayah
kekuasaannya tetap dia namakan pakuwuan. Itu sebabnya, San Ali yang kelak
menggantikan ayahandanya akan memiliki kekuasaan penting di wilayah Galuh.
Sebenamya, di balik kemuliaan yang dilimpahkan kepada
bayi San Ali, tak banyak yang tahu bahwa Ki Danusela bukanlah ayahanda kandung
dari bayi yang diakui sebagai putera sulung itu. Menurut cerita kalangan dalam
pakuwuan, ayahanda kandung bayi San Ali adalah seorang ulama asal Malaka yang
masih tergolong bangsawan kerajaan. Namanya Syaikh Datuk Sholeh, peranakan
Melayu-Gujarat. Ibundanya perempuan Melayu. Menurut cerita, saat Sultan
Muzaffar Syah naik ke tangga kekuasaan Kesultanan Malaka menggantikan
saudaranya yang terbunuh, terjadi perselisihan antara pejabat-pejabat keturunan
Tamil yang dipimpin Tun Ali dan bangsawan-bangsawan Melayu yang dipimpin Seri
Wak Raja I. Ibunda Sultan Muzaffar Syah sendiri adalah keturunan Tamil dan
sesaudara dengan Tun Ali. Demikianlah, golongan Tamil yang dipimpin Tun Ali
menang dan bangsawan-bangsawan Melayu tersingkir dari lingkaran kekuasaan. Di
antara bangsawan yang tersingkir itu tersebutlah nama Syaikh Datuk Sholeh.
Kepergian Syaikh Datuk Sholeh meninggalkan Malaka
dilatari usaha penyelamatan diri. Karena, Tun Ali merancang persekongkolan
politik sehingga sejumlah pejabat Melayu tewas terbunuh, termasuk Seri Wak Raja
II putera Seri Wak Raja I. Demikianlah, Syaikh Datuk Sholeh diikuti istrinya
yang hamil muda meninggalkan Malaka untuk berniaga sambil mendakwahkan agama.
Tempat awal yang didatangi Syaikh Datuk Sholeh adalah pelabuhan
Palembang .
Namun, ia tidak dapat tinggal lama di daerah itu sebab banyak saudagar Tamil
berniaga di sana .
Lantaran itu, ia bertolak dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain hingga tiba di
pelabuhan Dermayu (Indramayu), Caruban, yang termasuk wilayah Kerajaan Galuh.
Di bandar Dermayu itulah Syaikh Datuk Sholeh tinggal dan
berdagang sambil menyiarkan agama Islam. Tempat itu, menurutnya, dianggap tepat
karena tidak seorang pun saudagar Tamil dijumpainya di sana . Syaikh Datuk Sholeh dengan cepat
menjalin keakraban dengan penduduk bandar Dermayu yang umumnya terdiri atas
orang-orang Cina Muslim, Melayu Muslim, Melayu-Bengali, Jawa, dan Sunda yang
masih beragama Hindu-Budha.
Sebagai saudagar sekaligus penyebar agama Islam, Syaikh
Datuk Sholeh dikenal pandai, lurus hati, dermawan, santun, dan pintar bergaul.
la disukai orang-orang. Dalam waktu singkat, ia dikenal sampai ke Caruban. Di
antara sejumlah orang yang dikenalnya dengan baik adalah Ki Danusela. Meski Ki
Danusela beragama Hindu-Budha, hubungan mereka sangat akrab. Sering mereka
berdua kelihatan berbicara soal kehidupan masyarakat, tata pemerintahan, dan
bahkan falsafah hidup.
Hubungan Syaikh Datuk Sholeh dan Ki Danusela berlanjut ke
jalinan kekeluargaan. Ceritanya, saat kemenakan Syaikh Datuk Sholeh yang bemama
Syaikh Datuk Kahfi menyusul ke Caruban, Ki Danusela sangat tertarik dan simpati
terhadap kecerdasan, keluasan ilmu, kebijaksanaan, dan kesantunannya. Berangkat
dari ketertarikan dan rasa simpati itulah Ki Danusela kemudian menikahkannya
dengan adik ipar perempuannya yang bernama Nyi Rara Anjung. Dengan demikian,
Syaikh Datuk Kahfi dan Syaikh Datuk Sholeh secara langsung telah masuk ke dalam
lingkungan keluarga Kuwu Caruban.
Ki Danusela adalah keturunan Prabu Kertawijaya, Maharaja Majapahit. Dia menikahi Ratu Inten Dewi, puteri Prabu Surawisesa Ratu Sanghiang, Ratu Aji di Pakuan, keturunan Sri Baduga Maharaja, yakni Maharaja Pajajaran yang gugur dalam peristiwa Bubat. Oleh Prabu Surawisesa, mertuanya, Ki Danusela diangkat sebagai kuwu di Caruban dengan tugas utama memantau Kerajaan Galuh yang merupakan bawahan dari Kerajaan Pajajaran."
Ki Danusela adalah keturunan Prabu Kertawijaya, Maharaja Majapahit. Dia menikahi Ratu Inten Dewi, puteri Prabu Surawisesa Ratu Sanghiang, Ratu Aji di Pakuan, keturunan Sri Baduga Maharaja, yakni Maharaja Pajajaran yang gugur dalam peristiwa Bubat. Oleh Prabu Surawisesa, mertuanya, Ki Danusela diangkat sebagai kuwu di Caruban dengan tugas utama memantau Kerajaan Galuh yang merupakan bawahan dari Kerajaan Pajajaran."
Dalam menjalankan tugas sebagai kuwu, Ki Danusela dibantu
oleh seorang pangraksabhumi, pejabat yang mengurusi pertanian dan perikanan,
beragama Islam yang bernama Ki Samadullah. Ki Samadullah yang memiliki nama
asal Raden Walangsungsang masih langsung keturunan Raja Galuh. Ayahandanya
adalah Raden Pamanah Rasa, putera Prabu Anggalarang, Raja Galuh. Ibundanya
bernama Nyi Subanglarang, puteri Ki Gedeng Tapa, Mangkubumi Singapura, yang
tidak lain dan tidak bukan adalah adik Prabu Anggalarang. Pernikahan antara
Raden Pemanah Rasa dan Nyi Subanglarang ini melahirkan Raden Walangsungsang,
Nyi Rara Santang, dan Raden Sangara.
Nasib buruk menimpa Raden Walangsungsang dan adik-adiknya
saat mereka menginjak dewasa. Tiba-tiba ibunda mereka terkena pageblug dan
meninggal dunia. Raden Walangsungsang dan adik-adiknya kemudian meninggalkan
istana Galuh dan menetap di rumah seorang pengikut Budha bernama Ki Gedeng
Danuwarsih. Dia kemudian diambil menantu oleh Ki Gedeng Danuwarsih, dikawinkan
dengan Nyi Indang Geulis, puterinya.
Melalui Ki Gedeng Danuwarsih, yang tidak lain dan tidak
bukan adalah sahabat Ki Danusela, Raden Walangsungsang bekerja di Pakuwuan
Caruban. Bahkan la diberi kepercayaan besar menduduki jabatan pangraksabhumi
menggantikan Ki Danusela. Melalui Raden Walangsungsang inilah Ki Danusela
mengetahui perkembangan Kerajaan Galuh, di mana kesetiaan kerajaan itu terhadap
Pajajaran masih sangat kuat. Melalui Raden Walangsungsang juga Ki Danusela
mengetahui perkembangan agama Islam di pesisir utara Jawa, terutama di Dermayu.
Selama menjabat sebagai pangraksabhumi, Raden
Walangsungsang berkenalan dengan Syaikh Datuk Sholeh dan Syaikh Datuk Kahfi. la
kemudian berguru agama Islam kepada Syaikh Datuk Kahfi. Setelah mengetahui
keluasan ilmu gurunya, ia memohon agar Syaikh Datuk Kahfi membuka sebuah
padepokan untuk mendidik masyarakat.
Atas upaya Raden Walangsungsang, kakeknya, Ki Gedeng
Tapa, memberikan sebidang tanah di lereng gunung Sembung kepada Syaikh Datuk
Kahfi sebagai shima (pendidik), yang bebas pajak. Di tanah itulah Syaikh Datuk
Kahfi membangun padepokan yang kemudian dikenal dengan nama Giri Amparan Jati (Gunung
Tempat Menggelar Kebenaran). Syaikh Datuk Kahfi sendiri kemudian memberi nama
baru untuk Raden Walangsungsang, yakni Samadullah. Dan sejak itu, orang
mengenal pangraksabhumi Caruban dengan nama Ki Samadullah.
Meski berbeda agama, antara Ki Danusela dan Ki Samadullah
terjalin kecocokan terutama tentang hal-hal yang bersifat ruhani. Mereka sering
terlihat berdua di pendapa sepanjang malam membahas pengalaman ruhani
masing-masing. Bahkan sebuah kitab rontal milik Ki Danusela warisan Maharaja
Majapahit yang dikenal dengan nama Catur Viphala, mereka jadikan bahasan
mendalam.
Hubungan Ki Samadullah, Syaikh Datuk Sholeh, Syaikh Datuk
Kahfi, dan Ki Danusela berlangsung sangat akrab. Itu sebabnya, ketika Syaikh
Datuk Sholeh wafat terkena pageblug, Ki Danusela yang belum dikaruniai putera
itu meminta agar diperkenankan mengangkat bayi yatim yang ada di dalam
kandungan istri Syaikh Datuk Sholeh. Baik Syaikh Datuk Kahfi maupun Ki
Samadullah tidak keberatan, meski mereka tahu Ki Danusela beragama Hindu-Budha.
Begitulah, putera Syaikh Datuk Sholeh diangkat anak oleh Ki Danusela. Bahkan
atas dasar mimpinya yang menakjubkan, Ki Danusela kemudian menamakan bayi itu
San Ali.
Merasa prihatin dengan nasib bayi
San Ali, Ki Samadullah diam-diam ikut mengasuh dan mengamati perkembangannya
dengan penuh kasih sayang. Apalagi Ki Samadullah juga belum dikaruniai putera.
Namun, belum lama San Ali merasakan belaian kasih ibunda kandungnya, tiba-tiba
ia harus ditinggal pergi selama-lamanya. Ketika itu usia San Ali menginjak tiga
bulan, ibundanya secara mendadak tertular pageblug yang sedang melanda tlatah
Caruban. Lantaran peristiwa menyedihkan itu, Ki Samadullah dan istri
menumpah-kan seluruh kasih dan sayang mereka kepada bayi San Ali yang kini
yatim piatu.
Perisriwa menyedihkan yang menimpa San Ali berkembang
menjadi fitnah keji yang membahayakan keselamatan jiwa bayi tanpa dosa itu.
Ceritanya, beberapa saat setelah ibundanya meninggal, tersebar berita bahwa
bayi berusia tiga bulan itu adalah pangkal dan malapetaka yang bakal menimpa
Kuwu Caruban.
Bayi itu harus disingkirkan jauh-jauh dari pakuwuan
sebelum malapetaka yang ditimbulkannya meluas ke mana-mana. Tanda bahwa bayi
itu berbahaya adalah kematian kedua orang tuanya dan meluasnya pageblug di
tlitah Caruban.
Akibat fitnah yang sangat kuat itu, Ki Danusela sempat
terpengaruh. Itu sebabnya, ia membicarakan masalah itu dengan Ki Samadullah
sebelum menyampaikannya kepada Syaikh Datuk Kahfi. Ki Samadullah tentu saja
terkejut dengan berita bersifat fitnah itu. Lantaran itu, ia dengan terpaksa
mengungkapkan ramalan rahasia gurunya, Syaikh Datuk Kahfi, tentang kemuliaan
yang bakal diraih putera Ki Danusela itu. "Menurut guru saya, putera Tuan
bakal menjadi salah seorang waliyullah yang mulia sepanjang jaman. Karena itu,
Tuan, saya menilai wajar jika sejak kecil ia sudah yatim piatu sebab Kanjeng
Nabi Muhammad pun sejak kecil mengalami nasib demikian," ujar Ki
Samadullah.
Ki Danusela sangat percaya kepada Ki Samadulah dan
terutama kepada adik iparnya, Syaikh Datuk Kahfi, sehingga setiap fitnah keji
yang dialamatkan kepada San Ali terhalau. Bahkan atas saran Ki Samadullah, Ki
dan Nyi Danusela merelakan putera sulung mereka yang ketika itu berusia lima tahun dikirim ke
Padepokan Giri Amparan Jati untuk dididik ilmu pengetahuan agama. Sebulan
sekali, Ki Danusela bergantian dengan Ki Samadullah menjenguk San Ali,
melimpahkan kasih dan sayang kepada bocah itu.
Apa yang dikemukakan Ki Samadullah berkenaan dengan
ramalan Syaikh Datuk Kahfi ternyata terbukti. Ini setidaknya terlihat betapa
dalam waktu singkat San Ali sudah dikenal di padepokan sebagai santri yang
paling cerdas dan sangat disayang! Syaikh Datuk Kahfi. Berbagai pelajaran agama
dengan cepat diselesaikan-nya menandingi santri-santri kin. Bahkan berbagai
persoalan yang diajukan San Ali kepada guru agungnya dalam setiap akhir
pengembaraannya selalu menambah wawasan baru bagi warga padepokan, terutama
bagi Syaikh Datuk Kahfi.
Warga padepokan tidak lagi menilai warga di luar kelompok
mereka—terutama yang beragama Hindu-Budha sebagai golongan kafir yang najis.
Syaikh Datuk Kahfi yang semula memandang bahwa umat yang menyembah Gusti Allah
hanya Islam, telah mengubah pandangan bahwa Segala ciptaan di alam semesta ini
pada hakikatnya menyembah Gusti Allah dengan nama dan tata cara berbeda.
Seluruh umat manusia, malaikat, hewan, tetumbuhan, jin, setan, dan bahkan
Iblis: semua-nya adalah penyembah Gusti Allah, meski harus diakui bahwa
Islamlah satu-satunya agama yang paling sempurna di dalam pengaturan tata cara
menyembah Gusti Allah dan tata kehidupan manusia. Dan semua perubahan itu
terjadi setelah San Ali dan Syaikh Datuk Kahfi berbincang membahas berbagai
persoalan hidup.
Selama menuntut ilmu di Padepokan Giri Amparan Jati, San
Ali dikenal juga piawai dalam pencak silat, olah kanuragan, dan menyanyikan
tembang-tembang Pepujian. Malahan ia sering terlibat perdebatan dengan guru
agungnya tentang berbagai masalah, terutama dalam pelajaran manthiq dan ilmu
kalam. Sementara dalam hal tauhid dan olah batiniah, keduanya seperti memiliki
kesamaan cita rasa. Boleh jadi lantaran itu ia sering terlihat mengikuti Syaikh
Datuk Kahfi melakukan iktikaf untuk mengamalkan aurad dengan mengerjakan
dzikrullah, tafakkur, ta 'ammul, dan tahannuts.
Seiring dengan perubahan waktu yang mengantar-nya ke alam
kedewasaan, terjadi perubahan sikap dan perilaku San Ali. Selama waktu luang
seusal zhuhur, ia sering terlihat merenung seorang diri di bawah pohon Kelapa
hingga matahari condong ke barat dan beduk asyar mulai ditabuh orang. Entah apa
yang dirasakan-nya saat itu. la merasa kegelisahan menerkam jiwanya sehingga
membuatnya betah berlama-lama menenangkan diri. la seolah-olah telah melupakan
keriangan yang selama ini direguknya di padepokan atau saat berkeliling keluar
masuk hutan.
Syaikh Datuk Kahfi rupanya memahami benar perkembangan
murid terkasihnya itu. Dia menangkap sasmita bahwa muridnya itu bakal menjadi
guru agung yang jauh melebihi kebesaran dirinya. Murid yang sekaligus saudara
sepupunya itu, dalam pandangannya, adalah samudera pengetahuan yang sedang
menuju pasang kemasyhuran jati dirinya. Lantaran itu, seluruh ilmu pengetahuan
yang dimilikinya sudah diniatkan akan dilimpahkan kepada San Ali tanpa sisa.
Dan San Ali sendiri bagaikan musafir menenggak air laut, yang semakin kehausan
setiap kali menghirup pengetahuan dari gurunya.
Sebagai guru agung, Syaikh Datuk Kahfi mengetahui secara gaib bahwa San Ali tidak akan menjadi manusia kebanyakan seperti murid yang lain. Kalaupun San Ali akan menjadi kuwu menggantikan kedudukan orang tuanya maka ia tidak akan menjadi kuwu biasa. Ia akan membawa perubahan besar bagi zaman-nya. Namun, diam-diam Syaikh Datuk Kahfi mendapat firasat bahwa San Ali yang dikasihinya itu tidak akan menjadi penguasa duniawi. la akan menjadi guru agung termasyhur: penuntun manusia ke jalan Ilahi!
Sebagai guru agung, Syaikh Datuk Kahfi mengetahui secara gaib bahwa San Ali tidak akan menjadi manusia kebanyakan seperti murid yang lain. Kalaupun San Ali akan menjadi kuwu menggantikan kedudukan orang tuanya maka ia tidak akan menjadi kuwu biasa. Ia akan membawa perubahan besar bagi zaman-nya. Namun, diam-diam Syaikh Datuk Kahfi mendapat firasat bahwa San Ali yang dikasihinya itu tidak akan menjadi penguasa duniawi. la akan menjadi guru agung termasyhur: penuntun manusia ke jalan Ilahi!
Sebagai orang yang telah kenyang memakan pahit dan getir
kehidupan, Syaikh Datuk Kahfi merasakan suatu kemestian dan derita pedih yang
bakal dialami muridnya. San Ali akan menduduki derajat ruhani sangat tinggi di
zamannya. Syaikh Datuk Kahfi diam-diam mendoakan agar muridnya itu senantiasa
tabah dan tawakal menghadapi ujian Ilahi, karena telah termaktub di dalam dalil
bahwa siapa yang berderajat ruhani tinggi maka hidupnya akan senantiasa diterpa
ujian berat berupa kebalakan sebagaimana hal itu dialami para nabi dan wali.
Tentang kemestian kehidupan pedih yang bakal dilewati San
Ali, Syaikh Datuk Kahfi diam-diam telah menguraikannya kepada Ki Samadullah
dalam suatu Pertemuan rahasia di Masjid Giri Amparan Jari. Dengan penuh harap,
dia meminta agar Ki Samadullah dengan sukacita menjadi pembela dalam persoalan
apa saja yang berkenaan dengan lingkaran nasib yang bakal menjerat San Ali.
Dengan hati diliputi keprihatinan, Syaikh Datuk Kahfi menjelaskan nasib pedih
yang bakal dialami San Ali. "Jagalah rahasia Allah ini! Jangan sekali-kali
ada yang mengetahuinya, termasuk San Ali," ujarnya mewanti-wanti.
Sebagai murid yang patuh dan setia, dengan sepenuh jiwa Ki Samadullah menyanggupi permintaan gurunya. "Saya akan senantiasa mematuhi amanat Yang Mulia. Saya akan melakukan yang terbaik yang bisa saya lakukan bagi San Ali, buah hati saya."
Sebagai murid yang patuh dan setia, dengan sepenuh jiwa Ki Samadullah menyanggupi permintaan gurunya. "Saya akan senantiasa mematuhi amanat Yang Mulia. Saya akan melakukan yang terbaik yang bisa saya lakukan bagi San Ali, buah hati saya."
Sejak peristiwa larut malam di Masjid Giri Amparan Jati
itu, kecintaan Ki Samadullah kepada anak asuhnya makin kuat berurat dan
berakar. Bagaikan induk harimau melindungi anaknya, begitulah Ki Samadullah
memperlakukan San Ali. Ke mana pun San Ali berada, dia seklu berusaha
mengetahui dan mendampinginya. Itu sebabnya, dia tak jarang terlihat menemani
San Ali berkeliling ke desa-desa di sekitar gunung Sembung, keluar dan masuk
hutan. Bahkan karena begitu seringnya mendampingi San Ali, Ki Samadullah
menjadi sangat dikenal masyarakat sebagai petinggi Kerajaan Galuh yang dermawan
dan mencintai rakyat, karena selama bersama San Ali, dia acap kali mengulurkan
bantuan kepada mereka yang membutuhkan.
San Ali tampaknya merasakan perubahan sikap ayahanda asuh
tercintanya itu la juga merasakan perubahan sikap dari guru agungnya Bahkan
sikap ayahanda dan ibundanya. Dan ujung dan perasaannya itu, ia merasa tidak
bahagia dengan itu semua. la menangkap sasmita bahwa kecintaan orang-orang di
sekitar-nya terhadap dirinya, tentu ada batasnya. Cinta mereka bukanlah cinta
sejati yang abadi sepanjang masa.
Saat usianya masuk sembilan belas tahun, San Ali
bertambah sering terlihat duduk termenung di bawah pohon Kelapa yang tumbuh
rindang di tepi sungai. Lewat derasnya arus sungai, ia menangkap kenyataan
bahwa aliran air yang terus-menerus itu akan mengalir menuju muara hingga ke
samudera raya. Lewat gemerlap cahaya matahari, ia menyaksikan betapa sinar
dunia itu bergerak dari timur ke barat sepanjang waktu seolah masuk ke
sarangnya di dunia bawah. Bahkan saat menyaksikan warga desa di sekitar
padepokan meninggal dunia, ia menyadari adanya aliran kehidupan manusia, seperti
gerakan air dan matahari menuju ke arah tertentu: pusat dari segala sesuatu.
Selama merenung, ia menyadari bahwa pada hakikatnya
segala apa yang tergelar di alam semesta ini adalah perwujudan dari 'aku'. Air
sungai, matahari, pepohonan, bebatuan, awan-gumawan, langit, gunung-gemunung,
hewan, manusia, dan seluruh isi jagad raya ini memiliki 'aku' masing-masing.
Andalkata matahari bisa bicara maka dia akan berkata: aku matahari. Begitu juga
dengan seluruh isi jagad raya, pasti akan me-ngatakan 'aku' ini dan 'aku' itu.
Dan 'aku' masing-masing itu, pikir San Ali, pastilah memiliki pusat 'Aku'
semesta dari mana 'aku' masing-masing itu berasal dan ke mana 'aku'
masing-masing itu kembali.
Selama ini ia telah diajarkan bagaimana melakukan
penyembahan kepada Gusti Allah, Pencipta alam semesta, Pangkal kejadian segala.
Atau tentang surga yang diperuntukkan bagi orang-orang saleh yang menyembah dan
mengikuti peraturan agama yang diturunkan Gusti Allah. la juga telah diajarkan
tentang neraka yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir yang mengabaikan
ajaran agama. la belajar berbagai masalah kehidupan beragama yang membawa
seseorang sebagai Muslim sejati, yakni mereka yang berbaris beriringan
bersama-sama dengan orang-orang takwa yang dicintai Allah menuju surga tempat
kenikmatan dan kelezatan abadi.
Kesadaran San Ali tentang hakikat 'aku' pribadi dan 'Aku'
semesta itu telah membawanya ke suatu hamparan kegamangan luar biasa dalam
memaknai hidup. Jika sebelumnya, seperti murid-murid padepokan yang lain, ia
memiliki harapan besar untuk bisa menjadi penghuni surga yang penuh kenikmatan
maka kini ia merasakan harapannya itu sebagai kebenaran mutlak. Bukankah surga
pada hakikatnya adalah 'aku' pribadi— dan bukan 'Aku' semesta yang menjadi
sumber segala 'aku'? Bukankah 'aku'-ku akan menyatu dengan 'aku' surga jika
harapanku memang ke sana ?
Bukankah agama mengajarkan intisari hakikat inna li Allahi wa inna ilaihi
rajiun, yang bermakna sesungguhnya semua 'aku' berasal dari 'Aku', dan semua
'aku' akan kembali ke 'Aku' sebagai asal segala 'aku'.
Dengan kesadaran itu San Ali mulai merasakan kegelisahan mencekam jiwanya. la mulai mempertanyakan segala perilaku ibadah yang telah dijalankan-nya selama ini. Gusti Allah yang bagaimana yang ia sembah selama ini? Apakah ketundukan 'aku'-nya di dalam sembahyang benar-benar perwujudan dari ketundukan 'aku' terhadap 'Aku'? Bukankah sampai saat ini ia belum menemukan hakikat dari 'aku' pribadi-nya? Di manakah 'aku' pribadiku berada? Di mana 'aku' pribadiku bisa ditemukan? Apakah 'aku'-ku ber-sembunyi di kedalaman hati, jantung, paru-paru, aliran darah, sumsum, atau otak? Tidak satu pun pelajaran yang diterimanya dari Syaikh Datuk Kahfi memberikan penjelasan yang memuaskan tentang semua pertanyaan ini. Dan San Ali mendapati kenyataan yang makin membuatnya gamang: "Jika keberadaan 'aku' pribadiku saja belum kuketahui hakikatnya, bagaimana mungkin aku mengetahui hakikat 'Aku' semesta? Dan jika hakikat 'Aku' semesta belum kuketahui, bagaimana 'aku' bisa sampai kepada-Nya?"
Setelah belajar selama-lima belas tahun, datanglah saat ia harus meninggalkan padepokan untuk menguji segala ilmu pengetahuan yang telah ia miliki di tengah gelanggang kehidupan dunia. San Ali pergi dengan berbekal petuah Syaikh Datuk Kahfi agar selalu mengikatkan diri pada tali Ilahi intisari hakiki dari 'Aku' semesta yang menjadi pusat semua 'aku' pribadi di mana pun ia berada. Dan intisari dari ikatan tali Illahi itu adalah suatu keyakinan yang menandaskan bahwa 'Aku' semesta itulah pangkal segala: engkau akan mengenal Dia karena Dia! Engkau tahu Dia karena Dia!.
Dengan kesadaran itu San Ali mulai merasakan kegelisahan mencekam jiwanya. la mulai mempertanyakan segala perilaku ibadah yang telah dijalankan-nya selama ini. Gusti Allah yang bagaimana yang ia sembah selama ini? Apakah ketundukan 'aku'-nya di dalam sembahyang benar-benar perwujudan dari ketundukan 'aku' terhadap 'Aku'? Bukankah sampai saat ini ia belum menemukan hakikat dari 'aku' pribadi-nya? Di manakah 'aku' pribadiku berada? Di mana 'aku' pribadiku bisa ditemukan? Apakah 'aku'-ku ber-sembunyi di kedalaman hati, jantung, paru-paru, aliran darah, sumsum, atau otak? Tidak satu pun pelajaran yang diterimanya dari Syaikh Datuk Kahfi memberikan penjelasan yang memuaskan tentang semua pertanyaan ini. Dan San Ali mendapati kenyataan yang makin membuatnya gamang: "Jika keberadaan 'aku' pribadiku saja belum kuketahui hakikatnya, bagaimana mungkin aku mengetahui hakikat 'Aku' semesta? Dan jika hakikat 'Aku' semesta belum kuketahui, bagaimana 'aku' bisa sampai kepada-Nya?"
Setelah belajar selama-lima belas tahun, datanglah saat ia harus meninggalkan padepokan untuk menguji segala ilmu pengetahuan yang telah ia miliki di tengah gelanggang kehidupan dunia. San Ali pergi dengan berbekal petuah Syaikh Datuk Kahfi agar selalu mengikatkan diri pada tali Ilahi intisari hakiki dari 'Aku' semesta yang menjadi pusat semua 'aku' pribadi di mana pun ia berada. Dan intisari dari ikatan tali Illahi itu adalah suatu keyakinan yang menandaskan bahwa 'Aku' semesta itulah pangkal segala: engkau akan mengenal Dia karena Dia! Engkau tahu Dia karena Dia!.
Kepergian San Ali dan padepokan adalah bagian dan
pencarian sejati dari hakikat 'aku' yang bermuara ke 'Aku'. Sebab, bagi
'harimau' seperti San Ali dibutuhkan rimba raya yang lebih luas untuk menemukan
sarangnya yang sejati. Bagi Syaikh Datuk Kahfi, ke-pergian San Ali merupakan
bagian dari ujian menunaikan tekad untuk mencari hakikat sejati 'Aku' yang
menurut para pencari-Nya dilingkari tujuh samudera, tujuh lembah, tujuh gunung,
tujuh jurang, tujuh gurun, tujuh rimba, dan tujuh benteng yang dipenuhi pasukan
penghalang berkekuatan mahadahsyat. Hanya dia yang berjiwa ksatria dan
benar-benar berjuang keras menuju 'Aku' yang akan sampai kepada-Nya.
Perjalanan San Ali mencari 'Aku' sebagai sangkan paran (asal usul) segala 'aku' pada dasarnya merupakan hal aneh bagi seumumnya manusia lumrah. Sebab, manusia umumnya mencari kemuliaan dan kenikmatan hidup berupa harta kekayaan, pangkat tinggi, derajat kehormatan, kekuasaan, atau kenikmatan perempuan. Bahkan bagi sebagian orang yang mengaku beriman dan beramal saleh, yang lazim diburu adalah kenikmatan ukhrawi, seperti surga yang penuh bidadari jelita, makanan lezat, susu, madu, hawa sejuk, dan kenikmatan lain. Jadi, perjalanan San Ali adalah pencarian luar biasa dahsyat yang tak menjanjikan apa-apa kecuali kembali kepada Asal Usul kejadian yang tak bisa dibayang-bayangkan, dibanding-bandingkan, dan disetarakan dengan sesuatu.
Perjalanan San Ali mencari 'Aku' sebagai sangkan paran (asal usul) segala 'aku' pada dasarnya merupakan hal aneh bagi seumumnya manusia lumrah. Sebab, manusia umumnya mencari kemuliaan dan kenikmatan hidup berupa harta kekayaan, pangkat tinggi, derajat kehormatan, kekuasaan, atau kenikmatan perempuan. Bahkan bagi sebagian orang yang mengaku beriman dan beramal saleh, yang lazim diburu adalah kenikmatan ukhrawi, seperti surga yang penuh bidadari jelita, makanan lezat, susu, madu, hawa sejuk, dan kenikmatan lain. Jadi, perjalanan San Ali adalah pencarian luar biasa dahsyat yang tak menjanjikan apa-apa kecuali kembali kepada Asal Usul kejadian yang tak bisa dibayang-bayangkan, dibanding-bandingkan, dan disetarakan dengan sesuatu.
Perjalanan mencari 'Aku' pada dasarnya gampang diucapkan,
namun sulit diamalkan. Sebab, 'Aku' yang dikenal San Ali dengan nama Allah
bukanlah 'Aku' statis yang membiarkan diri-Nya gampang ditemukan apalagi
dijamah 'aku' ciptaan-Nya. Dia menggelar bermacam-macam hijab dan
berlapis-lapis tirai penghalang untuk menguji tekad dan semangat 'aku' dalam
menuju 'Aku'. Semakin dekat 'aku' kepada 'Aku' maka ujian pun makin luar biasa
dahsyat hingga pada satu titik di mana 'aku' tidak melihat 'aku' yang lain
kecuali 'Aku'.
Rintangan awal dan perjalanan San All mencari 'Aku'
dibentangkan sejak ia melangkahkan kaki keluar dari Padepokan Giri Amparan Jati
menuju Pakuwuan Caruban, tempat ayahanda dan ibundanya. Tujuannya ke Pakuwuan
Caruban ini adalah atas perintah Syaikh Datuk Kahfi, untuk memohon doa dan
restu dari ayahandanya, ibundanya, serta Ki Samadullah dan istrinya sebelum pengembaraan
batiniahnya dimulai. Namun, justru di di sanalah rintangan berat dimulai dalam
bentuk tragedi yang menimpa orang-orang yang dicintai-nya.
Saat tiba di pakuwuan yang dijumpainya hanya Resi Bungsu,
adik ibundanya, yang selama bertahun-tahun menjadi penasihat ayahandanya. Rsi
Bungsu ternyata telah menggantikan kedudukan Ki Danusela sebagai Kuwu Caruban.
Kenyataan itu, tentu sangat rnengejutkan San Ali. la merasakan dirinya seperti
disambar petir di siang hari.
Menurut penjelasan Rsi Bungsu, Ki Danusela telah wafat
diterkam harimau saat berburu kijang di hutan Kawali sekitar tiga pekan silam.
Sementara nasib Nyi Ratu Inten Dewi, ibunda San Ali, hingga kini tak diketahui.
Sejak kematian suaminya, Nyi Ratu Inten menjadi hilang ingatan. Suatu malam dia
pergi dan tidak diketahui di mana rimbanya.
Selama bertahun-tahun hidup di padepokan, ia selalu
diterkam kerinduan ingin hidup bersama kedua orang tuanya. Namun, kini mereka
telah tiada. Kenyataan pahit itu sulit diterima San Ali. Jiwanya sangat
terpukul. Itu sebabnya, dengan gencar dan terkesan menuduh ia mempertanyakan
perubahan keadaan itu kepada Rsi Bungsu.
Kenapa kematian ayahandanya tidak diberitakan ke
padepokan? Benarkah ibundanya hilang akal dan lari meninggalkan pakuwuan
setelah kematian ayahandanya? "Saya khawatir, jangan-jangan semua ini
adalah akal bulus Pamanda belaka."
"Apa maksudmu, o Kemenakanku tercinta?" ujar
Rsi Bungsu dengan muka merah padam menunjukkan kobaran api amarah.
"Apakah saya salah jika menaruh syak wasangka bahwa
ayahanda saya meninggal dunia karena upaya pembunuhan? Dan apakah saya salah
jikalau menaruh curiga bahwa ibunda saya telah secara sengaja disingkirkan dari
pakuwuan dengan tuduhan hilang akal? Dan ujung dari semua itu, salahkah jika
saya mencurigai orang yang sekarang menduduki kursi Kuwu Caruban?" sergah
San Ali dengan suara ditekan keras,
"Lancang mulutmu, San Ali," bentak Rsi Bungsu dengan suara menggelegar. "Sungguh aku tidak pernah menduga, murid terkasih Syaikh Datuk Kahfi memiliki mulut selancang dan sekejam dirimu. Tuduhanmu sangat menyakitkan karena tanpa dasar apa pun. Dan ketahuilah, o Kemenakanku, jika saat ini aku berkenan, akan kusuruh punggawa pakuwuan untuk menangkap dan membunuhmu yang telah berbuat tidak tahu tata krama di hadapan Yang Dipertuan Caruban. Tidakkah engkau tahu bahwa aku adalah putera bungsu Prabu Surawisesa Ratu Sanghiang? Tidak tahukah engkau bahwa saudara tuaku, Prabu Ratu Dewata, Ratu Aji di Pakuan, adalah maharaja di Pajajaran?"
"Lancang mulutmu, San Ali," bentak Rsi Bungsu dengan suara menggelegar. "Sungguh aku tidak pernah menduga, murid terkasih Syaikh Datuk Kahfi memiliki mulut selancang dan sekejam dirimu. Tuduhanmu sangat menyakitkan karena tanpa dasar apa pun. Dan ketahuilah, o Kemenakanku, jika saat ini aku berkenan, akan kusuruh punggawa pakuwuan untuk menangkap dan membunuhmu yang telah berbuat tidak tahu tata krama di hadapan Yang Dipertuan Caruban. Tidakkah engkau tahu bahwa aku adalah putera bungsu Prabu Surawisesa Ratu Sanghiang? Tidak tahukah engkau bahwa saudara tuaku, Prabu Ratu Dewata, Ratu Aji di Pakuan, adalah maharaja di Pajajaran?"
"Saya akan sukacita jika Pamanda membunuhku
sekarang," tantang San Ali dengan mata berkilat-kilat.
"Ketahuilah, o San Ali," tukas Rsi Bungsu menahan amarah, "sebagai seorang paman, aku akan memaafkan perilaku burukmu yang melanggar tata krama itu. Aku tidak akan memerintahkan punggawa untuk menangkap dan membunuhmu. Namun, sebagai Kuwu Caruban, adik Maharaja Pajajaran, perbuatanmu itu wajib dihukum agar tidak ditiru oleh kerabat pakuwuan dan kawula alit yang lain."
"Ketahuilah, o San Ali," tukas Rsi Bungsu menahan amarah, "sebagai seorang paman, aku akan memaafkan perilaku burukmu yang melanggar tata krama itu. Aku tidak akan memerintahkan punggawa untuk menangkap dan membunuhmu. Namun, sebagai Kuwu Caruban, adik Maharaja Pajajaran, perbuatanmu itu wajib dihukum agar tidak ditiru oleh kerabat pakuwuan dan kawula alit yang lain."
"Pamanda akan memenjarakan saya?" tanya San Ali
mengernyitkan dahi.
"Hal itu tidak akan terjadi," kata Rsi Bungsu datar, "sebab jika engkau dijatuhi hukuman penjara maka orang-orang akan membenarkan tuduhanmu yang keji itu. Untuk kesalahanmu itu, o San Ali, aku selaku Kuwu Caruban yang mewakili Maharaja Pajajaran, menyatakan bahwa sejak saat ini engkau telah dianggap bukan lagi bagian dari keluarga pakuwuan, apalagi keturuan Ramanda Prabu Surawisesa. San Ali tidak berhak lagi menyandang gelar kebangsawanan. San Ali sudah menjadi kawula alit dari kaum sudra papa yang tidak memiliki martabat dan derajat apa pun di bumi Pajajaran ini."
Mendengar keputusan Rsi Bungsu, San Ali berdiri dengan gagah dan tertawa lepas seolah tidak terpengaruh sedikit pun dengan keputusan pamannya. "Sekalipun kini saya telah menjadi kawula alit, di dalam darah saya tetap mengalir darah yang sama dengan darah Ki Danusela, Kuwu Caruban, yang mengalirkan darah raja-raja Majapahit. Darah saya sama dengan darah ibunda-ku, Nyi Ratu Inten Dewi, darah Pajajaran yang juga mengalir di darahmu, Paman. Karena itu, o Pamanda Bungsu, sekalipun kini engkau tidak mau mengakui aku sebagai kemenakanmu, aku tetap menganggapmu sebagai pamanku karena di dalam tubuh kita mengalir darah yang sama. Dan ketahuilah, o Pamanda, bahwa dengan kekuasaanmu sekarang, engkau dapat mengangkat seratus ekor kera dengan gelar-gelar kebangsawanan. Namun, apa pun gelar yang engkau berikan, mereka tetaplah hewan karena darah, daging, dan tulang mereka adalah hewan."
"Hal itu tidak akan terjadi," kata Rsi Bungsu datar, "sebab jika engkau dijatuhi hukuman penjara maka orang-orang akan membenarkan tuduhanmu yang keji itu. Untuk kesalahanmu itu, o San Ali, aku selaku Kuwu Caruban yang mewakili Maharaja Pajajaran, menyatakan bahwa sejak saat ini engkau telah dianggap bukan lagi bagian dari keluarga pakuwuan, apalagi keturuan Ramanda Prabu Surawisesa. San Ali tidak berhak lagi menyandang gelar kebangsawanan. San Ali sudah menjadi kawula alit dari kaum sudra papa yang tidak memiliki martabat dan derajat apa pun di bumi Pajajaran ini."
Mendengar keputusan Rsi Bungsu, San Ali berdiri dengan gagah dan tertawa lepas seolah tidak terpengaruh sedikit pun dengan keputusan pamannya. "Sekalipun kini saya telah menjadi kawula alit, di dalam darah saya tetap mengalir darah yang sama dengan darah Ki Danusela, Kuwu Caruban, yang mengalirkan darah raja-raja Majapahit. Darah saya sama dengan darah ibunda-ku, Nyi Ratu Inten Dewi, darah Pajajaran yang juga mengalir di darahmu, Paman. Karena itu, o Pamanda Bungsu, sekalipun kini engkau tidak mau mengakui aku sebagai kemenakanmu, aku tetap menganggapmu sebagai pamanku karena di dalam tubuh kita mengalir darah yang sama. Dan ketahuilah, o Pamanda, bahwa dengan kekuasaanmu sekarang, engkau dapat mengangkat seratus ekor kera dengan gelar-gelar kebangsawanan. Namun, apa pun gelar yang engkau berikan, mereka tetaplah hewan karena darah, daging, dan tulang mereka adalah hewan."
"Ketahuilah, o Pamanda tercinta," lanjutnya,
"kehadiran saya di pakuwuan mi sebenarnya hanya ingin memohon doa restu
dan ayahanda dan ibunda karena saya akan mengemban tugas dari guru agung untuk
menjalankan dharma kehidupan saya. Sedikitpun saya tidak pernah berpikir
tentang kekuasaan duniawi apa-lagi jabatan kuwu di Caruban ini. Karena itu, o
Pa-manda, engkau tidak perlu khawatir jikalau saya akan menggalang kekuatan
untuk merebut kekuasaan dari tanganmu. "Ucapan San Ali benar-benar menusuk
perasaan Rsi Bungsu. Itu sebabnya, dengan suara penuh amarah dia menyerang
dengan kata-kata menyakitkan, "Ketahuilah, o San Ali, bahwa sejarinya
engkau tidak memiliki hak untuk berbicara tentang darah Majapahit yang mengalir
di tubuh Kakanda Danusela apalagi darah Pajajaran dari Kakanda Nyi Ratu Inten
Dewi, Ketahuilah, o Anak, bahwa engkau bukanlah keturunan mereka. Karena, orang
yang menjadi ayahandamu adalah orang asing keturunan Melayu-Jambudwipa yang
bernama Syaikh Datuk Sholeh yang mati diganyang pageblug. Begitu juga orang
yang menjadi ibunda kandungmu. Jadi, San Ali, tidak ada darah Majapahit apalagi
darah Pajajaran di tubuhmu. Cukup adil jika aku melarangmu menggunakan gelar
kebangsawanan karena sejatinya engkau memang bukan berasal dari kalangan yang
demikian."
San Ali merasakan kepalanya bagai
disambar petir. la tercengang demi mendengar uraian Rsi Bungsu. Ia benar-benar
kebingungan. Tubuhnya tiba-tiba terasa dingin. Benarkah ia bukan anak kandung
Ki Danusela? Kenapa selama ini tidak ada yang membicarakan persoalan itu?
Benarkah ayahandanya orang asing keturunan Melayu-Jambudwipa bernama Datuk
Sholeh? Benarkah ayahanda dan ibunda kandungnya telah meninggal terkena
pageblug? Kenapa guru agung tidak pernah menceritakan hal itu?
Dengan benak digumpali tanda tanya berjejal-jejal dan hati penasaran, San Ali
dengan langkah limbung meninggalkan pendapa pakuwuan. Seluruh kebanggaannya
sebagai putera Kuwu Caruban hancur binasa. la merasakan bumi tempatnya berpijak
terhempas ke bawah. la tidak memiliki apa-apa lagi: kehormatan hidup,
kebanggaan darah biru, orang tua kandung, dan bahkan orang tua angkat yang
mencintamya. San Ali benar-benar merasakan 'aku'-nya terasing sendiri: hina dan
papa!.
Meninggalkan Orang-Orang Tercinta
DI BAWAH cahaya rembulan yang bersinar separo ditutupi
gumpalan awan di langit yang menghampar di angkasa pantai Muara Jati, di utara
Caruban, San Ali berjalan di antara rimbunan hutan.
Tak jauh di belakang-nya dalam jarak sekitar lima puluh tombak sekitar
seratus orang dengan senjata tombak, pedang, kelewang, dan kujang bergerak
membanyanginya. Mereka bagai kawanan serigala mengintai mangsa.
Ketika ia berada di dekat rimbunan bakau, tiba-tiba salah
seorang dari gerombolan yang mengikuti itu melompat keluar sambil menghardik,
"Berhentilah kau, Ki Sanak! Berani benar kau melewati daerah
kekuasaanku? Apa kau belum kenal siapa aku?" San Ali yang sejak semula merasakan langkahnya diikuti
sekumpulan orang segera menyergah dengan tegas, "Aku tahu siapa kalian!
Bukankah kalian prajurit Pakuwuan Caruban yang diperintahkan Pamanda Rsi Bungsu
untuk membunuhku?"
"Lancang sekali mulutmu, Ki Sanak!"
"Sudahlah Ki Sanak, tidak usah bersandiwara di
depanku," ujar San Ali tenang, "sebagai putera ibunda Nyi Ratu Inten
Dewi dan cucu Prabu Surawisesa, Ratu Aji di Pakuan, aku tahu persis watak dari
Pamanda Rsi Bungsu yang licik."
Mendengar bahwa San Ali adalah putera Nyi Ratu Inten Dewi, istri Ki Danusela, mantan junjungannya, orang itu tercengang kebingungan. Dia
seperti baru sadar bahwa pemuda di depannya itu adalah San Ali.
Namun, sebelum sempat dia berpikir lebih lanjut, tiba-tiba
terdengar hiruk pikuk dari sekeliling hutan bakau yang diikuti oleh menghamburnya orang-orang bersenjata
yang dengan beringas dan bertenak-teriak menyerbu San Ali.
"Bunuh!"
"Cincang!"
"Habisi!"
Bagaikan kawanan serigala menyerang seekot domba, begitulah
gerombolan bersenjata itu menyerbu dengan beringas. Namun, sebagai santri yang
bertahun-tahun dilatih pencak silat dan berbagai ilmu kanuragan, San Ali tidak
gentar menghadapi serangan itu. la dengan tenang menyapukan pandangan ke arah
utara, ke rerimbunan hutan bakau. Dengan gerakan seolah melarikan diri dari lawan, ia melompat kanan kiri dengan cepat meninggalkan
orang-orang yang memburunya.
Dengan berlari cepat, San Ali telah
membagi kekuatan lawan sedemikian rupa. Hanya mereka yang kuat tenaga dan cepat
kakinya yang bisa mendekatinya. Siasat San Ali ini mengena. Para pemburu beriringan mengejarnya. Ketika ada yang
berhasil mendekat, serta merta ia memperlambat laju larinya.
Dan saat jarak mereka tinggal satu tombak, tiba-tiba ia berbalik sambil menyabetkan kakinya ke
bawah dengan gerakan setengah lingkaran.
Desh! Blukk!
Sabetan kaki San Ali dengan telak menghantam kaki lawan. Dan tanpa ampun lagi, lawan yang
terserimpung kakinya itu tumbang ke atas tanah. San Ali cepat bergerak lagi menjauh. Pada saat berurutan, para
pemburu yang berlari cepat di belakang tak sempat menghentikan langkah saat
mengetahui kawan di depannya tersungkur mendadak. Dan peristiwa menakjubkan
pun terjadi, orang-orang yang berlomba memburu San Ali bergantian jatuh karena
tersandung tubuh temannya
yang tersungkur lebih dulu. Disertai sumpah serapah, mereka yang bertumpang tindih itu memaki maki San Ali
dengan penuh amarah. Namun, sebelum mereka
dapat berbuat sesuatu tiba-tiba San Ali melompat ke arah mereka.
Kemudian dengan pukulan dan tendangan yang mantap, satu demi satu para pemburu
yang bergelimpangan itu dihajarnya.
Gerak cepat San Ali dalam melumpuhkan lawan itu tidak
berlangsung lama, sebab para pemburu lain sudah dekat jaraknya. Dengan gerakan
secepat kijang ia melompat
dan mengambil langkah seribu meninggalkan lawan-lawan yang terus mengejarnya.
Tadinya ia sempat meragukan kemampuannya untuk mengalahkan lawan yang jumlahnya
sekitar seratus orang. Namun, dengan
keyakinan bahwa Allah akan senanriasa menolong hamba-Nya, ia terus berusaha
melumpuhkan lawan dengan
cara mengajaknya lari berputar-putar di sekitar pepohonan bakau. Lawan yang jaraknya dekat langsung dihantam dan ditinggal lagi, begitu seterusnya.
Taktik lari dan pukul itu membuat tenaganya terkuras.
Sementara lawan-lawannya meski kelihatan letih dan babak-belur, jumlah mereka
tak berkurang. Bahkan seperti tak ada habis-habisnya. Saat San Ali benar-benar
kewalahan menghadapi serangan lawan, sambil mengamuk dengan gerakan-gerakan
yang mulai kurang terarah, ia mengeluh dan memasrahkan hidupnya kepada 'Aku'
semesta yang diyakini sebagai asal 'aku' pribadi-nya. "Ya Allah, jika Engkau
menghendaki 'aku' kembali kepada-Mu sekarang, kupasrahkan 'aku'-ku untuk
kembali kepada 'Aku'-Mu."
Mendadak terdengar pekikan takbir yang diteriakkan puluhan
orang. Di antara pekikan itu terdengar dentam kaki kuda menghentak-hentak bumi
yang di-selingi jerit kesakitan dan pekik kematian di sana sini.
San Ali tercengang. la seperti bermimpi ketika menyaksikan
puluhan orang berpakaian serba putih dengan menunggang kuda menyabetkan
pedangnya ke kanan dan ke kiri. Dalam tempo singkat, ia melihat puluhan mayat bertumpuk-tumpuk
di sekitarnya. Bahkan sekumpulan orang yang sedang mengepung dirinya tiba-tiba
berhenti bergerak dan mendongak ke atas dengan wajah pucat.
Kemudian bagaikan dikomando, para pengeroyok itu berhamburan ke arah utara
menyelamatkan diri. Setelah suasana terkendali barulah San Ali mengetahui bahwa
di antara para penunggang kuda itu terdapat ayahanda asuhnya, Ki Samadullah.
Rupanya, sejak berita kematian Ki Danusela sampai ke
pakuwuan, Ki Samadullah menangkap gelagat kurang beres dari perilaku Rsi
Bungsu. Itu sebabnya, dengan dalih menyusul Ki Danusela ke hutan Kawali,
diam-diam dia membawa sekitar tiga puluh prajurit berkuda Pakuwuan Caruban.
Alih-alih ke hutan Kawali, sebenarnya Ki Samadullah bersembunyi di kawasan
gunung Sembung tak jauh dari Padepokan Giri Amparan Jati. Dari sanalah, dia memantau perkembangan pakuwuan yang sudah dikuasai oleh Rsi Bungsu.
Dari tempat persembunyiannya, Ki Samadullah mengirim utusan
ke Kadipaten Demak untuk melaporkan kepada Adipati Demak, Arya Sumangsang,
tentang nasib saudaranya tirinya, Ki Danusela. Arya Sumangsang, ketika menjadi
penguasa Demak dengan gelar Abdul Fatah Surya Alam Sayidin Panatagama, kemudian
mengirim adik tirinya seibu yang bemama Raden Kusen dengan membawa sekitar dua
tatus orang prajurit Demak ke Catuban. Raden Kusen yang ibundanya seotang Cina
Muslim itu dengan mudah menyusup ke pelabuhan Muara Jati melalui jasa
saudagar-saudagar Cina. Bahkan tanpa menemui kesulitan, ia dan
pasukannya berhasil masuk hingga ke gunung Sembung.
Malam itu, di bawah bayangan rembulan yang bersinar separo,
San Ali melihat Ki Samadullah menunggang kuda coklat. Di sampingnya, seotang
lelaki berwibawa duduk di atas punggung kuda hitam perkasa. Kilatan matanya
tajam, menyiratkan kecerdasan, keberanian, dan keteguhan jiwa. Usianya sekitar
tiga puluh lima
tahun, sedikit lebih tua dari San Ali, namun ia kelihatan matang.
Begitu melihat anak asuh kesayangannya selamat tak kurang
suatu apa, Ki Samadullah segera melompat turun dari kuda. Dengan mata
berkaca-kaca diliputi keharuan, dia langsung mendekati
San Ali dan mendekapnya erat-erat.
"Alhamdulillah," desah Ki Samadullah dengan ait
mata bercucuran, "engkau tak kurang suatu apa pun Anakku. Aku yakin sekali
Gusti Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang dikasihi-Nya
celaka."
"Pamanda Samadullah," San Ali menarik napas
berat, "ke mana saja Paman selama ini? Aku mencari-carimu di pakuwuan,
namun tak ada yang tahu."
"Aku sengaja bersembunyi di gunung Sembung, Anakku.
Sebab, aku mendapat firasat tidak baik berkenaan dengan pamanmu Rsi Bungsu,
segera setelah kuperoleh berita bahwa ayahandamu meninggal akibat diserang
harimau di hutan Kawali. Karena itu, tanpa sepengetahuan Rsi Bungsu, aku
membawa tiga puluh prajurit keluar pakuwuan untuk bersembunyi, dengan harapan
rentangan waktu akan membongkar kebusukan Rsi Bungsu.
"Dan sekarang Paman yakin bahwa Pamanda Rsi Bungsulah
yang merancangnya semua bencana yang menimpa Pakuwuan Caruban ini?"
"Kenyataan menunjukkan demikian," sahut Ki
Samadullah geram. "Lantaran itu, aku segera mengirim kurir ke Kadipaten
Demak untuk melaporkan kejadian di pakuwuan kepada sang Adipati, yang tak lain
adalah saudara ayahandamu. Beliau kemudian mengirim adik-nya, Raden Kusen,
untuk membalas kematian ayahandamu dan menghukum Rsi Bungsu."
"Jadi?"
"Beliau inilah Raden Kusen, saudara ayahanda-mu,"
kata Ki Samadullah menunjuk ke penunggang kuda hitam, ke arah lelaki yang penuh
wibawa itu.
"Salam takzim, Pamanda," kata San Ali menyalami
dan mencium tangan lelaki itu.
"Engkaukah San Ali, putera Rakanda Danusela?" tanya
Raden Kusen.
"Benar, Paman."
Raden Kusen menatap mata San Ali seolah hendak mengukur
kekuatan jiwa putera dari saudara tirinya itu. Seperti mengukur benda, ia
menyapukan pandangannya ke San Ali dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Dan
sejenak sesudah itu ia menepuk-nepuk bahu San Ali sambil berkata, "Sebagai
bahan dasar, mutumu sangat unggul, o Putera saudaraku. Tetapi untuk menjadi
pusaka dahsyat, engkau masih perlu ditempa lebih keras lagi."
"Terima kasih, Paman," kata San Ali penuh hormat.
Raden Kusen membisikkan sesuatu ke telinga Ki Samadullah.
Sesaat kemudian, Ki Samadullah mengajak San Ali meninggalkan lokasi.
"Pamanda," sergah San Ali, "tahukah Paman
akan nasib ibundaku?"
"O Anakku, tambatan kesayanganku," kata Ki
Samadullah sambil mengelus-elus rambut San Ali. "Sungguh malang nasibmu. Ibundamu hanya sempat tinggal
sekitar sepekan bersama kami di gunung Sembung. Dia pergi begitu saja tanpa
pamit. Ibundamu, Nyi Kuwu, hanya sempat mengatakan kepada istriku bahwa dia
akan mencari ke mana pun ayahandamu berada, meski nantinya yang ditemukan hanya
tulang berbalut tanah. Sekitar sepekan setelah
kepergiannya, salah seorang prajuritku menemukan ibundamu sakit
keras di pinggiran hutan Kawali.
Prajurit itu kemudian membawa ibundamu ke gunung Sembung.
Rupanya perjalanan siang dan malam tanpa kenal hujan dan angin telah membuat
ibundamu kehabisan tenaga. Setelah tinggal selama tiga hari, ibundamu meninggal dan kami
kebumikan di sana ."
"Jadi, ibunda saya meninggal di gunung Sembung? Kenapa
Paman tidak memberi tahu?" tanya San Ali penasaran.
"Sejak awal peristiwa, ibundamu melarang kami
memberitahumu," kata Ki Samadullah menghela napas berat. "Kami semua
tidak tahu alasan apa yang membuat Nyi Kuwu melarang kami. Kami hanya tahu
bahwa beliau adalah puteri Prabu Surawisesa, Ratu Aji di Pakuan, yang segala
perintahnya harus dipatuhi."
"Astaghfirullah!" desah San Ali lirih. Tanpa
terasa dari kelopak matanya mengalir air bening. Terbayang di lipatan
kenangannya tentang belaian kasih yang telah ia dapatkan dari ibundanya itu.
Betapa sabar dan penuh kasih ibundanya itu sehingga belum pernah San Ali
menyaksikannya marah atau bermasam muka. Bahkan andaikata benar pernyataan Rsi
Bungsu bahwa wanita itu bukan ibunda kandungnya, tetaplah San Ali mencintai dan
menghormatinya sepenuh jiwa karena sejak kecil yang ia kenal sebagai ibunda
hanyalah Nyi Kuwu, Ratu Inten Dewi.
Melihat anak asuh yang dikasihinya tenggelam dalam
kesedihan, Ki Samadullah merasakan hatinya pedih bagai mengalirkan darah.
Selama ini, setiap dia mengunjungi San Ali, senantiasa yang dijumpainya adalah
senyum dan tawa bahagia. Ketika mendampingi berkeliling desa dan keluar masuk
hutan pun, dia senantiasa mendapari keceriaan mengitari kehidupan anak asuhnya
itu. Kini, baru beberapa hari meninggalkan padepokan, anak itu telah terseret
ke dalam lingkaran nasib memilukan sebagaimana pernah diramalkan Syaikh Datuk
Kahfi.
Suasana hening melingkupi daerah Muara Jati. San Ali diam.
Ki Samadullah diam. Raden Kusen diam. Semua diam. Hanya angin dingin bertiup
menebarkan bau anyir darah yang mulai mengering di tanah. Dan setelah lama
suasana hening itu berlangsung, Raden Kusen
dengan suara penuh wibawa berkata, "Sekaranglah waktu yang paling tepat
untuk menjatuhkan hukuman bagi Rsi Bungsu. Bagaimana, Ki Samadullah, apakah
orang-orangmu sudah siaga?"
"Patik, Yang Mulia," kata Ki Samadullah, "sejak
sore tadi, sekitar seratus orang santri dari Padepokan Giri Amparan Jati
bersenjata lengkap telah patik siagakan di sekitar pakuwuan. Sekitar seratus
orang pengikut Ki Gedeng Babadan juga sudah bersiaga. Dan sekitar
tiga ratus orang pengikut patik dari Tegal Alang-Alang pun sudah mengitari
pakuwuan sejak sore tadi."
"Bagus," kata Raden Kusen mantap. "Bagaimana
dengan berita kehadiran pasukan Pajajaran yang akan mendukung kekuasaan Rsi
Bungsu?"
"Patik, Yang Mulia," kata Ki Samadullah.
"Berita dari telik
sandhi yang
patik kirim menyatakan bahwa Rsi Bungsu memang meminta bantuan ke
Pakuan. Patik dengar Maharaja Pakuan, Prabu Ratu Dewata, mengirimkan
seribu prajurit di bawah pimpinan perwira bernama
Terong Peot."
"Berarti, kita harus secepatnya menyerang pakuwuan sebelum
bala bantuan itu datang. Kalau sampai pasukan dari Pakuan datang, engkau bisa
membayangkan bagaimana nasib Pakuwuan Caruban ini. Berita Yang kuperoleh dari
pedagang-pedagang Cina yang berniaga di pelabuhan Kalapa mengatakan Rsi Bungsu sengaja membuat laporan palsu bahwa kematian Kuwu Caruban
akibat dibunuh oleh orang-orang Islam atas suruhan Guru Agung Syaikh Datuk
Kahfi. Rsi Bungsu memutar balik
kenyataan. Dia menyebarkan berita bahwa kematian Kuwu Caruban dilatan maksud
jahat orang-orang Islam yang ingin merebut kekuasaan dari orang-orang Pajajaran
yang beragama Hindu-Budha," Raden Kusen memberi penjelasan.
"Sejahat itukah laporan Pamanda Bungsu kepada Uwak
Prabu Ratu Dewata?" San Ali menyergah bagai tak percaya.
"Anakku, San Ali," kata Ki Samadullah sambil
menepuk-nepuk bahu San Ali, "engkau belum mengetahui pahit dan getirnya
kehidupan dunia. Engkau juga belum mengenal asinnya garam dan masamnya
asam kekuasaan dunia. Tetapi jika engkau ingin tahu, demikianlah perilaku
orang-orang yang mabuk kekuasaan."
"Ya Allah, tujuan utama hidupku," desah
San Ali seolah kepada dirinya sendiri, "jauhkanlah hamba dan kejahatan
nista seperti itu. Jangan Engkau palingkan hasrat hatiku kepada selain
Engkau!"
"Semoga doa dan harapanmu terkabul, o Anakku,"
kata Ki Samadullah menarik napas dalam-dalam. "Sungguh mulia tujuan hidup yang hendak engkau raih' Semoga engkau menjadi
salah satu dari 'san ali' yang bisa menjadi pengobat bagi mereka
yang menderita, sebagaimana harapan ayahanda dan ibundamu."
"Jika demikian, Paman,"
sergah San Ali cepat, "marilah kita berangkat sekarang juga ke
pakuwuan."
Malam berkabut menerkam bumi Caruban ketika barisan
berkuda yang dipimpin Raden Kusen menerobos keheningan menuju ke pakuwuan yang
sudah dikepung oleh sekitar seratus delapan puluh prajurit Demak, seratus
santri Giri Amparan Jari, seratus pengikut Ki Gedeng Babadan, dan tiga ratus
pengikut Ki Samadullah dari Tegal Alang-Alang.
Tak sedikit pun suara keluar dari rombongan berkuda itu,
kecuali detak-detak ladam yang menghantam tanah berbatu. Gerakan pasukan yang
dipimpin Raden Kusen benar-benar seperti siluman: tanpa suara, tetapi langsung
menembus ke kediaman musuh.
Ketika barisan berkuda berjarak sekitar tiga pal dari
pakuwuan, tiba-tiba Raden Kusen mengangkat tangan. Seperti digerakkan oleh satu
komando, seluruh pasukan berkuda berhenti serentak. Sejenak kemudian, kuda
hitam yang ditunggangi Raden Kusen melangkah beberapa depan kedepan. la
menepuk-nepukkan tangan tiga kali.
Tepukan tangan Raden Kusen itu ternyata isyarat. ini
terlihat dari munculnya pasukan berkuda Demak secara serentak dari kanan dan
kiri jalan. Rupanya pasukan itu sengaja ditempatkan di sekitar pakuwuan untuk
sewaktu-waktu melakukan serangan mendadak jika dibutuhkan. Tanpa menimbulkan
suara berari, pasukan berkuda itu mengatur formasi dalam baisan-barisan
berjajar tiga-tiga.
Beberapa jenak menunggu pasukannya merapikan barisan,
Raden Kusen kemudian menepuk tangan lagi dua kali. Kali ini rupanya ia
memerintahkan seorang prajurit untuk menyampaikan perintah menyeran kepada kepala-kepala
kelompok
Yang sedang ngepung pakuwuan. Setelah menghormat,
prajurit itu dengan gerk lincah berlari menembus kegelapan malam.
Raden Kusen kemudian melambaikan tangan, meminta Ki
Samadullah yang berada di belakangnya mendekat Dengan suata tenang ia berkata
pedahan, "Ini pelajaran penting yang wajib dialami calon pemimpin,
Ki."Patik, Yang Mulia," sahut Ki Samadullah takzim.
"Maksudku, segera setelah kita menguasai pakuwuan,
kita akan bergerak cepat ke Muara Jati lagi," kata Raden Kusen datar.
"Ke Muara Jati lagi, Yang Mulia?" gumam Ki
Samadullah heran.
"Inilah yang kumaksud pelajaran penting, Ki, kata
Raden Kusen. "Sebab, sore tadi telah kuperoleh berita dari
saudagar-saudagar Cina bahwa perahu-perahu dari gelombang pertama yang memuat lima ratus prajurit
Pajajaran telah terlihat di timur muara sungai Cimanuk ke arah Dermayu. Sedang
perahu-perahu gelombang kedua sore tadi baru memasuki perairan Karawang. Jadi,
bisa dipastikan kalau perahu-perahu dari gelombang pertama malam ini sudah
masuk ke perairan Caruban. Aku memperkirakan meteka akan mendarat paling lambat
subuh nanti. Berarti, saat pagi datang mereka sudah siap bergerak menyerang ke
pakuwuan."
"Tapi, Yang Mulia," kata Ki Samadullah,
"bukankah jumlah mereka yang datang malam ini hanya lima ratus? Bukankah jumlah pasukan Yang
Mulia lebih banyak?"
"Ketahuilah, Ki, bahwa jumlah lima ratus pasukan Pajajaran itu sangat
berarti besar bagi sebuah pertempuran. Sebab, jumlah lima ratus itu adalah prajurit terlatih.
Sedang jumlah tujuh ratus yang kita miliki, hanya dua ratus orang dari Demak
yang benar-benar terlatih. Sisanya adalah orang-orang yang hanya memiliki
ke-terampilan pencak silat seadanya, termasuk para santri dari Giri Amparan
Jati. Jadi, Ki, dalam sebuah peperangan jangan sekali-kali menilai lawan hanya
dari segi jumlah. Ini pelajaran penting."
"Patik paham, Yang Mulya."
Hening makm tiba-tiba dipecahkan oleh pekikan dan jeritan
serta gemerincing senjata beradu di kejauh-an. Pertempuran tampaknya sedang
berlangsung di pakuwuan. San All dan para prajurit penunggang kuda tampak
gelisah menunggu perintah dari Raden Kusen untuk menyerang ke pakuwuan. Namun,
Raden Kusen kelihatan tenang dan bergeming mendengar hiruk pikuk pertcmpuran di
kejauhan.
Dicekam kegelisahan dan bayang-bayang serunya
pertempuran, San Ali tak tahan lagi. la membayangkan bagaimana nasib
kawan-kawannya, para santri, ketika menghadapi prajurit-prajurit pakuwuan yang
terlatih. la membayangkan betapa korban akan berjatuhan di pihak penyerbu.
Setelah beberapa jenak dicekam kegelisahan, ia mendekati Raden Kusen dan bertanya,
"Kenapa kita tidak membantu yang bertempur di sana , Paman?"
"Kita belum mendapat laporan dari medan laga," sahut Raden Kusen singkat.
"Laporan darimedan
laga?" San Ali heran.
"Laporan dari
"Lihat obor itu!" Raden Kusen menunjuk nyala
obor yang diayun-ayun di kejauhan. "Itu laporan dari prajurit tadi bahwa
pertempuran sedang berjalan imbang. Karena itu, sekaranglah waktu yang tepat
bagi kita untuk menyerang agar lawan terkejut."
"Saya paham, Paman," San Ali berdecak kagum.
"Agar lawan mengira jumlah kita banyak maka setiap
prajurit akan menyalakan dua obor. Kita akan menyerbu dari kegelapan dengan
suara hiruk pikuk dan obor yang digoyang-goyang," kata Raden Kusen.Raden
Kusen mengangkat tangan kanan. Obor-obor secara berurutan menyala. Dalam waktu
singkat keadaan sekitar menjadi terang-benderang. Raden Kusen mendadak
meneriakkan takbir dengan suara menggelegar bagai guntur . Sedetik sesudah itu, ia memacu
kudanya. Para prajurit di belakangnya buru-buru
mengikuti. Bagaikan naga bertubuh api yang merayap di kegelapan malam,
begitulah pasukan berkuda yang membawa obor itu bergerak ke arah pakuwuan.
Ketika jarak barisan berkuda yang dipimpin Raden Kusen
dengan pakuwuan tinggal satu pal, serta merta mereka berteriak-teriak
mengumandangkan takbir ganti-berganti dan sahut-menyahut. Kemudian bagaikan
luapan air bah, pasukan berkuda itu menerjang ke arah gerbang pakuwuan, tempat
para penyerbu dan prajurit pakuwuan sedang bertempur.
Kegentaran segera meluas di kalangan prajurit pa¬kuwuan
ketika mereka menyaksikan beratus-ratus cahaya obor berayun di kejauhan.
Kegentaran makin memuncak manakala terdengar pekikan takbiryang makin mndekati
gerbang. Dan puncak kegentaran itu berubah menjadi kepanikan manakala mereka
menyaksikan bahwa para pembawa obor itu adalah pasukan berkuda yang dipastikan
merupakan bagian dari kekuatan para penyerbu. Demikianlah, tanpa dapat
dikendalikan lagi, prajurit pakuwuan berhamburan melarikan diri begitu
mendengar detak-detak ladam menggeba bumi. Dan kepanikan pun makin tak
terkendali ketika tubuh pata prajurit pakuwuan bertumbangan ke atas bumi
bagaikan rumput dibabat parang.
Barisan berkuda yang datang bagaikan air bah itu terus
maju tak mempedulikan apa pun. Barang siapa menghalangi akan diinjak. Para
penyerbu gabungan dari padepokan Giri Amparan Jari, Kuwu Babadan, dan Tegal
Alang-Alang yang melihat kedatangan bala bantuan segera menyibak memberi jakn.
Dan pasukan berkuda pimpinan Raden Kusen itu dengan leluasa menerobos ke dalam
pakuwuan. Dengan cambuk ekor ikan pari, pedang, tombak, dan panah, mereka
memblnasakan prajurit pakuwuan.
Dalam waktu singkat, pertahanan Pakuwuan Caruban bobol.Para
prajurit pakuwuan yang bertem-pur tanpa komando pemimpin itu porak-poranda.
Seraya berteriak-teriak kebingungan mereka berhambur-an ke segak arah
menyekmatkan diri. Sementara, sebagian yang lain berusaha menyelamatkan
junjungannya, Kuwu Baru, Rsi Bungsu dan keluarganya, keluar dari pakuwuan.
Meski dengan susah payah, akhirnya Rsi Bungsu berhasil lolos dari kepungan
musuh. Dan malam itu, Rsi Bungsu beserta keluarga dan sedikit prajurit
menerobos kegekpan melewati lereng gunung Ciremai menuju ke Kadipaten Galuh.
Dalam waktu singkat, pertahanan Pakuwuan Caruban bobol.
Setelah sisa terakhir kekuatan Rsi Bungsu terhalau, di
bawah temaram cahaya rembulan dan di tengah gumpakn kabut, Raden Kusen duduk
gagah di atas kuda hitam, didampingi Ki Samadullah dan San Ali. Para penyerbu
dari Demak, padepokan Giri Amparan Jati, Kuwu Babadan, dan Tegal Akng-Akng
berkeru-mun mengitari pemimpin mereka. Sementara di luar tembok pakuwuan,
sebagian barisan berkuda bersiaga menunggu perintah kejutan. Butir-butir jelaga
dari obor terlihat menodai wajah prajurit berkuda, namun mereka bagai tak
peduli. Putaran roda waktu telah mem-buat mereka berdiam din dalam ketegangan.Raden
Kusen, lelaki gagah dengan kulit putih kemerahan dan mata agak sipit tetapi
setajam rajawali itu, begitu menakjubkan dan memukau mereka yang berada di
sekelilingnya. Putera Adipati Palembang, Ario Damar, itu begitu tenang
menghadapi berbagai persoalan. Bahkan menghadapi kemenangan gemilang seperti
sekarang ini pun, ia mampu mengendalikan kegembiraan.
Dengan suara penuh wibawa Raden Kusen berkata dengan nada
mengingatkan, "Kita belum sepenuhnya meraih kemenangan karena malam ini
pasukan Gelombang pertama dari Pajajaran akan mendarat di Muara Jati. Jika
mereka kita biarkan maka esok pagi Pakuwuan Caruban akan jatuh ke tangan
mereka. Dan kita semua tahu apa tindakan pasukan Pajajaran terhadap mereka yang
dianggap memberontak?"
Suara-suara segera menggema. Raden Kusen dengan tenang
mengamati reaksi ucapannya terhadap orang-orang itu, terutama kepada Ki
Samadullah dan San Ali. Dan tak lama kemudian, hiruk pikuk itu makin gaduh,
tetapi secara pasti menunjuk pada maksud yang sama: bahwa malam itu juga mereka
semua harus ke Muara Jati untuk menghadang pssukan Pajajaran. Daripada dibunuh
lebih baik membunuh. Dan pekikan takbir pun mengumandang sahut-menyahut sebagai
tanda kebulatan tekad mereka untuk menyambut ke-datangan lawan.
Malam itu, setelah menyisakan sekitar lima puluh orang
untuk menjaga pakuwuan, Raden Kusen didampingi Ki Samadullah dan San Ali menuju
Muara Jari, diikuti barisan berkuda, para santri padepokan, peng-ikut Ki Gedeng
Babadan, dan pengikut Ki Samadullah dari Tegal Alang-Alang. Rombongan bergerak
cepat, menembus kabut malam yang mulai menutupi permukaan bumi Caruban.
Perhitungan Raden Kusen bahwa perahu-perahu pasukan
Pajajaran gelombang pertama akan mendarat menjelang subuh ternyata terbukti.
Ketika barisan yang dipimpinnya sampai di Muara Jati, di keremangan laut sudah
terlihat bayangan hitam dari sekitar tiga puluh perahu yang bergerak diam-diam
mendekati pantai
Tanpa menunggu waktu, Raden Kusen segcra bertindak cepat
dengan memerintahkan pasukan panah yang ber-jumlah sekitar lima puluh untuk berbaris memanjang sejajar
pantai. Tugas utama mereka adalah menembaki prajurit Pajajaran yang akan
mendarat. Sementara lima
puluh pasukan tombak disiagakan di lapis kedua, yakni di belakang pasukan
panah. Sedang di lapis ketiga disi¬agakan pasukan pedang, cambuk, dan kujang.
Barisan berkuda justru ditempatkan paling belakang.
Perahu-perahu besar berisi prajurit Pajajaran men-dekati
pantai Muara Jati. Dan seirama dengan deburan ombak yang membentur lambung
perahu yang mulai menyentuh pasir, berlompatanlah para prajutit itu ke dalam
air yang setinggi lutut. Kemudian, bagai siluman mereka bergerak menepi. Mereka
tidak sadar bahwa di sepanjang pantai telah menunggu para pene-bar maut.
Rupanya Terong Peot, manggalayuddha pasukan Pajajaran itu telah memberikan
kepastian bahwa prajurit-prajurit dari Pakuwuan Caruban akan menyambut mereka di
Muara Jati.
Saat ptajurit-prajurit Pajajaran berada dalam jarak
sekitar sepuluh tombak dan pantai, tiba-riba terdengar Pekik takbir
dikumandangkan oleh Raden Kusen. Dan atas kudanya, ia mengacungkan pedang ke
arah laut. Dan bagaikan semburan air hujan, begitulah puluhan anak panah
melesat dengan kecepatan kilat dari busur prajurit Demak.
Prajurit Pajajaran yang tak menduga bakal diserang
mendadak, terkejut luar biasa begitu mendengar pekikan takbir. Sebagai prajurit
terlatih, mereka buru-buru berbalik arah. Tetapi, kecepatan gerakan mereka di
air tak segesit di darat. Itu sebabnya, sebagian di antara mereka—sekitar tiga
puluh orang—yang ber-ada pada posisi paling depan langsung bertumbangan ketika
anak panah menghunjam perut, dada, bahu, leher, dan bahkan mata. Dan jerit
kesakitan pun me-ngumandang bersahut-sahutan. Sungguh sangat memilukan.
Rupanya, luka akibat panah itu menjadi sangat sakit terkena asin air laut.
Kerika prajurit Pajajaran sedang panik dan berlari-an di perairan Muara Jati, Raden Kusen memberikan komando lanjutan dengan pekikan takbir dan isyarat pedang. Kali ini pasukan lapis kedua berlari cepat ke arah laut. Saat jarak lari mereka dari pantai sekitarlima
tombak, serta merta mereka melemparkan tombak ke arah prajurit Pajajaran. Dan
sejenak sesudah itu mereka membalikkan badan dan kembali ke posisinya semula di
belakang pasukan panah.
Kerika prajurit Pajajaran sedang panik dan berlari-an di perairan Muara Jati, Raden Kusen memberikan komando lanjutan dengan pekikan takbir dan isyarat pedang. Kali ini pasukan lapis kedua berlari cepat ke arah laut. Saat jarak lari mereka dari pantai sekitar
Hujan tombak di kegelapan malam itu dalam tempo singkat
menambah jumlah korban di pihak lawan. Dengan cepat tubuh sebagian mereka yang
turun ke laut terlihat mengapung menjadi mayat dengan tikaman panah dan tombak.
Sementara itu, prajurit-prajurit lain ngmasih di atas perahu enggan turun. Dan
kepanikan makin meningkat manakala dari tepi pantai terlihat beribu-ribu obor
dinyalakan.Manggalayuddha Pajajaran cepat mengambil kesimpulan bahwa pasukannya
telah masuk ke dalam perangkap musuh. Untuk menghindari korban lebih besar, dia
memerintahkan prajuritnya naik kembali ke atas perahu. Dan menjelang subuh itu,
perahu-perahu Pajajaran kembali bertolak ke tengah laut. Me-ninggalkan beberapa
puluh mayat yang mengapung di permukaan laut dipermainkan gelombang
Menjelang subuh, Raden Kusen didampingi Ki Samadullah dan
San Ali beserta seluruh prajurit denganpenuh kegembiraan kembali ke pakuwuan.
Seyogyanya, saat tiba di pendapa pakuwuan Ki Samadullah akan langsung
mengumumkan bahwa yang menjadi Kuwu di Caruban adalah San Ali, putera Ki
Danusela.Namun, sepanjang perjalanan San All yang sudah menangkap keinginan
bapak asuh yang mencintainya itu dengan tegas menyatakan penolakannya.
Penolakan itu tentu saja mengejutkan Ki Samadullah.
Jika Pamanda menyayangi saya setulus hati, tentu Paman bisa memahami bahwa tujuan utama saya bukan kekuasaan duniawi. Karena itu, jika Paman memaksa saya untuk menduduki kursi Kuwu Caruban, berarti Paman telah memberikan beban yang sangat berat yang sangat mungkin tidak mampu saya pikul," kata San Ali.
Jika Pamanda menyayangi saya setulus hati, tentu Paman bisa memahami bahwa tujuan utama saya bukan kekuasaan duniawi. Karena itu, jika Paman memaksa saya untuk menduduki kursi Kuwu Caruban, berarti Paman telah memberikan beban yang sangat berat yang sangat mungkin tidak mampu saya pikul," kata San Ali.
"Jika engkau menolak jabatan kuwu," kata Ki
Samadullah, "lantas siapa yang akan menggantikan ke-dudukan
ayahandamu?"
"Saya sudah menyaksikan betapa hebat Pamanda Raden
Kusen mengatasi masalah sebesar ini. Karena itu, tidak salah jika saya
menginginkan Pamanda Raden Kusenlah yang cocok menggantikan kedudukan Ayahanda
Danusela. Saya kira, Pamanda Raden Kusen akan mendapat dukungan dari Kerajaan
Galuh melalui Pamanda Samadullah. Saya yakin, Pamanda Samadullah dapat
memberikan dukungan kepada beliau sebab ditinjau dari segi nasab, hubungan
Paman dan kerabat Kerajaan Galuh sangat dekat."
"Anakku," sahut Ki Samadullah memegang bahu San
Ali, "apakah dengan ini engkau akan meninggalkan aku? Apakah engkau tetap
melaksanakan tekadmu berkelana mencari hakikat sejati 'Aku'?"
"Maafkan saya, Paman," kata San Ali menguatkan
hati. "Saya sudah membulatkan tekad untuk mencari hakikat sejati 'Aku'
sebagaimana hal itu pernah saya ungkapkan kepada guru agung. Dan sekeluar saya
dari padepokan, makin kuadah tekad saya untuk melaksanakan impian saya
itu."
"Semoga Allah senantiasa merahmati dan melindungimu, Nak." Tirik air bening mulai terlihat di sudut mata Ki Samadullah.
"Semoga Allah senantiasa merahmati dan melindungimu, Nak." Tirik air bening mulai terlihat di sudut mata Ki Samadullah.
"Paman, saya mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepadamu yang telah begitu tulus mencintai manusia sebatangkara
seperti saya," San Ali berkata lirih.
"Kenapa engkau berkata begitu, Nak?"
"Saya lahir dalam keadaan yatim. Ketika bayi, saya
sudah yatim piatu. Hanya berkat budi baik ayahanda dan ibunda, paman dan bibi,
saya bisa menjadi seperti sekarang ini."
"Siapa yang menceritakan hal dirimu itu, Nak?"
Ki Samadullah penasaran.
"Pamanda Rsi Bungsu," kata San Ali. "Dan
beliau benar, bukan?"
Ki Samadulah menunduk. Butiran air bening jatuh dan
kelopak matanya.
"Saya tahu, Pamanda, bibi, ayahanda, ibunda, dan guru agung menyimpan rahasia ini agar saya tidak sedih dan merasa sebatangkara di dunia. Tetapi, Paman, dengan terbukanya kenyataan ini makin kuatlah keinginan saya mengejar impian. Sebab, dengan menyadari kesebatangkaraan saya maka saya makin mudah melepaskan segala sesuatu selain Dia yang saya tuju."
"Saya tahu, Pamanda, bibi, ayahanda, ibunda, dan guru agung menyimpan rahasia ini agar saya tidak sedih dan merasa sebatangkara di dunia. Tetapi, Paman, dengan terbukanya kenyataan ini makin kuatlah keinginan saya mengejar impian. Sebab, dengan menyadari kesebatangkaraan saya maka saya makin mudah melepaskan segala sesuatu selain Dia yang saya tuju."
Sepanjang perjalanan akhirnya Ki Samadullah tidak
berkata-kata lagi. Dia tenggelam dalam kepedihan. Sungguh, jauh di dalam lubuk
jiwanya ingin sekali dia mengantarkan ke mana pun San Ali pergi. Namun,
keinginan aneh anak asuhnya yang tak lazim mencari hakikat sejari Dia Yang Tak
Terpildr dan Tak Terbayang adalah kemustahilan yang sulit dipahami. Ah, betapa
aneh garis kehidupan anak itu: lahir ke dunia sebagai yatim piatu dan
didewasakan di lingkungan padepokan yang penuh keprihatinan, kini setekh
de-wasa akan mengembara dengan tujuan melepas segala kepentingan dunia untuk
menuju ke 'aku' yang tak tergambarkan keberadaan-Nya.
Segak pembicaraan Ki Samadullah dengan San Ali ternyata
didengatkan dengan cermat oleh Raden Kusea Itu sebabnya, kerika mereka tiba di
pakuwuan, segera dibuat keputusan bahwa kekuasaan Kuwu Caruban di-percayakan
kepada Ki Samadullah. Karena, selain masih keturunan Raja Galuh, dia dianggap
paling berpengalaman menjadi pejabat pangraksabhumi mem-bantu tugas-tugas Ki
Danusela. Untuk mengamankan pakuwuan, dua ratus prajurit Demak tetap disiagakan
untuk membentengi pakuwuan dari serangan Pajajaran atau gerakan subvetsif
pengikut Rsi Bungsu. Bahkan Raden Kusen dengan penuh keberanian membuat
keputusan bahwa Pakuwuan Caruban bukan kgi menjadi bagian wilayah Pajajaran,
melainkan bagian wilayah Kadipaten Demak.
"Umumkan kepada seluruh warga pakuwuan bahwa hari
ini, waktu pecat sawet (pukul 10.00), hari Soma Manis, tanggal 19, bulan Badra,
tahun Saka 1392, penguasa negeri ini sudah berganti. Katakan kepada seluruh
penduduk Pakuwuan Caruban bahwa gusti mereka sekarang ini bukan lagi Prabu Ratu
Dewata di Pajajaran, melainkan Adipati Demak, Arya Sumangsang, putera Prabu
Kertawijaya Maharaja Majapahit, yakni saudara Ki Danusela."
San Ali menghadap Syaikh Datuk Kahfi untuk berpamitan.
Ini sangat penting baginya sebab selain sebagai guru agung yang menempa pribadi
dan cara pikir-nya, Syaikh Datuk Kahfi adalah satu-satunya manusia di dunia ini
yang memiliki hubungan darah dengannya. Dan lantaran hubungan darah itu, ia
menjadi mafhum kenapa guru agung itu begitu memanjakan dan meng-istimewakan
dirinya dibanding murid-murid lain.
Di hadapan Syaikh Datuk Kahfi, yang diketahui-nya sebagai
adik sepupu ayahanda kandungnya, San Ali tidak mampu menyampaikan sesuatu
kecuali menundukkan kepak memandangi anyaman tikar yang tergelar di bawahnya.
la merasakan dadanya kosong. Hampa. Entah apa yang terjadi, ia hanya merasakan
bahwa niatnya yang kuat untuk mengembara mencari 'aku' telah menimbulkan beban
berat di hatinya untuk berpisah dengan orang-orangyang dicintainya, terutama
Syaikh Datuk Kahfi dan istrinya. Mereka selama bertahun-tahun telah mengasuh,
membimbing, dan memberikan kasih sayang seperti orang tua kepada anak.
Kebersatuan adalah kebahagiaan. Perpisahan adalah kepedihan.
Syaikh Datuk Kahfi kelihatan sulit menyembunyi-kan
kepedihan yang mengharu biru hatinya. Namun, sebagai seorang guru agung yang
menjadi teladan bagi para muridnya, dia harus berjuang keras mengakhkan
kepedihan jiwa. Memang benar, berpisah dengan orang tercinta sangat berat dan
menyakitkan namun keharusan berpisah dengan segala sesuatu selain Dia adalah tuntutan
mutlak. Itu sebabnya, dengan hari berat dia menasihati kemenakannya.
"Pergilah engkau mengikuti tuntutan jiwamu, o Anakku terkasih, sebab hanya
dia yang berjuang keras rnenuju Dia yang akan sampai ke Dia. Segala apa yang
engkau alami selama ini adalah bagian dari perjalanan yang mesti engkau lewati.
Tinggalkan segak sesuatu yang ada pada dirimu hingga tak bersisa kecuali
keyakinanmu terhadap Dia."
"Hamba akan jadikan nasihat Guru Agung sebagai
azimat," kata San Ali takzim. "Tetapi, bolehkah hamba bertanya
sesuatu tentang hal hamba?"
"Bertanyalah, o Anakku."
"Benarkah leluhur hamba berasal dari negeri
Malaka?" tanya San All tegas.
"Sepengetahuanku memang begitu, Anakku," jawab Syaikh Datuk Kahfi. "Tetapi barang satu abad lalu leluhur kita tidak bertempat di tanah semenanjung. Mereka datang dari negeriGujarat .
Menurut cerita ayahandaku, Syaikh Datuk Ahmad, leluhur kita adaleh bangsawan
dan ulama di Gujarat . Kakekku, Syaikh Datuk
Isa, adalah leluhur yang tinggal di Makka. Belku sekeluarga awalnya datang ke
negeri Perlak kemudian merantau ke semenanjung, yakni Malaka."
"Sepengetahuanku memang begitu, Anakku," jawab Syaikh Datuk Kahfi. "Tetapi barang satu abad lalu leluhur kita tidak bertempat di tanah semenanjung. Mereka datang dari negeri
"Berarti, sangat mungkin negeri Gujarat
pun bukan tempat asal leluhur kita. Sebab, bukan sesuatu yang mustahil jika
leluhur keluarga kita berasal dari negeri Arab, Rum, dan mungkin Maghrib,"
kata San Ali menyimpulkan. "Memang benar, Anakku," kata Syaikh Datuk
Kahfi, "sebab kalau diurut-urut, semuanya berasal dari negeri Arab di mana
Bapa Adam dan Ibu Hawa pertama kali tinggal di bumi."
Sebelum tinggal di negeri Arab, di manakah Bapa Adam dan
Ibu Hawa tinggal? Apakah di tempat bernama jannah Darussalam?' tanya San Ali.
Sejauh yang kupahami dari kitab-kitab memang demikian, o
Anakku."
"Jikalau begitu, o Guru Agung, hamba mohon pamit secepatnya karena hamba memiliki pandangan bahwa mencari Dia haruslah mencari rangkaian galur di mana Dia menempatkan manusia pertama ciptaan-Nya di muka bumi," kata San Ali tegas.
"Jikalau begitu, o Guru Agung, hamba mohon pamit secepatnya karena hamba memiliki pandangan bahwa mencari Dia haruslah mencari rangkaian galur di mana Dia menempatkan manusia pertama ciptaan-Nya di muka bumi," kata San Ali tegas.
"Mudah-mudahan engkau menemukan apa yang engkau
cari, Anakku," kata Syaikh Datuk Kahfi dengan mata berkaca-kaca.
Menyeberangi Samudera
DIBANDING Dermayu, Muara Jati hanyalah pelabuhan kecil,
namun dari sinilah orang memasok beras, gula aren, garam, dan terutama terasi.
Pada paro tengah abad ke-15, Muara jati merupakan pelabuhan penunjang bagi
keramaian Dermayu.
Dipandang dari laut, Muara Jati tampak seperti kumpulan
kampung nelayan dengan puluhan perahu kecil ditambatkan di tonggak-tonggak
kayu. Sebuah geladak sepanjang lima
puluh meter yang menjorok ke laut hanya digunakan untuk memunggah muatan dari
dan ke atas perahu. Sejumlah rumah bambu beratap rumbia berderet kecoklatan di
bawah garis hijau pepo-honan yang melatar belakanginya. Barang empat buah rumah
besar bercat merah yang tegak perkasa di pinggir jalan ke arah geladak adalah
rumah orang-orang Cina muslim yang umumnya tengkulak beras. Sementara sebuah
bangunan besar dengan pendapa yang berdiri menghadap laut adalah kediaman
tandha, yakni pejabat bawahan Raja Galuh yang bertugas memungut pajak lalu
lintas hasil bumi dan perikanan yang keluar dan masuk pelabuhan Muara Jati. Nun jauh di selatan Muara Jati, terpampang gunung Ciremai
yang membiru diselimuti halimun, yang menurut cerita adalah tempat persemayaman
dewa-dewa.
San Ali menantikan perahu yang akan membawa-nya ke tengah
samudera, meninggalkan tanah kelahiran tempat ia mendapat limpahan cinta kasih.
la merasakan kepedulian mencekam jiwanya. Dari dalam hati-nya terungkap suara
jiwa yang mengharu biru kebulatan tekadnya. "O San Ali, akankah engkau
tinggalkan tempat yang telah memberikan kedamaian bagi kehidupanmu? Akankah
engkau tinggalkan orang-orang yang selama ini memberikan kasih sayang
yang memaknai pembentukan jiwamu? Akankah engkau tinggalkan keceriaan
penghuni padepokan yang senantiasa mengumandangkan nyanyian pepujian kebesaran
Illahi?, Akankah engkau lupakan orang-orang desa yang dengan senyum tulus
menyapamu dalam setiap perjumpaan?.”
San Ali menarik napas panjang dan berat. la sadar bahwa
hatinya berat meninggalkan rentangan kenangan yang sudah berurat dan berakar di
jiwanya. Itu sebabnya, dengan menguatkan hati ia berbisik kepada ungkapan suara
jiwanya.
"Adakah kehidupan yang mengalir tanpa perpisahan dan
kesedihan? Air memancar dari mata air kemudian meninggalkan sumbernya untuk
menuju ke sungai hingga ke muara dan memasuki samudera raya. Manusia lahir dari
kandungan ibundanya kemudian tumbuh dewasa dan akhirnya mati meninggalkan
segala yang melekat pada dirinya. Dunia beserta segala ismya dan alam semesta
pun pada akhirnya mengalir ke suatu masa yang disebut Yaumul Akhir. Jadi
perpisahan dan kesedihan adalah bagian dari hidup. Sesungguhnya tidak ada yang
langgeng di permukaan bumi ini."
"Dengarlah, wahai suara hatiku, bahwa aku seperti
juga engkau memiliki kenangan dengan kehidupan di Caruban yang indah yang
membentang di kaki gunung Ciremai yang dilingkari ombak samudera, yang diwarnai
gemericik air sungai dan kicau burung menyambut mentari pagi. Tetapi, wahai
suara hatiku, ketahuilah bahwa segala keindahan itu telah berubah menjadi
terali bagi 'aku'-ku, karena aku sekarang bagai rajawali terkungkung dalam
sangkar besi yang sering merana setiap kah melihat burung lain terbang di
angkasa, mereguk kebebasan jiwa dengan membentangkan sayap kehidupan."
Ketika San Ali sedang bergulat dengan suara jiwanya, perahu yang bakal membawanya pergi dari bumi Caruban datang. Pemilik perahu itu bernama Tahrimah, laki-laki setengah umur dengan tubuh tegap dan otot-otot tangan kukuh. Wajahnya yang keras menunjukkan bahwa dia adakh orang yang tabah melintasi kerasnya kehidupan. Dan sorot matanya yang berbinar-binar menunjukkan betapa teguhnya laki-laki itu memegang prinsip. Sementara kulitnya yang coklat kehitaman terbakar sinar matahan mencerminkan semangat hidup yang tak luntur terkena hujan dan tak lekang terkena panas.
Ketika San Ali sedang bergulat dengan suara jiwanya, perahu yang bakal membawanya pergi dari bumi Caruban datang. Pemilik perahu itu bernama Tahrimah, laki-laki setengah umur dengan tubuh tegap dan otot-otot tangan kukuh. Wajahnya yang keras menunjukkan bahwa dia adakh orang yang tabah melintasi kerasnya kehidupan. Dan sorot matanya yang berbinar-binar menunjukkan betapa teguhnya laki-laki itu memegang prinsip. Sementara kulitnya yang coklat kehitaman terbakar sinar matahan mencerminkan semangat hidup yang tak luntur terkena hujan dan tak lekang terkena panas.
Setelah cukup lama menunggu reaksi San Ali, Tahrimah
menanyakan tujuan perjalanannya meninggalkan Muara Jati. "Apakah Yang
Mulia San Ali, putera Kuwu Caruban, akan menuju pelabuhan Kalapa atau hanya ke
Dermayu?"
"Engkau lebih tahu akan tujuanku, o Paman, sebab
pemegang kemudi perahu ini adalah engkau. Apalah arti maksud dan tujuan
kuucapkan jika di tengah kut engkau nantinya akan menenggelamkan perahumu.
Dengan menumpang perahumu, o Paman, sudah ku-buktkan tekadku untuk mengorbankan
diriku dalam mencapai tujuanku yang sejati," ujar San All tegas.
"Tidak adakah lagi syak di hati Yang Mulia?"
"Sudah kubulatkan tekadku, seperti kuucapkan saat
kumulai sembahyang menghadap Dia," ujar San Ali mantap.
"Jika demikkn, naiklah o Anak ke atas perahuku. Dan
ingat-ingatlah selalu, selama perjalanan di laut jangan sekali-kali Anak
melakukan perbuatan lain yang membahayakan perahu ini. Dan berdoalah agar kita
selamat melintasi lautan yang kadang-kadang meng-amuk."
San Ali tersenyum dan menganggukkan kepaka.
Tahrimah ternyata orang yang memiliki pengetahuan luas
tentang kehidupan. Ketika masih muda, dia pernah menjadi awak kapal dagang yang
mengarungi tujuh samudera dan menyinggahi berbagai pekbuhan besar tempat
kapal-kapal dari berbagai negeri berlabuh. Kini, setelah usia makin menua, dia
hanya menjadi pengemudi perahu yang khusus mengantarkan orang-orang tertentu ke
tujuan yang dikehendaki.San Ali sangat terkesan mendengar kisah hidup Tahrimah.
Itu sebabnya, ia bertanya banyak hal tentang peristiwa yang sedang
dialaminya saat ini. "Baimanakah perasaan Paman saat pertama kali berlayar
meninggalkan tanah kekhiran tercinta?"
"Semula berat dan menyedihkan, o Anak," kata
Tahrimah. "Tetapi, bersama menggelindingnya waktu kusadari bahwa menjadi
kewajiban mendasar dan kita untuk meninggalkan segaia sesuatu yang sebenarnya
bukan milik kita."
"Maksud Paman?" tanya San Ali belum paham.
"Sebelumnya aku sempat berpikir bahwa bumi Caruban,
anak, istri, rumah, orang tua, sahabat, guru, dan segaia apa yang kucintai
adalah milikku. Pada akhitnya kusadari bahwa semua itu bukan apa-apaku, apalagi
milikku. Tubuh dan jiwaku pun pada hakikat-nya bukanlah milikku."
"Kalau begitu, Paman adalah seorang zahid,"
ujar San Ali.
"Seorang zahid yang melakukan hidup zuhud adalah dia
yang meninggalkan segaia sesuatu yang menjadi miliknya. Zahid adalah dia yang
meninggalkan segaia apa yang bisa ditinggalkannya. Sedangkan 'aku' pada
kenyataannya tidak memiliki apa pun yang bisa kutinggalkan. Semua merupakan
milik-Nya: Kebesaran, Keagungan, Keindahan, Kekuasaan, Kehendak, Kemuliaan,
Puji-pujian, dan Kemutlakan."
"Engkau orang yang telah tercerahkan, o Paman, kata
San Ali dengan mata membinarkan rasa takjub, "Ajarkanlah kepadaku tentang
jalanmu menuju-Nya!'
"Engkau memiliki jalanmu sendiri, o Anak," kata
Tahrimah datar. "Jalan yang telah kulalui akan berbeda dengan jalan yang
harus engkau lalui."
"Itu aku tahu, Paman," San Ali memohon,
"tetapi berikanlah kepadaku barang satu atau dua patah nasihat yang akan
kujadikan bekal perjalananku."
"Jika itu keinginanmu, aku akan memberimu dua
nasihat yang boleh engkau ikuti dan boleh pula engkau abaikan."
"Saya akan berjuang menjalankan nasihatmu, o
Paman."
"Pertama, lakukan Taubat, yakm engkau harus
berpaling dan segala sesuatu kecuali Allah. Maksud-nya, jika sebelum ini engkau
pernah berbalik dari-Nya maka sekarang engkau wajib menghadapkan jiwa dan
pikiranmu hanya kepada-Nya. Kedua, lakukan Dzikir, yakni ingadah selalu Allah
jika engkau lupa. Maksud-nya, jika engkau selalu berusaha berada dalam keada-an
melupakan segaia sesuatu yang bukan Allah maka saat itulah engkau mengingat
Allah."
Di Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran, kehidupan berlangsung sangat lamban dan jauh berbeda dengan Muara Jati, apalagi dibandingkan Dermayu yang hingar-bingar dipenuhi kesibukan. Satu-satunya tempat orang terlihat lalu lalang hanya di dermaga Kedunghalane, tempat perahu hilir-mudik dari dan ke pelabuhan Kalapa. Di situ tak henti-hentinya orang mengangkuti barang-barang dengan pikulan, gerobak, dan pedati yang ditarik kerbau. Selebihnya, hampir di seluruh sudut kotaraja Pakuan dilintasi orang-orang yang akan pergi ke pura dan sanggar pamujan. Hampir di setiap tepian jalan terlihat anjing bertubuh kurus duduk atau tiduran menikmati hangat matahari.
Di Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran, kehidupan berlangsung sangat lamban dan jauh berbeda dengan Muara Jati, apalagi dibandingkan Dermayu yang hingar-bingar dipenuhi kesibukan. Satu-satunya tempat orang terlihat lalu lalang hanya di dermaga Kedunghalane, tempat perahu hilir-mudik dari dan ke pelabuhan Kalapa. Di situ tak henti-hentinya orang mengangkuti barang-barang dengan pikulan, gerobak, dan pedati yang ditarik kerbau. Selebihnya, hampir di seluruh sudut kotaraja Pakuan dilintasi orang-orang yang akan pergi ke pura dan sanggar pamujan. Hampir di setiap tepian jalan terlihat anjing bertubuh kurus duduk atau tiduran menikmati hangat matahari.
San Ali yang mengenakan jubah dan surban putih sebagai
pertanda bahwa ia pemeluk Islam sejak menginjakkan kaki di pelabuhan Kalapa
sudah menjadi perha-tian orang. Ketika ia menuju ke kotaraja Pakuan dengan
perahu yang melayari sungai Ciliwung, orang makin memandangnya dengan penuh
curiga. Hanya bekal surat
pengantar dari Ki Samadullah yang membuatnya lolos dan pos-pos pemeriksaan
keamanan.
Sesuai pesan Ki Samadullah, San Ali harus menemui Samsitawratah, seorang rsi yang memiliki asrama bagl para brahmana muda pencari kebenaran. Menurut Ki Samadullah, hanya Rsi Samsitawratah di tlatah Pajajaran ini yang mampu mengupas hakikat kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya, Maharaja Majapahit. Ki Samadullah sendiri sejauh ini membahas kitab itu bersama Ki Danusela hanya sebatas pada penafsiran demi penafsiran yang belum tentu benar pada tataran penerapannya.
Sesuai pesan Ki Samadullah, San Ali harus menemui Samsitawratah, seorang rsi yang memiliki asrama bagl para brahmana muda pencari kebenaran. Menurut Ki Samadullah, hanya Rsi Samsitawratah di tlatah Pajajaran ini yang mampu mengupas hakikat kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya, Maharaja Majapahit. Ki Samadullah sendiri sejauh ini membahas kitab itu bersama Ki Danusela hanya sebatas pada penafsiran demi penafsiran yang belum tentu benar pada tataran penerapannya.
Ketika San Ali mendekati pintu asrama, tampak-lah seorang
tua dengan hanya mengenakan cawat melintas di hadapannya. Sekalipun renta dan
kurus kering, ada semacam kekuatan gaib melingkupinya. Meski hanya bercawat,
orang merasakan getaran kuat setiap kali me-mandangnya. Setclah berdiam
sejurus, dengan suara penuh wibawa orang tua yang ternyata Rsi Samsitawratah
itu berkata, "Apakah yang engkau cari, o Anak Muda, hingga engkau menyeret
tubuhmu ke sini?"
"Kucari hakikat 'aku' agar kutemukan 'Aku' sebagai
sumberku," jawab San Ali.
"Bagaimana engkau menemukan 'Aku' jika engkau masih
meng-'aku'?"
"Kepadamulah, o Yang Tercerahkan, kuharap pelajaran
menuju 'Aku'," kata San Ali sambil mengeluarkan kitab rontal Catur
Viphala. "Karena, kudengar hanya Andhika Yang Tercerahkan yang mampu
menguak makna kitab ini."
"Lepaskan jubah dan surbanmu! Lepaskan segala
milikmu! tanpa perjuangan keras mengosongkan diri dari keakuan, jangan harap
engkau bisa menangkap intisari kitab Catur Viphala dan mencapai tujuanmu."
San Ali tercekat mendengar permintaan Rsi Samsitawratah. Bagaimana mungkin ia melepaskan jubah dan surbannya untuk kemudian bercawat seperti orang tua dihadapannya itu? Apakah maksud melepaskan segala milik berarti melepas segala atribut keislaman dengan meninggalkan sembahyang dan hukum syarak? Apakah pengosongan diri menjadi syarat mutlak bagi perjuangan menuju 'Aku'?
San Ali tercekat mendengar permintaan Rsi Samsitawratah. Bagaimana mungkin ia melepaskan jubah dan surbannya untuk kemudian bercawat seperti orang tua dihadapannya itu? Apakah maksud melepaskan segala milik berarti melepas segala atribut keislaman dengan meninggalkan sembahyang dan hukum syarak? Apakah pengosongan diri menjadi syarat mutlak bagi perjuangan menuju 'Aku'?
Tanpa dapat dicegah benak San Ali dijejali oleh kilasan
bayangan api neraka yang berkobar-kobar menelan dirinya manakala ia tanggalkan
jubah dan surban dan hukum syarak. Namun, secepat itu di benaknya terbayang
tentang per jalanan mencari hakikat 'Aku' sebagai pangkal segala 'aku'. Mengaps
'Aku'-ku harus takut terhadap 'aku' neraka? Bukankah 'aku' neraka juga seperti
'aku'-ku, yaitu berasal dari 'Aku' semesta?
Rsi Samsitawratah tampaknya menangkap keraguan San Ali.
Itu sebabnya, dengan acuh tak acuh dia berkata seolah kepada dirinya sendiri.
"Akal dan pikiran, keakuan, keinginan-keinginan, bentuk-bentuk, status,
identitas diri, dan keanekaragaman citra diri adalah tirai yang memisahkan
'aku' dari 'Aku'. Sebab, semua itu masih meng-'aku', belum 'Aku' yang
sesungguhnya. Karena itu, jubah, surban, mahkota, keragaman adalah tirai yang
wajib dibuka jika kita ingin me-nyatu dengan-Nya."
Akhirnya, tanpa banyak bicara San Ali melepas jubah dan
surbannya. Kemudian dengan hanya bercawat ia bergabung dengan para brahmin yang
tinggal di asrama.
Kehadiran San Ali di lingkungan brahmin mendapat
perharian serius dari Rsi Samsitawratah. Itu setidaknya terlihat dari kehendak
Rsi Samsitawratah memberikan pelajaran khusus bagi San Ali, terutama dalam
kaitan dengan kitab rental Catur Viphala. Mula-mula, Rsi Samsitawratah
menjelaskan urut-urutan Viphala yang berjumlah empat nihsprha, nirbana,
niskala, nirasraya..
"Ketahuilah bahwa yang dimaksud nihsprha adalah
keadaan di mana tidak ada lagi sesuatu yang ingin dicapai manusia," Rsi
Samsitawratah menguraikan. "Nirbana berarti seseorang tidak lagl memiliki
badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Niskala adalah bersatu dengan Dia
Yang Hampa, Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Dalam
kcadaan itulah, 'aku' menyatu dengan 'Aku'. Dan kesudahan dari niskala adalah
nirasraya, yakni keadaan di mana jiwa meninggalkan niskala dan melebur ke
Parama-Laukika, yakni dimensi tertinggi yang bebas dari segala bentuk keadaan,
tak mempunyai ciri-ciri, dan mengatasi 'Aku'."
Apa yang tercantum di dalam kitab rental Catur Viphala
merupakan hal yang gampang diuraikan, namun berat dijalankan. Hanya mereka yang
benar-benar bertekad bulat menuju 'Aku' yang akan melaksanakannya. Demikianlah,
seperti brahmin yang lain, ; San Ali melakukan latihan ruhani dengan ketat menu
CaturViphala. la berpuasa selama berhari-hari. Seluruh waktunya dilewati dengan
latihan meniadakan diti dan samadi. Daging mulai menyusut dari pipinya. Kelopak
matanya cekung. Rambut awut-awutan. Bayang-an aneh mulai sering memasuki
mimpinya. Bahkan di tengah terik rnatahari, ia membiarkan tubuhnya ter-panggang
oleh kesakitan dan kehausan. Semuanya untuk menghilangkan keakuan di dalam
dirinya.
San Ali dibimbing langsung oleh Rsi Samsitawratah dalam
melatih samadi dan pengingkaran diri. la juga diajatkan bagaimana harus
meniadakan diri dan berlatih menyatukan keakuan dirinya dengan alam sekitar
dengan pohon, kayu, batu, air, hewan, ikan, burung, bahkan awan. Dalam tempo
singkat ia dapat menging-kari keakuan dirinya untuk menyatu dengan keakuan alam
sekitamya.
Rsi Samsitawratah mengajarkan pula bagaimana seorang
brahmin tidur dengan mula-mula mengatur pemapasan dan menutup kelopak matanya
hingga ber-angsur-angsur seluruh jiwanya padam. Jika jiwa telah padam, begitu
uraian Catur Viphala, maka orang akan tidur tanpa mimpi dan tanpa perasaan.
Sebaliknya, orang yang ridak memahami ajaran itu akan terperangkap ke dalam
cakrabhawa, yakni terseret oleh mimpi-mimpi dan igauan di dalam tidur. Dan
mereka yang terperangkap ke dalam cakrabhawa dengan sendirinya jiwanya akan
jatuh ke neraka.
Berbagai latihan jiwa telah dilakukan San Ah, baik puasa,
samadi, makanan dan minuman yang baik tidur, hingga yoga. Dengan bimbingan
langsung dan Rsi Samsitawratah ,
ia mengalami kemajuan pesat
terutama dalam perjuangan meniadakan dlri. Namun, ujung dari semua itu ia
merasa betapa setelah keakuan dirinya mengembara ke berbagai perwujudan pada
akhirnya akan kembali lagi pada keakuan diri. San Ali merasa pengembaraan
jiwanya itu seperti pelarian diri yang tak diketahui ujungnya. la merasa
seperti melanglang jagad untuk meninggalkan tubuhnya yang menyembunyikan 'aku',
namun perjalanan itu ternyata hanya sementara waktu. Ia merasa tidak menjadi
lebih bijak-sana dari sebelumnya. la tidak merasa telah beroleh pencerahan
sejati.
San Ali tidak sadar bahwa dengan menjalani hidup sebagai
brahmin yang begitu ketat melakukan latihan samadi dan menolak diri, ia telah
memperoleh berbagai kekuatan. Ini baru diketahuinya ketika ia bersama sejumlah
bralimin muda mencari kayu di hutan. Saat itu, tanpa diketahui muncul seekor
harimau besar yang kelaparan dan siap menerkam salah satu di antara mereka. Para brahmin yang ketakutan jatuh bangun melarikan diri.
San Ali sadar ia tidak sempat lagi menyelamatkan diri.
Itu sebabnya, ia memutuskan untuk memusatkan pikiran dan
perasaannya. Menolak keakuan dirinya untuk bersembunyi di balik keakuan
harimau. Sebuah peristiwa adikodrati terjadi. Harimau itu mendadak tercengang
dan kemudian merunduk seolah-olah mengikuti kehendak San Ali. Kemudian seperti
hewan jinak, dengan gerak lamban dia melangkah mendekat, lalu
menggesek-gesekkan kepalanya ke tubuh San Alt Sesudah itu, dia membalikkan
badan dan pergi.
Peristiwa menakjubkan itu dengan segera menye-bar di
asrama dan menimbulkan iri hati di antara para brahmin yang lebih lama bermukim
tetapi belum memiliki kelebihan seperti San Ali. Dalam tempo singkat ada
kasak-kusuk yang menyatakan bahwa San Ali adalah telik sandhi orang-orang Islam
yang disusupkan ke asrama, dengan tujuan utama menghancurkan kekuat-an
Pajajaran dari dalam. Peristiwa menakjubkan itu seolah-olah pamer kekuatan dan
merupakan tantang-an kepada Rsi Samsitawratah. Kasak-kusuk terus ber-gulir. Dan
San Ali merasa betapa seluruh penghuni asrama seolah-olah mengamati segala
gerak-geriknya dengan penuh curiga.
Bagi San Ali, peristiwa di hutan itu justru telah
menyadarkan dirinya bahwa apa yang selama ini dipelajarinya di asrama bukanlah
rujuan akhir yang hendak dicapainya. la merasa bahwa 'jalan keselamatan'
me-nuju 'Aku' akan sulit dijangkau dengan cara yang selama ini dipelajarinya di
asrama. la menangkap sasmita bahwa apa yang dijalankannya dengan
latihan-latihan ketat selama ini justtu tidak sesuai dengan intisari maknawi
dari kitab rontal Cater Viphala.
Tampaknya gejolak pikiran San Ali itu ditangkap oleh Rsi
Samsitawratah. Itu sebabnya, kerika ia menghadap, guru para brahmin itu
memberikan kitab rontal Catur Viphala sambil berkata, "Ketahuilah, o Anak
Muda, bahwa asrama ini hanya persinggahanmu se-mcntara dalam menuju 'Aku'.
Sebab, ada scsuatu di dalam dirimu yang tak gampang ditundukkan oleh se-kadar
larihan penolakan diri dan samadi. Jalan yang engkau lintasi masih sangat
panjang. Karena itu, o Anak Muda, pergilah engkau mengikuti garis hidupmu
seperti air mengikuti aliran sungai. Hanya pesanku, janganlah engkau berbalik
arah dan putus asa dalam mencapai tujuan."
"Ampun seribu ampun, o Guru Agung," San AH
mengiba, "Hamba berharap dengan mengikuti jalan Brahmin melaku arahan
kitab Catur Viphala maka kehausan jiwa hamba segera terobati. Tetapi, ternyata
tidak. Semakin hamba berlatih semakin kuat kehausan itu mencekik hidup
hamba."
Jalan pembebasan memang rumit dan berliku-liku. Karena
itu, o Anak Muda, lihatlah para brahmin di asrama ini. Mereka yang sudah
berusia lanjutpun tidak dijamin meraih kebebasan sempurna. Lantaran itu, o Anak
Muda, pergilah ke muaramu. Ikuti liku-liku aliran yang membawamu ke samudera
raya pembebasan. Semoga engkau dapat meraih tujuan yang mulia itu."
"Hamba mohon restu, o Guru Agung," San Ali
menghatur sembah.
"Pergilah menuju muaramu, o jiwa yang dicekam
rindu."
Dengan hati dibakar kehausan akan
pengetahuan sejati, San Ali meninggalkan asrama. Saat ia melang-kahkan kaki
meninggalkan pintu, beberapa brahmin muda yang bersamanya sewaktu di hutan,
menghadang. Dengan berbagai rayuan mereka menginginkan San Ali bersedia tinggal
lebih lama. "Jika engkau berkenan tinggal barang setahun di sini, kami
yakin engkau akan bisa belajar terbang ke angkasa, berjalan di atas air, kebal
senjata tajam, menembus tembok, dan bahkan menghilang."
"Itu semua bukanlah keinginanku," San Ali tersenyum. "Yang Mulia Guru Agung Samsitawratah lebih mengetahui tentang apa yang menjadi keinginan utamaku. Karena itu, o kawan-kawan tercinta, beliau menghendaki aku pergi dari asrama ini untuk mencari muara yang bakal mengantarku ke samudera kebebasanku."
"Itu semua bukanlah keinginanku," San Ali tersenyum. "Yang Mulia Guru Agung Samsitawratah lebih mengetahui tentang apa yang menjadi keinginan utamaku. Karena itu, o kawan-kawan tercinta, beliau menghendaki aku pergi dari asrama ini untuk mencari muara yang bakal mengantarku ke samudera kebebasanku."
Melalui pelabuhan
Kalapa, San Ali memulai pengembaraannya melintasi samudera dengan menumpang
jung milik seorang Cina Muslim bernama Haji Nasuhah yang bernama asli Thio Bun
Cai. Usianya sekitar tujuh puluh tahun, namun dia terlihat sepuluh tahun lebih
muda. Otot-otot di tubuhnya — terutama kedua lengannya — masih kukuh dan
perkasa.
Sekalipun Haji
Nasuhah orang Cina asli dan bermata sipit, kehidupan yang keras laut telah
mengubah warna kulitnya menjadi coklat kemerahan. Alisnya tebal dan berbentuk
pedang, mencerminkan betapa keras watak nakhoda berkepala gundul yang selalu
ditutupi kopiah putih itu. Untaian tasbih yang selalu berputar menunjukkan
betapa kukuh dia mengingat Tuhan di tengah kesibukannya mengatur arah kapal. Sementara
di balik senyuman yang selalu menghiasi bibirnya itu terungkap keteguhan jiwa
dari seorang tua yang sudah teruji mengarungi samudera kehidupan.
Penampilan Haji
Nasuhah yang mencerminkan citra keramahan seorang Muslim itu sebenarnya baru
terlihat sekitar dua dasawarsa silam. Sebelum masa itu, Ia bukanlah Muslim
bahkan bukan manusia dari golongan orang balk. Thio Bun Cai merupakan bajak
laut yang sangat ditakuti di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Para saudagar
Cina menjulukinya Lamhai Lomo (Iblis Laut Selatan)' Sebagai bajak laut bekas
pengikut Liang Tau Ming, Thio Bun Cai memiliki pangkalan di Ku Kang (Palembang ) dan
sewaktu-waktu dapat menggerakkan armadanya dengan cepat. Kama Lamhai Lomo
sebagai bajak laut yang telengas dan tak kenal ampun, membuat siapa saja yang
melintasi Selat Malaka atau Laut Cina Selatan dicekam ketakutan.
Roda kehidupan
manusia berputar mengikuti takdirnya, kadang di atas kadang di bawah, kadang
mengubah kedudukan orang dari kaya ke miskin, dari jahat ke baik, dari durhaka
ke saleh, dari kejam ke welas asih. Roda kehidupan Thio Bun Cai pun berubah
ketika bertemu dengan Syaikh Ibrahim as-Samarkandy yang menjadi tamu Adipati
Palembang, Ario Damar.
Pertemuan itu terjadi
secara tidak sengaja. Ketika itu, kapal yang ditumpangi ulama asal negeri Samarkand itu dirampok
oleh Thio Bun Cai di sekitar kepulauan Anambas. Syaikh Ibrahim saat itu sedang
dalam perjalanan dari Pandurangga di negeri Campa ke Palembang untuk mengunjungi kemenakan tiri
istrinya yang menjadi Adipati Palembang. Dalam perisriwa itu, Thio Bun Cai
menyaksikan keajaiban pada diri Syaikh Ibrahim. Ceritanya, saat kapal dari
Campa itu dikepung, terjadi kepanikan di antara para penumpangnya. Bahkan dalam
kepanikan itu seorang penumpang anak-anak berusia lima tahun jatuh ke laut dan hilang ditelan
ombak. Saat itulah, seorang penumpang yang kemudian dikenal bernama Syaikh
Ibrahim as-Samarkandy melompat ke laut. Ajaib, tubuhnya tidak tenggelam.
Sebaliknya, dengan tenang ia berdiri di atas hamparan air laut. Kemudian ia
membungkuk dan tangannya menggapai kebawah Lalu dalam sekejap terlihatlah anak
kecil yang sebelumnya sudah tenggelam itu. Dan seperti gerakan rajawali, Syaikh
Ibrahim menggendong anak itu dan membawanya melompat ke atas kapal.
Thio Bun Cai dan anak
buahnya terkesima menyaksikan pemandangan menakjubkan itu. Melalui ketakjuban
itulah Thio Bun Cai akhirnya melepas mangsanya. Bahkan seperti terpesona oleh
sesuatu yang ada di dalam diri Syaikh Ibrahim, Thio Bun Cai mengikuti ke mana
pun ia pergi. Sejak pertemuan itu terjadi perubahan besar di dalam hidupnya.
Dia yang sebelumnya telengas dan kejam tiba-tiba berubah menjadi penyabar dan
penyayang. Dia yang sebelumnya sangat berkuasa tiba-tiba selalu mengalah dalam
setiap persoalan. Dia yang sebelumnya memiliki bukit harta hasil rampokan
tiba-tiba membagikan seluruh kekayaannya kepada orang-orang miskin tanpa sisa.
Bahkan puncak dari perubahan itu terlihat ketika dia mengikrarkan diri sebagai
Muslim dan menunaikan ibadah haji ke tanah suci dengan menggunakan jung, satu-satunya
miliknya yang tersisa.
Sepulang Haji, Thio
Bun Cai mendapat nama baru: Haji Nasuhah. Karena, dia telah berikrar untuk
melakukan-taubatan nashuhah, yakni tidak akan mengulangi kesalahan dan
kekeliruannya di masa lampau. Dan sejak itu, perkumpulan bajak laut yang
dipimpinnya di-bubarkan. Atas jasa baik Syaikh Ibrahim, para bekas anak buahnya
dijadikan pengawal samudeta Adipati Palembang. Thio Bun Cai yang sudah menjadi
Haji Nasuhah menghabiskan sisa hidupnya dengan memperbanyak ibadah. Kalau pun
dia dituntut untuk bekerja maka hal itu dilakukan hanya sebatas mengantarkan
orang-otang yang butuh tenaga dan ketrampilannya mengarungi samudera.
Putaran roda
kehidupan Haji Nasuhah sangat menarik hati San All. Itu sebabnya, sepanjang
perjalanan mengarungi laut, ia terus bertanya berbagai hal, terutama tentang
Syaikh Ibrahim as-Samarkandy yang memiliki kelebihan karomah. Haji Nasuhah,
entah kenapa, didesak oleh semacam keharusan untuk menjawab semua pertanyaan
San Ali. Lantaran itu, hampir seluruh waktu senggang mereka gunakan untuk
berbicara berbagai hal, terutama yang bersangkut-paut dengan perjuangan menuju
'Aku' yang dilingkari berlapis-lapis hijab.
Lewat perbincangan
dan membanding-banding-kan pengalaman masing-masing, San Ali menangkap kesamaan
dalam tataran amaliah ketika seseorang melakukan taubatan nashuhah –
menghadapkan pikiran dan perasaan hanya kepada Allah—untuk menuju hakikat
'Aku'. Kesamaan itu melipuri 'kewajiban' meninggalkan segala sesuatu, baik
sukarela atau terpaksa, kecuali Allah.
Meski menangkap
adanya kesamaan, San Ali menginginkan kepastian dari simpulannya itu dengan
menanyakan langsung kepada Haji Nasuhah. "Apakah orang-orang yang menuju
ke Dia memang wajib' meninggalkan segala sesuatu yang bukan Dia?"
"Aku kira engkau sudah mengalami peristiwa itu. Aku kira engkau pun sudah
merasakan betapa pahit-nya harus melepas segala yang pernah engkau miliki. Dan
kita masing-masing akan mengalami tingkat ke-pahitan sesuai tingkat kepemilikan
kita. Semakin kuat perasaan dan pikiran kita mencintai segala yang kita anggap
milik kita maka semakin kuat pula tingkat kepahitan yang harus kita
telan," kata Haji Nasuhah.
"Apakah pada
awalnya Tuan Haji merasa pahit ketika harus membagi-bagikan harta benda yang
Tuan miliki kepada orang lain?" tanya San Ali.
"Soal membagi-bagi
harta malah kulakukan dengan sukarela seolah-olah otang memikul yang berusaha
melepas beban," kata Haji Nasuhah datar.
"Jikalau begitu,
peristiwa pelepasan apa yang menurut Tuan Haji sangat pahit dan
menyakitkan?" San Ali memburu.
Ketika aku harus
kehilangan anak dan istri yang kutinggalkan di pulau Lingga. Ketika istriku
meninggal akibat terkena sampar, anak lelakiku satu-satunya, Thio Ban Tong,
yang berusia sembilan tahun menghilang tak diketahui rimbanya. Orang-orang
kepercayaanku yang kutugaskan menjaganya ternyata tidak rnengetahui ke mana
anak tunggal penyambung kehidup-an leluhurku itu pergi."
"Istri mati
mungkin masih bisa aku mencari ganti Tetapi, kalau anak lelaki hilang tak tentu
rimba ke mana pula harus kucari ganti? Karena itu, o Anak Muda, waktu itu
kulewati dengan segala kepanikan. Kuancam bunuh semua orang kepercayaanku jika
mereka tidak menemukan anak yang kuamanatkan penjagaannya kepada mereka.
Kusekap anak-anak mereka untuk memaksa agar mereka benar-benar mencari anakku."
"Di saat
kepanikanku memuncak, tiba-tiba Syaikh Ibrahim datang. Dengan nasihat dan
uraiannya tentang hukum kehidupan dan orang-orang yang 'dipanggil' oleh Allah
maka sadarlah aku bahwa segala apa yang kualami itu adalah bagian dari cobaan
Allah untuk meng-uji tekadku bertaubat. Setelah itu, seluruh sisa harta milikku
kubagi-bagikan dan aku menunaikan haji ke tanah suci. Persoalan hilangnya Thio
Ban Tong kuserah-kan kepada-Nya. Dia yang memberi Dia pula yang berhak meminta
kembali."
"Kemarahanku pun
akhirnya pudar. Kumaafkan mereka dan kukembalikan anak-anak mereka. Kukatakan
kepada mereka bahwa betapa pun ketat anakku dijaga, bahkan ketika kujaga
sendiri, kalau Dia telah berkehendak meminta maka tidak ada satu pun makhluk
bisa menghalangi. Dan akhimya aku sendiri menyadari betapa sebenarnya diriku
tidak memiliki apa-apa di dunia ini; nama besar, kekayaan, istri, anak, tubuh,
nyawa dan ruhku sendiri; semua milik Allah," papar Haji Nasuhah.
"Berarti Tuan
Haji sekarang ini sebatangkara seperti saya?"
"Bagi mereka yang
sudah "bangun', seluruh manusia pada dasamya sebatangkara di dunia ini.
Itu sebab-nya, bagi mereka yang sudah 'bangun' ridak dikenal kebanggaan atas
ras, suku bangsa, marga, keluarga, nama besar, atau apa saja yang bersifat
kelompok. Dan bagi mereka yang sudah "bangun', menjadi suatu 'ke-wajiban'
untuk menggantungkan kesebatangkaraan-nya kepada Dia Yang Mahatunggal; Dia Yang
Mahasebatangkara, yang ridak memiliki istri, anak, keluarga, dan kerabat;
kepada Dia jua kita, orang-orang sebatangkara ini, wajib mengarahkan harapan
dan tujuan."
"Kalau jalan
menuju Dia harus dilalui dengan meninggalkan segala sesuatu yang berkaitan
dengan dunia, kenapa Dia menciptakan dunia?" tanya San Ali
"Tidakkah engkau
ketahui bahwa dunia ini diciptakan bagai penjara bagi kita?"
“Penjara?"
sergah San Ali heran. Ketahuilah, o Anak Muda, bahwa dunia ini adalah tempat
leluhur kita, Bapa Adam dan Ibu Hawa, menjalani hukuman setelah melanggar
perintah Allah. Jadi, hakikat dunia ini sebenamya adalah penjara bagi Bapa Adam
dan Ibu Hawa beserta keturunannya. Dan seperti makna ad-dunya sendiri yang
berarti dekat atau singkat, maka kehidupan di dunia ini sungguh hanya
persinggahan singkat belaka bagi anak cucu Adam dan Hawa yang memikul hukuman
di penjara bernama dunia ini. Karena itu, bagi meteka yang sudah 'bangun' akan
memandang bahwa tidak pantas dan sangat keliru jika manusia sebagai keturunan
Adam dan Hawa menjadikan dunia ini sebagai human yang menyenang-kan, apalagi
sampai membangun mahligai kekuasaan dan kekayaan turun-temurun, seolah-olah
dunia ini human abadi."
"Jika demikian,
kenapa kita hatus bekerja mencari nafkah jika pada akhirnya kita harus
menganggap dunia ini penjara yang tidak menyenangkan?"
"Karena tubuh
kita adalah bagian dar jazad maddi (materi) maka tubuh kita pun membutuhkan
makanan dan minuman bersifat maddi (materi). Karena itulah, agama mengajarkan
agar kita, manusia, keturunan Adam dan Hawa, tidak berlebihan dalam
memanfaat-kan dunia apalagi sampai mencintainya."
"Ada kisah
menarik tentang pemanfaatan dunia yang kuperoleh dari guru agungku, Syaikh
Ibrahim, melalui cerita pemburu kera," lanjut Haji Nasuhah.
"
Pemburu itu tahu
bahwa kera sangat suka buah ceri, la sangat paham cara berpikir kera. Itu
sebabnya ia menempatkan buah-buah ceri ke dalam botol gelas bening yang
berleher sempit. Kemudian ia letakkan botol gelas itu di tempat kera-kera
biasanya berkeliaran.
Tak lama, pemburu itu
melihat seekor kera datang. Kera itu memasukkan tangannya ke dalam botol dan
mengambil buah ceri dalam jumlah banyak. Tetapi, dia kemudkn sadar bahwa
tangannya yang menggenggam buah ceri tidak bisa ditarik keluar.
Kera menjerit-jerit
panik. Tangannya tidak bisa lepas dari botol karena dia tetap menggenggam erat
buah ceri. Sang pemburu kemudian datang. Kera ke-takutan dan berusaha melarikan
diri, namun karena tangannya membawa botol maka dia tidak dapat ber-lari
kencang. Setelah tertangkap, pemburu itu memukul siku kera sehingga
genggamannya atas buah-buah ceri itu mengendor. Tangan kera itu memang bisa
lepas dari botol, tetapi ia telah tertangkap.
"Aku segera
menyadari bahwa kera yang dimaksud di dalam kisah itu adalah aku. Betapa
kusadari bahwa selama itu aku terlalu menggenggam erat-erat harta duniawi
sehingga aku tidak bisa melepaskan diri dari jeratan botol duniawi. Kematian
istri dan kehilangan istri dan anak kesayangan kuanggap sebagai pukulan “Sang
Pemburu' ke sikuku. Nah, sekarang ini aku merasa sebagai kera yang bebas dari
jeratan botol, tetapi harus patuh dan setia kepada 'Sang Pemburu' yang
memeliharaku dengan balk. Aku tidak perlu lagi mencari buah ceri karena Dia
telah menyediakan semua kebutuhanku."
Cahaya Iman
BULAN purnama bercahaya terang di hamparan permadani
langit yang membiru. Cahayanya menyinari permukaan bumi Palembang yang sudah tua dan terlalu kenyang
mengenyam pahit dan getir kehidupan
penghuninya.
Lebih dari seribu tahun, bergantian kapal, jung, perahu,
dan sampan melintas dan berlabuh. Dari kaum, bangsawan,
saudagar, pendeta, perampok, hingga gelandangan pernah
tinggal di pangkuan bumi Palembang sejak
kekuasaan Sriwijaya ditegakkan di sana .
Kemakmuran Palembang sebagai bandar perniagaan menarik
hasrat siapa pun untuk bisa menguasai pusat kenikmatan duniawi yang terletak di
tengah hamparan samudera itu. Wangsa Ming yang berkuasa didaratan Cina pun tergiur oleh kemolekan dan
kecantikan Palembang . Itu sebabnya, ketika utusan dari Palembang-yang merupakan bagian dari Majapahit menghadap Kaisar Cina ,
ia disambut dengan penuh kemuliaan seolah-olah duta sebuah negeri merdeka.
Hayam Wuruk, Maharaja Majapahit,
sangat murka dengan tindakan Kaisar Cina yang menerima dan memperlakukan utusan Palembang seperti
seorang duta. la kemudian menggerakkan armada Majapahit meluluhlantakan bandar Palembang. Setelah
peristiwa itu, ia menunjuk salah seorang saudara tirinya—putera Prabu
Kertawarddhana dari istri selir, adik dan Singhawarddhana—yang bernama
Parameswara menjadi Adipati Palembang.
Tetapi, pesona bandar Palembang
telah menggoyahkan kesetiaan Parameswara tak lama setelah Hayam Wuruk mangkat
Parameswara menyatakan Palembang
sebagai negara merdeka. Wikramawarddhana, yang masih kemenakan Parameswara,
menolak pernyataan sepihak Adipati Palembang itu. Armada Majapahit sekali lagi
dikerahkan untuk menghancurkan Palembang .
Parameswara melarikan diri dan akhirnya mendirikan Kerajaan Malaka.
Sementara itu, usai pemberontakan Parameswara, kekacauan
dan kerusuhan meluas di Palembang .
Sejarah kemudian mencatat, di dalam kekacauan itu telah muncul seorang bajak
laut bernama Liang Tau Ming. Dengan seluruh kekejaman dan kebrutalannya, dia
menanamkan cakar kekuasaan di bandar Palembang .
Liang Tau Ming tidak membawa kemakmuran apa pun, kecuali makin meningkatnya
kekacauan dan ketidak-seimbangan hidup rakyat Palembang . Dan Palembang yang kala itu disebut Ku Kang pun tenggelam dalam kegeriran
yang menyakitkan.
Bukan hanya penghuni bandar Palembang yang merasakan kegeritan di bawah
kekuasaan Liang Tau Ming, saudagar-saudagar Cina pun merasakan kepahitan serupa
sehingga mereka beramai-ramai melapor kepada Kaisar. Liang Tau Ming kemudian
dieksekusi. Sebagai gantinya tampillah Ceng Po Ko yang selalu mengirim upeti
sebagai bukti bahwa bandar itu tunduk di bawah kekuasaan Kaisar Cina.
Kerajaan Majapahit yang makin melemah kekuatannya tidak
mengambil tindakan apa pun terhadap kebijakan Kaisar Cina yang telah menjadikan
Palembang
sebagai bagian dari kekuasaannya. Majapahit terus di-sibukkan dengan
pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri. Namun, saat Prabu Kertawijaya naik
tahta dengan gelar Prabu Wijaya Parakramawarddhana yang lazim disebut Brawijaya
V, masalah Palembang
mulai menjadi perhartan penting. la mengirimkan seorang puteranya yang bernama
Ario Damar sebagai Adipati Palembang
dengan tugas utama mengembalikan bandar tua itu ke pangkuan Majapahit.
Ario Damar adalah ksatria tangguh yang telah teruji
kecerdasan dan kesaktiannya dalam menumpas pemberontakan maupun memperbaiki,
menata, dan membangun kembali negeri-negeri yang rusak akibat peperangan. la
dikenal sebagai negarawan ulung.
Ario Damar sejak kecil diasuh oleh uwaknya— kakak kandung
ibundanya—seorang pendeta Bhirawatantra bernama Ki Kumbharawa (dalam bahasa jawa
Kuno berarti "matahari di dalam tempayan") yang tinggal di hutan
Wanasalam di selatan ibukota Majapahit. Ibunda Ario Damar yang bemama Endang
Sasmitapura adalah pengamal ajaran Bhirawatantra. Itu sebabnya saat hamil tua
la diusir oleh suaminya, Prabu Kertawijaya, dari istana Bre Tumapel, karena
kedapatan melakukan pancamakara, yaitu upacara minum darah dan
memakan daging manusia.
Oleh didikan Ki Kumbharawa dan ibundanya, Ario Damar tumbuh
sebagai pemuda yang memiliki berbagai kesaktian dan kedigdayaan luar biasa. Itu
sebabnya, saat mengabdi ke Majapahit ia dapat menye-lesaikan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya. Bahkan di antara penganut ajaran Bhirawatantra kala itu,
Ario Damar dianggap sebagai salah seorang tokoh yang paling sempurna ilmunya
sehingga ia disegani balk oleh kawan maupun lawan.
Dengan kemampuannya yang luar biasa itu, Ario Damar
berhasil mengembalikan Palembang
ke pangkuan Majapahit. la mampu menaptakan suasana aman dan tenteram, juga
memakmurkan rakyat Palembang .
Palembang yang
sudah terpuruk ke jurang kebinasaan itu ternyata bisa bangkit lagi.
Untuk menunjukkan kekuasaan Majapahit atas masyarakat Cina
yang selama itu tunduk kepada Kaisar Cina, Prabu Kertawijaya menganugerahkan
seorang selirnya bernama Retno Subanci kepada Ario Damar. Retno Subanci
merupakan puteri saudagar Cina Muslim bernama Encik Ban Chun, asal Gresik. Saat
diberikan kepada Ario Damar, dia sedang me-ngandung anak Prabu Kertawijaya.
Keberhasilan Ario Damar dalam merebut dan membangun bandar Palembang ternyata
berlanjut dengan keberhasilan dirinya membangun nilai-nilai baru yang bersumber
pada ajaran Islam. Ario Damar yang sejak kecil akrab dengan ajaran
Bhirawatantra; tanpa pernah ada yang menduga sebelumnya, telah memperoleh
hidayah cahaya iman dari Allah melalui perantaraan Syaikh Ibrahim
as-Samarkandy, saudara ipar Ratu Darawati, istri Prabu Kertawijaya yang
ber-asal dari negeri Campa.
Berita itu menggemparkan para pejabat dan rakyat Palembang,
bahkan Dyah Suraprabhawa, Maharaja Majapahit, saudara tiri Ario Damar, mengirim
utusan untuk mcmpertanyakan kesetiaannya kepada Majapahit. Ario Damar dengan
tugas menyatakan bahwa persoalan ia memeluk Islam adalah persoalan pribadi yang
tidak bisa dikait-kaitkan dengan kesetiaanya pada Majapahit. Kepada utusan itu
Ario Damar memberikan keris pusaka Kiai Kala Cangah yang ujungnya bercabang dua
serta upeti berupa emas dan permata sebagai bukti bahwa ia tetap setia kepada
Majapahit, meski telah berpindah agama.
Keislaman Ario Damar ternyata tidak hanya ber-pengaruh pada
perubahan suasana kehidupan pribadi dan isi kadipaten, tetapi juga meluas
sampai keluar Palembang .
la mengganti namanya menjadi Ario Abdillah. Putera tirinya diberi nama Raden
Kasan, kelak menjadi Arya Sumangsang alias Raden Patah, Adipati Demak. Putera
sulungnya dari Remo Subanci dinamakan Raden Kusen—kelak menjadi Pecat Tandha di Terung.
Ketika usianya makin merambat senja, Ario Abdillah
meninggalkan kadipaten. la digantikan oleh Adipati Karang Widara yang bemama
Pangeran Surodirejo, yang tidak lain adalah putera Raden Kusen. Ario Abdillah
kemudian memilih tinggal di rumah sederhana di kampung yang dinamakan Pedamaran
(artinya kediaman Ano Damar). Dari Pedamaran itulah ia memberitakan kebenaran
ajaran Islam. Mula-mula ia menyiarkan kepada penduduk di sekitar Pedamaran.
Dulu penduduk di sana
terkenal sangat menentang ajaran Islam yang disebarkan oleh Syarif Husin
Hidayatullah, bangsawan Arab yang menjadi pemimpin di daerah Usang Sekampung.
Namun, di bawah bimbingan Ario Abdillah, penduduk dengan sukarela berkenan
memeluk Islam. Begitulah, daerah-daerah kafir seperti Talang LindungBunyian,
Lebak Teluk Rasau, Lebak Air Hitam, dan Lebak Segalauh telah menjadi
perkampungan Muslim.
Menurut cerita, tak lama setelah memeluk Islam, Ario
Abdillah menikahi puteri Syarif Husin Hidayatullah. Dari pernikahan itu
lahirlah Raden Ketib yang diberi gelar Pangeran Pandanarang—kelak menjadi
bupati Semarang
dan puteranya menjadi Sunan Tembayat. Melalui ikatan perkawinan inilah ia dapat
menyaarkan Islam sampai ke daerah Siguntang, Prabumulih, dan Meranjat. Syarif
Husin Hidayatullah diangkat menjadi Menak (bangsawan) Palembang .
Begitu turun dari perahu, San All langsung menuju ke
Pedamaran. Sesampainya di sana ,
didapatinya Ario Abdillah sedang mengais-ngais tanah di halaman rumah
panggungnya. Rupanya, tokoh besar yang berusia hampir delapan puluh tahun iru
sedang mencari akar-akar-an untuk obat. Meski usianya sudah sangat tua,
sisa-sisa kegagahan tetap terpahat pada otot-otot tubuhnya yang kukuh,
Ketenangan jiwa terpancar dari wajahnya yang teduh.
Sekalipun mata Ario Abdillah lebih bulat dan lebih lebar
dibanding Raden Kusen, San Ali mendapati betapa bentuk hidung, mulut, kening,
bahkan dagu keduanya sangat mirip. Rambut, alis, kumis, dan janggut Ario Abdillah
yang memutih tidak menjadikannya manusia renta tanpa daya. Wibawa tetap
mcmancar dari tubuh tua itu. Bahkan sjapa saja yang kebetulan melihat sorot
matanya, pasti akan merasakan getar kegentaran menerkam jiwa.
Ketika San Ali mendekat, Ario Abdillah dengan tanpa menoleh
dan tangan tetap mencabuti akar-akar-an mendendangkan lagu, "Engkau adalah
hijab bagi dirimu sendiri, o manusia, maka keluarlah engkau dari-padanya.
Pengembaraan adalah pematangan bagi jiwa yang mentah. Jika engkau sudah keluar
dari hijabmu maka akan engkau temukan alam semesta di dalam dirimii ibarat
lautan engkau temukan di dalam perahu."
San Ali tercekat. la menangkap sasmita tentang kedalaman
ajaran di dalam syair lagu itu. Dengan ko-baran rasa ingin tahu yang
menggelora, ia mendekat dan berkata penuh harap, "O Tuan Manusia Besar
yang sudah tercerahkan, berkenankah Tuan mengajari hamba jalan menuju
Dia?"
"Aku?" gumam Ario Abdillah terperanjat. "Aku
mengajarimu jalan menuju Dia?"
"Besar harapan hamba, Tuan mengabulkan ke-inginan
hamba."
"Tidak ada yang bisa mengajari manusia menuju
jalan-Nya kecuali Dia sendiri, dengan jalan-jalan yang ditentukan-Nya."
"Tapi, Tuan?"
"Siapakah engkau dan dari manakah asalmu, o Anak
Muda?"
"Hamba San Ali, putera angkat Ki Danusela, Kuwu
Caruban."
"Kalau begitu, engkau masih kemenakanku sendiri karena
Ki Danusela adalah saudara tiriku," Ario Abdillah mengangkat alis kanannya
ke atas.
"Benar Tuanku, hamba bahkan telah berjumpa dengan
Pamanda Raden Kusen, putera Tuanku, di Caruban," San Ali menjelaskan.
Ario Abdillah menunduk. Diam. Sejenak kemu-dlan dia
berkata, "Apa yang bisa kuajarkan kepadamu, o Anak, jika engkau memiliki
jalan sendiri menuju Dia?"
"Itu benar, o Tuanku. Tetapi, Tuan bisa menceri-takan
perjalanan Tuan seliingga hamba bisa mengambtl hikmah di balik cerita Tuan. Hal
itu akan hamba jadi-kan pedoman dalam perjalanan hamba menuju Dia."
"Ada
banyak orang berkata tentang aku, namun apa yang mereka katakan itu pada
hakikatnya ndak tepat sebagaimana aku mengatakan tentang diriku. Akhirnya, aku
pun bingung tentang siapa yang paling benar mengatakan tentang aku. Lantaran
itu, o Anak, kutinggalkan segala perkataan tentang aku, karena itu semua akan
semakin membingungkan 'aku'-ku. Dan ke-tahuilah, o Anak, ketika engkau berkata
tentang jalanku maka saat itulah engkau telah memunculkan keakuan, balk
keakuanmu maupun keakuanku; yang ujung dari semua itu adalah sia-sia."
"Apakah engkau melihat guna dan manfaat ketika
kuceritakan bagaimana kegagahan dan keperkasaanku menghancurkan musuh di medan laga, kalau pada
da-sarnya justtu kepahitan yang kudapari dari cerita iru? Adakah guna dan
manfaat ketika kuceritakan kepiawaian dan kebijaksanaanku mengatur negeri,
kalau pada dasarnya justru kegeriran yang kurasakan? Adakah guna dan manfaat
ketika kuceritakan bagaimana seharusnya aku merasakan kepuasan karena
keturun-anku menjadi penguasa negeri, kalau akhirnya yang kudapatkan justru
kekecewaan?"
"Ketahuilah, o Anak, bahwa keperkasaan, kegagahan,
kepintaran, kebajikan, kebijakan, kepuasan din, dan segala macam penilaian yang
mengarah pada pepujian din adalah hampa semata dengan tepi kepedihan yang
menyiksa. Sebab, saat engkau terperangkap pada penilaian baik atau buruk
tentang scsuatu mengenai 'aku'-mu atau 'aku'-ku atau 'aku' siapa saja maka saat
itulah telah terjadi pengakuan terhadap sesuatu yang bukan haknya. Dan mengaku
yang bukan hak adalah kepedihan tanpa tepi."
"Segala sesuatu yang tergelar di alam semesta adalah
milik-Nya tanpa kecuali; bintang, bulan, matahari, hewan, manusia, tumbuhan,
jin, setan, iblis, malaikat surga, dan neraka. Puji-pujian, kemuliaan,
kebesaran, keagungan, dan segala sesuatu sekecil apa pun adalah milik-Nya.
Bahkan keimanan sekecil tungau pun adalah milik-Nya. Segala adalah milik-Nya.
Engkau tak memiliki apa pun balk kekayaan duniawi, keluarga, tubuh, nyawa, ruh,
dan bahkan iman sekalipun; semua milik-Nya."
"Kenangkanlah liku-liku jalan yang pernah kulewati
sejak aku dllahirkan dari rahim ibundaku, di mana ajaran kebenaran yang kukenal
awal sekali ketika aku masih kecil adalah Bhirawatantra yang penuh lumuran
darah dan kemarian. Saat itu, sangat kuyakini kebenar-an ajaran dan leluhurku
itu sebagai jalan menuju-Nya. Berbagai kesulitan yang kuhadapi dapat kuatasi
dengan ilmu-ilmu yang kupelajari dari ajaran itu. Tetapi, di saat aku berada di
puncak kemenangan tiba-tiba Dia memberikan cahaya iman ke dalam jiwaku. Dan
kutinggalkanlah segala apa yang pernah kuraih sebagai kebanggaan masa mudaku
itu."
"Dengan pengalaman hidup yang kulewati ini, o Anak,
aku makin sadar bahwa segala sesuatu tanpa kecuali adalah milik-Nya. Karena
itu, hari-hariku se-karang ini kuhabiskan untuk menunggu Dia meng-ambil kembali
milik-Nya yang kini telah lapuk dan renta dimakan zaman. Dan lantaran itu,
kuringgalkan segala sesuatu yang pernah kuanggap sebagai milikku di dunk ini.
Kuhadapkan pikiran dan perasaanku hanya kepada-Nya, agar saat Dia mengambilku,
seutuhnya diriku kembali kepada-Nya tanpa beban apa pun dati dunia yang pernah
kutinggali ini."
"JikaTuan ingin kembali hanya kepada-Nya, hamba yakin
itu akan terjadi. Tetapi, mohon Tuan jelaskan kepada hamba bagaimana dengan
nasib uwak dan ibunda Tuan yang tetap tinggal di dalam kegelapan ajaran najis
itu?" kata San Ali.
"O Anak," sahut Ario Abdillah dengan suara berat.
"Engkau tidak bisa menilai sesuatu ajaran sebagai sesuatu yang najis atau
suci. Sebab, semua itu berasal dari-Nya. Semua milik-Nya. Perbedaan yang engkau
lihat sebenarnya hanya pada tingkat penampakan indriawi belaka; hakikatnya
adalah sama, yakni menuju hanya kepada-Nya. Yang gelap maupun yang terang,
semua menuju kepada-Nya."
"Hamba kurang paham dengan penjelasan itu, o
Tuan." San Ali penasaran.
"Ketahuilah, o Anak, bahwa Dia bukan hanya pemilik
segala sesuatu yang tergelar di alam semesta. Dia menata dan mengatur semuanya.
Jika engkau se-karang im berada di dalam golongan Muslim yang di-anugerahi iman
maka sesungguhnya engkau berada dalam
golongan yang tercerahkan oleh cahaya salah satu nama indah-Nya, yakni al-Hadi (Yang Memberi Petunjuk) yang
dari-Nya mengalir para malaikat, nabi, rasul, wall, dan orang-orang
saleh."
"Sementara jika engkau berada di dalam golongan di
luar penganut ajaran Islam yang engkau nilai najis karena berlumur darah, maka
sesungguhnya engkau berada di dalam golongan yang terbimbing oleh salah satu
nama indah-Nya, yakni al-Mudhill (Yang Menyesatkan) yang
dari-Nya mengalir iblis, setan, penyembah berhala, pemuja kegelapan, dan
pengorban darah. Tetapi, semua itu bersumber dan-Nya dan bermuara kepada-Nya.
Dialah Yang Tunggal, yang memiliki ke-kuasaan mutlak menggolongkan orang ke
dalam pancaran masing-masing nama-Nya. Dia pula yang ber-kuasa mudak membimbing
orang ke jalan terang atau menyesatkan orang ke jalan gelap, tanpa ada yang
bisa mengganggu-gugat."
"Sudah tertulis di dalam dalil: nurun 'ala nurin yahdi Allahu linurihi man yasya'u (Cahaya di atas cahaya, Dia
membimbing dengan cahaya-Nya siapa yang Dia ke-hendaki). Tertulis pula dalil: man yahdi Allahu fala mudhilla lahu wa man
yudhlilhu fala hadiiya labu (Siapa
yang ditunjuki Allah, engkau tak bisa menyesatkan-nya; dan siapa yang
disesatkan Allah, tak bisa engkau menunjukinya). Jadi, jalan terang atau jalan
gelap, pada hakikatnya tergantung mutlak pada kehendak-Nya."
"Engkau menganggap suci ajaran agamamu karena engkau
berada di dalam pandangan agamamu yang menganggap ajaran lain sesat dan najis.
Namun, jika engkau
berada di dalam ajaran lain maka ajaran yang lain itu akan menilai sesat dan
najis agamamu.
"Ketahuilah, o Anak," lanjut Ario Abdilllah,
"bahwa orang menjadi Muslim atau menjadi penganut ajaran Bhairawatantra
pada hakikatnya bukanlah keinginan pribadinya. Semua yang menentukan adalah
Dia. Tidakkah engkau ingat kisah paman Nabi Muhammad yang bemama Abu Thalib?
Kenapa lelaki berhati mulia yang sampai akhir hayat membela Nabi Muhammad itu
tidak mati dalam keadaan Muslim? Kenapa saat Nabi Muhammad mendoakannya agar
menjadi Muslim justtu ditegur oleh Allah bahwa beliau hanya sekadar
mennyampaikan seruan Islam, sedang yang menentukan orang menjadi Muslim atau
tidak itu adalah Allah?"
"Dengan memahami hakikat ketunggalan-Nya, o Anak,
engkau tidak akan terperangkap lagi ke dalam batasan-batasan yang telah
dibuat-Nya untuk menghijab ciptaan-Nya dari Dia. Untuk itu, o Anak, jika engkau
ingin menuju hanya kepada-Nya maka engkau wajib menyingsingkan tiap-tiap hijab
yang membungkus kesadaran sejattmu sehingga engkau memahami bahwa seluruh
makhluk di alam semesta ini, mulai dari malaikat, bidadari, manusia, hewan,
tumbuhan, jin, setan, bahkan iblis adalah penyembah dan pemuja Dia, meski
dengan sebutan dan tata cara yang berbeda. Sesungguhnya Dia itu Esa. Tidak ada sesuatu
yang menyamai apalagi menyaingi Dia. Sebab, telah tertulis dalam dalil: kana Allahu wa lam yakun ma'ahu syai'un (Dia ada. Tidak ada sesuatu
bersama Dia)."
Bumi manusia kediaman anak cucu Nabi Adam pada dasamya tidak hanya dihuni oleh makhluk-makhluk yang kasatmata. Berbagai makhluk tidak kasatmata pun menjadi penghuni bumi. Bahkan di antara mereka adalah generasi pelanjut makhluk sebelum Nabi Adam menghuni bumi. Mereka berakal dan berbangsa-bangsa. Berbudaya. Berkembang biak. Namun, bentuk fisik mereka tidak padat seperti manusia yang terdiri atas darah, daging, dan tulang. Karenanya, mereka tidak kasatmata.
Bumi manusia kediaman anak cucu Nabi Adam pada dasamya tidak hanya dihuni oleh makhluk-makhluk yang kasatmata. Berbagai makhluk tidak kasatmata pun menjadi penghuni bumi. Bahkan di antara mereka adalah generasi pelanjut makhluk sebelum Nabi Adam menghuni bumi. Mereka berakal dan berbangsa-bangsa. Berbudaya. Berkembang biak. Namun, bentuk fisik mereka tidak padat seperti manusia yang terdiri atas darah, daging, dan tulang. Karenanya, mereka tidak kasatmata.
Kenyataan tentang makhluk tidak kasatmata itu diketahui San
Ali saat la diajak berkelana memasuki matra lain dari bumi manusia untuk
menyaksikan Keagungan dan Ketidakterbatasan Kuasa Ilahi. San Ali tidak
mengetahui ilmu apa yang digunakan Ario Abdillah untuk menembus matra demi
matra yang menyelu-bungi bumi. la hanya merasakan saat Ario Abdillah
memerintahkannya duduk berhadapan sambil memejamkan mata berkonsentrasi,
tiba-tiba tubuhnya merosot ke bawah. Sesaat sesudah itu, ketika membuka mata ia
mendapati dirinya berada di sebuah rongga besar dan luas di bawah tanah. Ario
Abdillah dilihat-nya berdiri di depannya sambil bersidekap menyilang-kan kedua
tangan di dada.
Sebelum San Ali bertanya tiba-tiba Ario Abdillah
menjelaskan bahwa mereka berada sekitar tujuh puluh depa dari permukaan tanah.
"Ini merupakan lapisan pertama dari kediaman anak cucu makhluk-makhluk
penghuni bumi sebelum Nabi Adam diturunkan. Mereka adalah keturunan Banul Jan.
Mereka mendiami dasar bumi hingga lapis yang ke tujuh.
"Tuanku, apakah mereka itu yang disebut Jin?"
tanya San Ali takjub.
"Kita, umat Islam, menyebutnya seperri itu. Sebenarnya
mereka beraneka macam. Bentuk mereka mirip manusia dengan satu kepala, dua
tangan, dan dua kaki. Sebagian di antara mereka ada yang memiliki sayap seperri
kelelawar dan burung, namun sebagian besar tidak bersayap."
"Apakah mereka hidup dalam puak-puak masyarakat?"
San Ali mendecakkan mulut kagum.
"Seperti layaknya manusia, mereka hidup dalam
kota-kota dan benteng-benteng. Kendaraan yang mereka gunakan berjalan sangat
cepat tanpa perlu ditarik kuda. Bahkan mereka memiliki kereta perang yang bisa
terbang seperri milik dewa-dewa. Berbeda dengan kendaraan manusia, kendaraan
makhluk-makhluk itu menimbulkan suara gemuruh yang menggetarkan dada dan
memekakkan telinga," Ano Abdillah menguraikan.
"Apakah Tuanku akan mengajak hamba mengunjungi
kota-kota mereka?" tanya San Ali dengan rasa ingin tahu berkobar-kobar.
"Apakah mereka tidak menyerang kita?"
"Sebelum engkau mengenal mereka, o Anak," kata
Ario Damar datar, "engkau harus tahu tentang mereka sehingga engkau tidak
terperosok ke jurang kesesatan seperri sebagian manusia yang mengenal
mereka."
"Hamba menunggu petunjuk dan akan patuh, Tuan."
Ario Damar diam sesaat. Sejenak sesudah itu, dengan suara
berat dan penuh keseriusan dia mulai menguraikan tentang makhluk-makhluk
penghuni dasar bumi. Menurut Ario Abdillah, leluhur makhluk-makhluk itu pada
zaman dahulu kala menghuni permukaan bumi selayaknya manusia. Namun, mereka
sangat sombong dan membanggakan ilmu pengetahuannya. Akhirnya, terperangkaplah
mereka ke dalam kebiasaan menumpahkan darah sesamanya. Dengan kereta perang
yang bisa terbang, mereka menembus langit menuju ke bintang-bintang tempat
kediaman para malaikat, makhluk yang dicipta Allah dari cahaya.
Kesombongan makhluk-makhluk itu menimbulkan kerusakan di permukaan bumi. Tidak hanya makhluk-makhluk itu yang binasa dalam seriap peperangan, tetapi makhluk lain pun ikut menjadi korban. Hewan-hewan raksasa, pepohonan, gunung-gunung, dan hutan-hutan luluh lantak karena senjata mereka yang dahsyat. Kemauan tersebar di mana-mana. Jika tidak segera dicegah maka dipastikan bumi akan binasa.
Kesombongan makhluk-makhluk itu menimbulkan kerusakan di permukaan bumi. Tidak hanya makhluk-makhluk itu yang binasa dalam seriap peperangan, tetapi makhluk lain pun ikut menjadi korban. Hewan-hewan raksasa, pepohonan, gunung-gunung, dan hutan-hutan luluh lantak karena senjata mereka yang dahsyat. Kemauan tersebar di mana-mana. Jika tidak segera dicegah maka dipastikan bumi akan binasa.
Gusti Allah memerintahkan para malaikat untuk membinasakan
makhluk-makhluk yang ingkar kepada nikmat-Nya dan membanggakan kesombongan
diri-nya itu. Gusti Allah akan menggantikan makhluk-makh-luk sombongitu dengan
makhluk baru, yakni manusia. Demikianlah, para malaikat beramai-ramai turun ke
bumi. Kota-kota dan benteng-benteng mereka yang kokoh dan perkasa
diluluhlantakkan. Mereka dibinasakan oleh senjata-senjata malaikat yang lebih
dahsyat daripada milik mereka. Sebagian besar di antara mereka binasa. Sisanya
melarikan diri dari daratan menuju pulau-pulau di tengah samudera. Sebagian
lagi bersembunyi di dasar bumi.
Berpuluh, beratus, bahkan beribu tahun makhluk-makhluk
sombong yang selamat itu hidup dalam kegelapan dasar bumi. Allah pun
menganugerahi mereka dan keturunannya untuk bisa melihat di dalam gelap.
Makanan utama mereka adalah saripati tulang-belulang. Tetapi, naluri leluhur
mereka yang haus darah tidak juga bisa hilang dari keturunan mereka.
Makhluk-makhluk itu tetap gemar minum darah manusia.
"Tuanku," San Ali berkata setelah melihat Ario
Abdillah berdiam diri agak lama, "guru agung hamba, Syaikh Datuk Kahfi,
pernah membawakan riwayat hadits yang menjelaskan bahwa sebelum Nabi Adam, bumi
ini dihuni makhluk dari bangsa jin. Menjelang Nabi Adam turun ke bumi, makhluk-makhluk
dari bangsa Jin itu dihalau ke pulau-pulau di samudera. Tetapi, itu semua
hanya penuturan beliau, Tuanku. Hamba belum menyaksikan sendiri."
Ario tidak berkata sepatah pun. Namun, beberapa jenak
kemudian tangannya menyambar tangan San Ali. Dan seperti berlari di atas padang rumput yang luas,
begitulah Ario Abdillah mengajak San Ali menembusi lorong-lorong bawah tanah
yang berliku-liku. Ario Abdillah baru menghentikan langkah ketika mereka sampai
di sebuah danau berair jernih yang dilingkan pepohonan rindang.
"Tahukah engkau, o Anak," gumam Ario Abdillah
dengan suara ditekan, "di manakah kita berada?"
"Hamba tidak tahu, Tuanku," sahut San Ali.
"Ketahuilah bahwa kita berada di Jawadwipa tepatnya di bawah gunung
Anjasmoro."
"Di Jawadwipa?" seru San Ali heran. "Kenapa
kita tidak melewati laut?"
"Kita tidak melewari laut karena kita berada di dasar
bumi," Ario Abdillah menjelaskan. "Dan ketahuilah bahwa bentangan
pulau-pulau di Nusantara pada hakikatnya satu kesatuan ikatan. Adanya laut yang
memisahkan pulau satu dengan pulau yang lain bersifat permukaan belaka."
"Luar biasa," gumam San All sambil menyapukan
pandangan ke sekitarnya dengan penuh ketakjuban. San Ali yang masih diliputi
rasa takjub hanya ter-mangu-mangu keheranan ketika rnenyaksikan kerumunan orang
bertubuh cebol dengan kepala besar dan tangan menjuntai ke bawah lutut di
sekitar danau tak jauh dari tempatnya berdiri. Salah satunya mermliki janggut
memanjang hingga ke dada. Rupanya dialah pemimpin mereka. Dengan celoteh yang
tak jelas, dia mendekati Ario Abdillah. Kemudian dengan gerakan menghormat, dia
merangkul kaki Ario Abdillah.
Ario Abdillah memperkenalkan orang cebol berjanggut panjang
itu kepada San Ali dengan nama Kala Hiwang (Jawa Kuno = Waktu Menyimpang) yang
sering dipanggil Buyut Kelewang. Kala Hiwang adalah sahabat yang banyak
membantu saat dia masih menggeluti ajaran Bhirawatantra.
Ario Abdillah membaca semacam mantra. Sesaat sesudah itu
keanehan terjadi. Tiba-tiba terdengar suara embusan angin bersuit-suit yang
diikuti gemuruh bagai halilintar. Kemudian muncul gumpalan asap yang diikuti
sesosok makhluk bertubuh raksasa dengan kulit hitam legam dan kepak gundul. la
tidak berkumis, tetapi janggutnya terjuntai sampai ke perut. Begitu muncul,
makhluk itu merunduk dan merangkul kaki Ario Abdillah, seperti Kala Hiwang.
Menurut Ario Abdillah, makhluk itu adalah sahabat karibnya yang lain. la
bernama Kala Hingsa (Jawa Kuno = Pembunuh Waktu), namun sering disebut Buyut
Kelungsu (artinya, isi buah asam yang hitam dan keras).
Ario Abdillah berbicara dengan Kala Hiwang dan Kak Hingsa dengan bahasa yang tidak dimengerti San Ali. Namun, dari nada bicara dan gerak tubuh mereka, ia menangkap makna bahwa mereka bertiga sudah sangat lama tidak berjumpa. Bahkan dalam perbincangan itu, San Ali menangkap isyarat betapa Kala Hiwang dan Kala Hingsa terperangkap ke dalam kesedihan. Ario Abdillah terlihat beberapa kali menarik napas berat seolah-olah melepaskan beban yang meng-gumpal di dada.
Telah cukup lama berbincang-bincang akhirnya Ario
Abdillah mengajak San All meninggalkan tempat itu. Kali ini, San All merasakan
perjalanannya cepat laksana kilat. Keduanya berhenti di suatu kota yang terang benderang dan berarsitektur
aneh. Rumah-rumah dibangun bersusun-susun. Orang-orang berlalu lalang dengan pakaian
aneka warna. Kendaraan-kendaraan aneh tanpa hewan penarik berseliweran dengan
suara gemuruh. Yang ajaib lagi, lampu-lampu yang menerangi kota tidak menggunakan nyala api.
Ario Abdillah menjelaskan bahwa kota itu terletak di lapis bumi ketujuh,
lapisan yang paling dekat dengan tungku api bumi. Para
penghuninya berperadaban lebih maju dibanding penghuni di lapisan lain. Meski
mereka maju, naluri suka menghirup darah manusia tetap belum hilang. Pada
saat-saat tertentu, ketika bumi diliputi kegelapan, terutama saat terjadi
gerhana, para penghuni bumi lapis ketujuh itu beramai-ramai keluar dari
kediaman mereka melalui kawah gunung berapi dan gua-gua. Mereka beriringan
mencari mangsa untuk di-jadikan jamuan pesta besar di bumi utara yang tenggelam
dalam kegelapan selama lima
bulan.
San Ali sangat terkesan dengan pengalaman menakjubkan
mengenal makhluk-makhluk penghuni bumi selain manusia. Dakm berbagai kesempatan
ia terus ber-tanya dan Ario Abdillah berusaha menjawab semua pertanyaannya.
Jika dia tidak bisa menjelaskan tentang peradaban dan hasil budaya mereka maka
tidak segan-segan dia mengajak San Ali mengunjungi kediaman mereka.
Suatu malam, Ario Abdillah mengajak San Ali mengunjungi
bangsa Jin yang tinggal di bintang-bintang. la takjub ketika menginjakkan kaki
di bintang az-Zulial. Rembulan yang mengambang di langit berjumlah sepuluh.
Makhluk-makhluk yang tinggal di sana
wujudnya mirip manusia, namun kulit mereka sangat putih. Begitu putih sehingga
urat-urat yang melingkar di wajah mereka terlihat jelas. Yang laki-laki sangat
tampan. Yang perempuan sangat cantik. Semua berhidung mancung. Mata mereka biru
bening bagai kristal. Rambut mereka putih agak kelabu. Anehnya, segala sesuatu
yang ada di tempat itu berwama purih. Batu-batuan. Tanah. Gunung. Bangunan.
Pepohonan. Bahkan kendaraan-kendaraan aneh yang terbang dengan suara
ber-gemuruh.
Ario Abdillah menjelaskan tentang adanya ruh-ruh manusia
bumi yang menikah dan tinggal di alam Jin, sedangkan tubuh wadag-nya tetap di bumi. "Badan wadag tanpa ruh itu hidup tanpa
kesadaran utuh. Jika ruhnya berbicara dengan siapa saja di alam Jin maka badanwadag-nya akan berbicara juga. Lantaran
itu, orang tersebut dianggap gila oleh orang-orang di bumi."
"Jika ruhnya diajak balik ke badan wadag-nya?"
tanya San Ali, "apakah orang tersebut akan sembuh dari gila?"
"Tentu saja, o Anak," kata Ano Abdillah,
"tetapi untuk membawa kembali ruh bukan pekerjaan gampang. Alam
makhluk-makhluk itu sangat luas. Bisa saja ia tinggal di dasar bumi atau di
bintang az-Zuhal, az-Zuhrah, al-Utarid, al-Musytari, al-Munkh, bintang Soma,
Bhrihaspati, Sukra, bahkan bintang Buda. Lagi pula, belum tentu ruh itu mau
diajak balik ke badan wadag-nya di bumi."
Ketakjuban San Ali terhadap kehidupan makhluk-makhluk gaib
itu nyaris membawanya ke lingkaran ciptaan Ilahi yang tak diketahui batas
akhirnya. la se-olah-olah sudah melupakan tujuan utamanya mcncari Dia Yang Tak
Terjangkau dan Tak Bisa Dibayangkan. Andaikata Ano Abdillah tidak menegurnya
dengan keras dan mengusirnya, ia tentu akan terus berkutat dengan tumpukan
tanda tanya tentang makhluk-makhluk ciptaan Gusti Allah tersebut. San All
menyadari kekalahannya. Kemudian dengan penuh takzim ia ber-pamitan.
"Tuanku," katanya seraya bersimpuh di depan Ario
Abdillah, "jika pada akhirnya Tuanku menghendaki hamba melanjutkan
perjalanan menuju Dia, kenapa selama ini Tuanku memperkenalkan hamba kepada
makhluk-makhluk gaib itu? Bukankah lebih balk jika Tuanku mengajarkan hamba cara tersingkat menjalin hubungan
dengan Dia?"
"Aku adalah aku. Engkau adalah engkau!" kata Ario
Abdillah dengan suara tinggi. "Aku memiliki jalan sendiri. Engkau pun
memiliki jalan sendiri. Karena itu, engkau harus mencari jalanmu sendiri, o
Anak."
"Jika demikian, mengapa Tuanku memperkenalkan hamba
pada kehidupan makhluk-makhluk gaib?" tanya San Ali penasaran.
"Jalan ini memang harus engkau lalui, o Anak,
agar terpatri di dalam jiwa dan pikiranmu bahwa Gusti Allah itu Mahaagung,
Mahakuasa, dan Maha Pencipta. Keagungan-Nya tanpa batas. Kekuasaan-Nya tanpa
batas. Ciptaan-Nya juga tak diketahui batasnya. Arti-nya, dalam pencarian
mengenal Dia, hendaknya cak-rawala pikiranmu menjadi luas seperti hamparan
langit Dia bukan hanya Gusti Allah yang disembah umat Islam, melainkan Dia
adalah Tuhan yang disembah seluruh umat manusia, hewan, tetumbuhan, jin,
malaikat, setan, iblis, bulan, bintang, matahari, dan berbagai makhluk
ciptaan-Nya yang tak kita ketahui. Makhluk-makhluk itu hanyalah sebagian kecil
saja dari ciptaan-Nya."
San Ali tertunduk diam. Kata-kata yang diucapkan Ario
Abdillah pada dasamya tidak jauh berbeda dengan penjelasan guru agungnya.
Namun, kenyataan tentang makhluk-makhluk selain manusia benar-benar
mencengangkannya dan hampir membuatnya tergelincir dari tujuannya semula.
Ario Abdillah akhirnya berterus terang bahwa tujuannya
bertemu dengan Kala Hiwang dan Kala Hingsa di dasar bumi itu sebenamya hendak
berpamltan. "Usia-ku sudah lanjut. Sudah saatnya aku kembali
kepada-Nya."
"Bukankah Tuanku masih kuat dan sehat?" tanya San
Ali. "Hamba tak yakin barang sepuluh atau lima belas tahun lagi Tuanku bakal meninggal
dunia."
"Tidak," sahut Ario Abdillah, "usiaku
tinggal sepekan lagi. Pada tanggal kesembilan,-hariSoma Manis (Senin Legi), bulan Waishaka, saat pecat sawet (pukul 10.00), yakni lima hari lagi, itulah
saatku meninggal-kan dunia ini. Karena itu, cepat-cepatlah engkau pergi dari
sini karena aku tidak ingin menyisakan sesuatu di hati dan pikiranku selain
Dia."
"Tuanku," sergah San Ali heran, "bagaimana
Tuanku bisa tahu dengan sangat jelas saat kematian Tuan?"
"Tidak perlu kujelaskan, tetapi jika engkau teguh pada
tekadmu dan setia pada jalanmu maka engkau akan dianugerahi-Nya pengetahuan
seperti itu," sahut Ario Abdillah sambil menutup mata dan mulai mengatur
napas serta melafalkan dzikir.
"Hamba
mohon doa restu, Tuanku," kata San Ali mencium kaki Ario Abdillah. la
rasakan ada rongga kosong di dadanya, seperti kehilangan sesuatu yang sangat
berharga, meski tidak tahu gerangan apa yang hilang itu. Dan sesaat ia
merasa kehangatan membasahi pipinya. Sadarlah ia bahwa diam-diam titik-titik air
bening telah menetes dari kelopak matanya.
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.